REVIEW - THE HARDER THEY FALL

Tidak ada komentar

Di awal kelahirannya, genre western kerap dipakai untuk menggambarkan kedigdayaan kulit putih. Mereka adalah jagoan tak terkalahkan, sedangkan POC (Person of Color), terutama suku indian, identik dengan kebuasan, keterbelakangan, kejahatan. Seiring waktu, tren bergeser, kemudian lahir revisionist western. The Harder They Fall termasuk salah satu revisionist yang tidak tanggung-tanggung dalam mengutak-atik formula konvensional genrenya. 

Seluruh cast utamanya adalah kulit hitam, yang mana jarang dilakukan oleh revisionist western sekalipun. Sejauh yang saya tahu, hanya Buck and the Preacher (1972), Thomasine & Bushrod (1974), dan Rosewood (1997) yang mendekati, pun ketiganya tetap menampilkan bintang kulit putih. 

Kisahnya fiktif, namun tokoh-tokoh di naskah buatan Boaz Yakin (Now You See Me) dan sang sutradara, Jeymes Samuel, dibuat berdasarkan figur-figur dunia nyata. Nat Love (Jonathan Majors) jadi protagonisnya. Seorang bandit, yang bersama dua rekannya, Jim Beckwourth (RJ Cyler) dan Bill Pickett (Edi Gathegi), mengkhususkan diri mereka merampok dari para kriminal. Tapi Love menyimpan tujuan lain, yakni balas dendam.

Dendam itu ia alamatkan kepada Rufus Buck (Idris Elba), bandit keji yang 20 tahun lalu membunuh orang tua Love, sekaligus memberinya bekas luka berbentuk salib di jidat. Begitu mengetahui Buck sudah bebas dari tahanan, Love, dibantu mantan pacarnya, Stagecoach Mary (Zazie Beetz), Cuffee (Danielle Deadwyler) yang bekerja di saloon kepunyaan Mary, dan marshal bernama Bass Reeves (Delroy Lindo), berniat menuntaskan aksi balas dendam tersebut.

Hal paling menonjol di film ini jelas soal gaya. Black revisionist western tidak sepenuhnya baru bagi Samuel. Tahun 2013 ia pernah membuat film pendek They Die by Dawn. Ditambah pengalaman menggarap video klip Legacy milik Jay-Z, sekaligus statusnya selaku musisi (Samuel juga adik penyanyi legendaris, Seal, yang bersama Jay-Z turut mengisi soundtrack), The Harder They Fall membawa western ke ranah modern baik dari segi audio maupun visual.

Lagu-lagunya bukanlah yang jamak didengar di film western, melainkan membentang dari hip hop hingga reggae. Visualnya, terutama sebagai pembungkus aksi, diisi tata kamera dinamis, gerak lambat, dan pastinya kekerasan berdarah. "Keren" adalah kata yang diinginkan Samuel agar terucap dari mulut penonton kala menyaksikan filmnya, dan ia berhasil. 

Begitu pula pendekatan jajaran cast terhadap peran masing-masing. Saat berkata, bergestur, berjalan, bahkan berdiri diam pun, mereka berlaku bak "the coolest motherfuckers in the world". Beetz yang makin memesona sejak mencuri perhatian di Deadpool 2 (2018), Lakeith Sanfield sebagai Cherokee Bill, penembak cepat anak buah Buck yang misterius, sampai Regina King sebagai Trudy Smith, tangan kanan Buck yang brutal nan berkarisma. 

Tapi tidak ada yang sanggup menandingi aura Idris Elba. "The name Rufus Buck instills fear", kata Mary. Kita dibuat memercayai itu. Percaya kalau Rufus Buck benar-benar mengerikan, walau dalam memaparkan latar belakang karakternya, The Harder They Fall memakai pendekatan "konon katanya". Elba tetap kokoh, meski upaya naskah menambah kompleksitas bagi karakternya, dengan memberi motivasi soal "mencari promised land", yang mana salah satu ciri narasi western, hanya dikemas seadanya. 

The Harder They Fall memang tipikal tontonan style over substance. Kala adegan aksi absen dari layar, praktis cuma pesona aktor-aktornya saja yang tersisa. Cerita lebih sering absen, sebelum mendadak muncul jelang akhir, dalam bentuk twist, yang tujuannya sebatas untuk mengejutkan penonton. Tidak menambah bobot emosi sebagaimana diharapkan, tidak memberi pengaruh dan/atau konsekuensi terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya. Twist itu pun menghapus potensi epic showdown yang telah dinantikan sedari awal. 

Biarpun melewatkan peluang menghantarkan konklusi epik, The Harder They Fall tetaplah tontonan menghibur penuh gaya. Setidaknya sebelum twist tersebut, filmnya konsisten dengan pendekatan "senang-senang", menolak terlampau serius, bahkan tak jarang menggelitik. Misalnya saat membawa kita mengunjungi Marysville, yang selain berfungsi melempar satir, juga menunjukkan pencapaian tata artistiknya. Tengok komparasi visual Marysville alias "a white town" dengan Redwood. Ketika kota pertama tampak monoton, kota kedua sebaliknya, dihiasi beraneka warna. Memikat mata sekaligus menyentil rasa. 

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page: