REVIEW - THE MONKEY
Mengadaptasi cerita pendek berjudul sama buatan Stephen King, The Monkey bukan tontonan yang akan menjeratmu dengan ceritanya. Bahkan Osgood Perkins pun rasanya tidak begitu berhasrat menakut-nakuti penonton melalui film horornya ini. Ketimbang coba mengulangi formula sukses Longlegs tahun lalu, sang sutradara lebih berambisi meruntuhkan batasan serta aturan.
Kata "meruntuhkan" mungkin kurang tepat. Dia menghancurkan, memusnahkan, membumihanguskan segala sekat yang memisahkan seorang sineas dengan kebebasan eksplorasi. Padahal gagasan dasarnya sederhana saja, yakni tentang mainan monyet yang punya kekuatan supernatural untuk membunuh orang. Sebuah premis usang bila ditilik menggunakan kacamata horor masa kini.
Sepasang saudara kembar, Hal dan Bill Shelburn (versi muda diperankan Christian Convery, versi dewasa oleh Theo James, dan masing-masing begitu luar biasa menghidupkan dua individu yang sama sekali berbeda), menemukan mainan monyet itu dari barang-barang peninggalan ayah mereka yang hilang secara misterius. Setiap kunci di punggungnya diputar, si monyet akan mulai memainkan drumnya, dan tak lama berselang bakal ada seseorang tewas mengenaskan.
Tidak ada tatanan pasti mengenai siapa yang bakal dibunuh, pula kapan sang monyet melangsungkan eksekusi. Semua serba acak, seolah monyet pembunuh itu adalah perpanjangan tangan Osgood Perkins dalam eksplorasi liarnya. Penonton tidak perlu ambil pusing dan cuma tinggal menunggu hadirnya satu per satu kematian brutal yang dieksekusi dengan luar biasa kreatif.
Perkins bak eksekutor gila yang terus bereksperimen supaya tiap kematian bisa tampil lebih unik dibanding kematian sebelumnya. Tapi langkah "paling punk rock" yang Perkins ambil terletak pada sentuhan komedinya, yang bukan sekadar cara agar filmnya menghibur, melainkan satu lagi metode untuk memberontak dari norma bercerita.
The Monkey adalah b-horror yang muncul dengan semangat ala Troma Entertainment, di mana logika dikesampingkan demi memberi ruang pada absurditas. Sebagai film termahal Perkins sejauh ini (11 juta dollar), sampulnya memang terlihat elegan. Tata kamera dengan nuansa vintage arahan Nico Aguilar misalnya, yang acap kali mencuatkan ketidaknyamanan.
Tapi di dalamnya, The Monkey punya jiwa b-movie yang begitu membara. Tengok bagaimana penokohan diberikan bagi figur-figur seperti pendeta dan polisi. Di sebuah kesempatan, ketika mayat salah satu korban si monyet ditemukan dan dibawa keluar dari rumahnya oleh tim paramedis, mendadak dari tengah kerumunan para pemandu sorak berteriak ceria, "They take the body out!", seolah merayakan kematian tersebut. Mungkin gerombolan pemandu sorak itu adalah kita sendiri yang terhibur oleh sadisme persembahan Perkins.
Kisahnya membawa tema seputar keluarga disfungsional, sembari turut menyertakan pembahasan mengenai trauma. Jangan harap semuanya digali secara mendalam, sebab sang sineas sendiri memang tak berniat menganggapnya secara serius. Tengok bagaimana konklusi terkait konflik Hal dan Bill yang selalu berseteru sejak kecil dipaparkan memakai komedi gelap yang seolah mengacungkan jari tengahnya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar