REVIEW - LAST NIGHT IN SOHO

2 komentar

Di luar The Sparks Brothers yang merupakan dokumenter, Last Night in Soho adalah film Edgar Wright yang "paling tidak Edgar Wright". Humor dihapus, pengarahan kinetik termasuk quick cuts (yang memang kerap dipakai memperkuat komedi) diganti permainan warna dan atmosfer. Trilogi Cornetto, terutama Shaun of the Dead (2004) membawa Wright mengutak-atik formula horor, tapi baru kali ini ia sepenuhnya menyelami genre tersebut.

Inspirasi terbesar, baik perihal penceritaan atau penyutradaraan, datang dari judul-judul era 60an, sebutlah Repulsion (1965) milik Roman Polanski, karya-karya Alfred Hitchcock, hingga subgenre giallo yang identik dengan pembunuhan serta permainan warna mencolok. 

Naskah buatan Wright dan Krysty Wilson-Cairns (1917) memakai dua latar waktu, yakni modern dan 60an. Era modern mengisahkan perjuangan Ellie (Thomasin McKenzie) menggapai cita-cita sebagai perancang busana. Dia memperoleh beasiswa di London College of Fashion. Bakatnya, ditambah inspirasi yang didapat dari kecintaannya terhadap musik dan gaya busana 60an, membuat Ellie punya potensi juga keunikan. 

Sedangkan era 60an berpusat di gemerlap dunia malam London, di mana gadis bernama Sandie (Anya Taylor-Joy) juga tengah mengejar mimpi. Bukan sebagai perancang busana, melainkan penyanyi. Pintu kesempatan terbuka setelah perkenalannya dengan Jack (Matt Smith), yang akhirnya menjadi manajer Sandie, setelah berjanji bakal mewujudkan impian itu. 

Kedua linimasa tersebut nantinya terhubung lewat cara yang lebih baik tidak saya jabarkan. Cara yang tak memperhatikan logika maupun aturan seputar struktur. Ada nuansa dreamy layaknya karya-karya David Lynch. Bukan masalah, andai memang surealisme jadi bentuk yang dituju. Tapi surealisme pun butuh konsistensi, dan inkonsistensi cukup terasa di sini. Khususnya akibat "bekas cupang". Anda akan tahu itu apa, pula kenapa menyebabkan inkonsistensi setelah menonton filmnya. Wright jelas berharap penonton tak bertanya, "apa yang sebenarnya terjadi?", namun satu inkonsistensi di atas justru bakal memperkuat pertanyaan tersebut. 

Ketimbang kualitas struktur, narasinya lebih kuat dalam berpesan. Tema utamanya soal "proses menjadi". Ellie ingin menjadi desainer, sedangkan Sandie ingin menjadi penyanyi. Tapi di balik itu, ada dinamika lebih dalam yang menyentuh ranah psikis dan sosial.

Ellie terpikat pada London 60an. Musiknya, busananya, budayanya. Begitu terpikat, perlahan ia mulai kehilangan identitas, lalu menjadi sosok yang bukan dirinya. Sandie pun demikian, terkait ambisinya menjadi bintang panggung. Keduanya, sadar atau tidak, terjebak dalam aktivitas berpura-pura. Siapa Ellie? Siapa Sandie? Semakin lama, jawabannya makin buram.

Di tatanan sosial, koneksi Ellie dan Sandie turut menyentil isu seksisme. Ikatan keduanya merupakan perwujudan bagaimana seksisme tidak cuma berdampak pada satu orang di suatu masa (right here right now), pula berujung melahirkan generational trauma. Penuturannya tajam (tidak ketinggalan naskahnya mengkritik ketidakseriusan para polisi), termasuk konklusi unapologetic miliknya. 

Jelang akhir, Ellie terlibat interaksi dengan Ms Collins, pemilik rumah tempatnya menyewa kamar (Diana Rigg dalam peran terakhir sebelum meninggal dunia pada 10 September 2020). "They deserve this", ucap Ms Collins, yang dijawab, "I know" oleh Ellie. Interaksi tersebut menegaskan bahwa Last Night in Soho tidak setengah-setengah dalam menyuarakan perlawanannya.

Judul Last Night in Soho diambil dari lagu berjudul sama milik Dave Dee, Dozy, Breaky, Mick & Tich, yang diperdengarkan oleh Quentin Tarantino kepada Edgar Wright. Musik memang berperan penting membangun mood sekaligus mendasari penyutradaraan Wright, termasuk permainan tempo yang mengikuti irama lagu, walau belum sedetail Baby Driver (2017). 

Seperti telah disebutkan, Wright menanggalkan kekhasan visualnya untuk beralih ke penggunaan warna mencolok selaku pembangun suasana. Ada perasaan "diteror", yang selain dari warna, turut hadir dalam sebuah shot yang menyoroti ekspresi ketakutan Ellie secara ekstrim. Semua itu Wright "ambil" dari judul/jenis horor 60an (dan beberapa 70an) yang saya tulis di atas. Menarik, walau sayangnya, trik yang Wright pakai untuk menakut-nakuti secara lebih gamblang (penampakan, sedikit jump scare), terlalu repetitif, sehingga cukup melelahkan bagi film yang berjalan nyaris dua jam. 

Apa yang tidak repetitif sekaligus amat atraktif? Tentu saja Anya Taylor-Joy dengan screen presence-nya. Melihatnya berpenampilan ala wanita 60an, sesekali gambaran seorang Nancy Sinatra membawakan These Boots Are Made For Walkin' dan Bang Bang (My Baby Shot Me Down) mengisi kepala saya. Bisa jadi karena tata rambut, atau gaun merah muda Sandie yang agak mengingatkan pada pakaian sang penyanyi di video klip Bang Bang, atau perpaduan sensualitas dan aura mematikan yang dipunya keduanya. Apabila Thomasin McKenzie mampu menjembatani penonton dengan dunia fantasi yang seabsurd alam mimpi, maka Anya Taylor-Joy adalah mimpi itu sendiri. Membuai, pula misterius.

2 komentar :

Comment Page:
Nouvaleka mengatakan...

Saya kagum dengan paruh awal film ini dimulai. Namun langsung bete ketika plot twist besar pertama muncul sampai film berakhir. Ntah kenapa, saya merasa ditipu dan twistnya sangat sangat amat tidak berkelas. Di saat orang lain "woahhh" saya justru cemberut geli melihat paruh akhir film ini (termasuk saat orang2 (?) Minta tolong. Super duper cringe).

reyzandi mengatakan...

Menurut saya tidak ditipu sih, krn sudah ada clue dari ucapan si nenek pas cowonya Ellie kabur yg pertama itu, sama potongan / kliping berita di koran yg dicari sama Ellie