REVIEW - NICKEL BOYS
Daya tarik terbesar Nickel Boys tentu berasal dari tata kameranya, yang dipresentasikan lewat sudut pandang orang pertama. Tapi alih-alih seorang saja, ada perspektif dua individu yang ditampilkan, sehingga selain kesan personal, adaptasi novel karya Colson Whitehead ini juga menjadi kisah yang merangkum memori (atau lebih tepatnya "trauma") kolektif.
Elwood (Ethan Herisse) adalah sosok yang kita ikuti perspektifnya. Seorang remaja Tallahassee yang hidup berdua bersama sang nenek, Hattie (Aunjanue Ellis-Taylor). Dia tak hanya cerdas, pula aktif turun ke jalan menyuarakan hak asasi manusia. Elwood yang tumbuh di awal 60-an jadi saksi bagaimana figur-figur seperti Martin Luther King Jr. tengah memerangi rasisme terhadap kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Walau keadilan sosial masih jauh dari jangkauan, kecerdasan serta ketekunan si remaja membuat masa depannya, nampak cerah.
Sampai takdir berputar ke arah tak terduga, yang membuatnya dikirim ke reform school bernama Nickel Academy. Cita-citanya melanjutkan studi di universitas ternama pun mesti ia kubur. Di Nickel, siswa kulit putih dan kulit hitam hidup terpisah. Ketika siswa kulit putih memperoleh perhatian lebih dari tenaga pengajar, Elwood dan teman-teman (termasuk bocah yang bahkan belum menginjak 10 tahun) dipaksa bekerja di ladang, lalu mendapat hukuman fisik bila membuat kesalahan. Nickel Academy bukan berupaya mendidik. Mereka hanya memperbudak.
Di sanalah Elwood berkenalan dengan Turner (Brandon Wilson). Berlawanan dengan pola pikir berlandaskan semangat perjuangan yang Elwood bawa, Turner cenderung bersikap skeptis. "Daripada mengambil risiko untuk melawan, lebih baik diam sambil menundukkan kepala karena takkan ada yang berubah", begitu pola pikir Turner.
Pasca Turner diperkenalkan, kamera pun mulai rutin berpindah sudut pandang guna menampilkan apa yang ia saksikan. Bagaimana naskah yang dibuat oleh sang sutradara, RaMell Ross, bersama Joslyn Barnes, memakai gaya bertutur radikal dengan terus memindahkan perspektif antara Elwood dan Turner membuat Nickel Boys terasa seperti rekaman dari memori kolektif orang-orang yang berbagi pengalaman, serta luka yang sama.
Ross menunjukkan talentanya sebagai sineas yang mengawali karir sebagai kreator dokumenter, saat sesekali ia menyelipkan beragam footage, dari cuplikan film, berita di televisi, hingga rangkaian dokumentasi. Sekilas terkesan tak berkaitan, namun seluruhnya sama-sama jadi gambaran wajah sebuah negara pada suatu masa. Ketika publik terpukau oleh teknologi yang melesat maju hingga memungkinkan manusia pergi ke luar angkasa, di sekeliling mereka penegakkan keadilan sosial malah berjalan mundur.
Harus diakui gaya eksperimental filmnya yang mengutamakan eksplorasi teknik bertutur membuat "rasa" di beberapa titik terkesan jauh, termasuk montage dengann sebuah twist besar di konklusi, yang seperti memperumit hal sederhana, yang bakal jauh lebih emosional bila sorotan diletakkan pada penampilan pemainnya. Aunjanue Ellis-Taylor tampil luar biasa di momen tersebut. Teriakan dalam tangisnya akan sukar dihapus dari hingatan.
Tapi pendekatan radikal Nickel Boys tetap sebuah pencapaian hebat. Meski durasi 140 menit rasanya masih bisa dirampingkan, kolaborasi sutradara dan penata sinematografinya memastikan bahwa perjalanan panjang itu tak pernah tampil monoton. Filmnya begitu kreatif perihal menata apa saja yang penonton saksikan di layar (dari bocah yang mendadak meluncur di bawah kursi bus, hingga sinkronisasi gerak kaki dua orang asing yang kebetulan terjadi).
Terkadang kita diajak melompat ke masa depan untuk bertemu Elwood dewasa (Daveed Diggs). Menariknya, ketimbang memakai sudut pandang orang pertama seperti biasa, kita melihat sosoknya dari belakang, tak ubahnya hantu tak kasat mata yang mengikuti si tokoh utama. Bersama Elwood dewasa itulah kita menyadari bahwa penyiksaan di Nickel bukan cuma menghancurkan para siswa di masa itu, pula masa depan mereka.
(Prime Video)
1 komentar :
Comment Page:Dari semua film yang masuk nominasi Best Picture, "Nickel Boys" ini yang paling mengendap lama di memori saya. Penyiksaan dan adegan pamungkasnya gak on screen secara eksplisit tapi sakitnya berasa sekali di hati.
Posting Komentar