REVIEW - NO OTHER LAND
"Aku mulai merekam ketika hidup kami mulai berakhir". Di film lain, itu hanya akan menjadi sebuah kalimat yang ditulis dengan indah. Tapi di No Other Land, alih-alih karakter fiktif, untaian kata di atas terucap dari mulut orang sungguhan, yang mendeskripsikan realitanya yang bertransformasi menjadi horor sungguhan. Hasilnya adalah salah satu kalimat paling menyayat hati yang pernah diperdengarkan oleh medium sinema.
Empat sutradara (Basel Adra, Hamdan Ballal, Yuval Abraham, dan Rachel Szor) bekerja sama membesut dokumenter yang beberapa waktu lalu mencetak kemenangan bersejarah di Academy Awards ini. Di antara mereka, Basel dan Yuval punya peran paling menonjol, sebab keduanya turut berperan sebagai protagonis yang penonton ikuti kisahnya.
Basel merupakan aktivis muda Palestina yang vokal melawan pengusiran oleh tentara Israel terhadap warga Masafer Yatta yang jadi tempat tinggalnya. Di sisi lain, Yuval adalah jurnalis Israel yang menentang agresi negaranya sendiri. Narasi No Other Land tersusun atas ribuan jam rekaman yang mereka kumpulkan dari 2019 hingga 2023, pula arsip video milik keluarga Basel yang diambil sejak puluhan tahun lalu.
Tidak ada voice over, tidak ada grafik penjelas, tidak ada wawancara. No Other Land adalah cinéma vérité yang bertujuan memotret realita senyata mungkin. Riyad Mansour selaku duta besar Palestina untuk PBB pernah menyebut serangan Israel pada tanah airnya sebagai "genosida paling terdokumentasi sepanjang sejarah", dan film ini memperkuat pernyataan tersebut.
Penonton seolah dibawa terjun langsung ke medan perang, dan tak ada ruang tersisa bagi keraguan mengenai apa yang nampak di layar untuk menyeruak. Ketika Harun salah satu tetangga Basel yang berusaha menghalau tentara Israel ditembak oleh para penjajah, ada kengerian merambat. Ada seorang pria ditembak, coba dibunuh layaknya binatang, tepat di depan mata kita. Bukan reka ulang, bukan adegan artificial.
Bukan cuma paparan sadisme saja yang meninggalkan kesan besar. Kita sempat diajak mundur beberapa tahun ke masa Basel masih kecil, tepatnya ketika Tony Blair datang mengunjungi sekolah yang dibangun di tengah ancaman pengusiran. Sang mantan perdana menteri cuma berkeliling selama tujuh menit, dan itu sudah cukup membuat Israel menghentikan upaya persekusi. Apa jadinya jika para pemegang kuasa di seluruh dunia bersedia mengerahkan daya upaya mereka secara total guna menolong rakyat Palestina?
No Other Land mungkin tak memenuhi banyak kaidah filmis, tapi fakta bahwa dokumenter berdurasi 95 menit berhasil dilahirkan tatkala para pembuatnya bertaruh nyawa tiap hari sudah merupakan keajaiban. Mereka tak perlu memusingkan soal pakem.
Kita pun tidak usah memedulikan tetek bengek di atas. Persoalan teknis tak lagi penting, karena sewaktu pasukan biadab Israel bukan cuma menghancurkan rumah di Masafer Yatta, tapi juga mengambil alat pertukangan dan melucuti peluang membangun kembali, atau saat muncul larangan bagi rakyat Palestina untuk menyetir sebelum akhirnya berpuncak pada dirusaknya sumber air, kita tengah menjadi saksi genosida.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar