REVIEW - VIDKILL
Rasyidharry
Desember 11, 2021
Dyan Sunu Prastowo
,
Eimiria Tamsyarina
,
Estelle Linden
,
Gesya Shandy
,
Indonesian Film
,
Pradikta Wicaksono
,
Raden Gama Hardian
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
,
Shindy Huang
,
Thriller
6 komentar
Found footage digandrungi karena kesan realistis yang diciptakan gambar "berkualitas rendah" miliknya. Di horor dan thriller, kekhasan atribut itu dipakai membangun atmosfer, termasuk saat sub-genre ini mengalami modernisasi, lalu melahirkan format screenlife, yang menangkap segala peristiwa melalui layar komputer atau smartphone. Vidkill turut memakai format tersebut.
Tapi Vidkill jelas dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti esensi found footage/screenlife. Disutradarai Dyan Sunu Prastowo (total telah merilis enam judul tahun ini, empat di antaranya merupakan produk OTT dari Klik Film) dan ditulis naskahnya oleh Eimiria Tamsyarina, film ini bak bingung mesti menampilkan apa lewat ayar komputer karakternya, pula luput menawarkan realisme.
Alurnya berjalan mengikuti formula genrenya, dengan menampilkan tiga sahabat, Stella (Estelle Linden), Cheryl (Gesya Shandy), dan Kimi (Shindy Huang), yang berlibur ke sebuah vila. Di sana mereka berpesta, sebelum Stella resmi menikahi Theo (Pradikta Wicaksono). Sampai datang sosok misterius yang menebar teror mematikan.
Kesan pertama yang muncul kala menonton Vidkill adalah, "gambarnya bagus". Serius. Dibantu Raden Gama Hardian selaku penata kamera langganannya, Dyan Sunu Prastowo bermain dengan pencahayaan, terutama kombinasi warna RGB yang membuat beberapa bagian Vidkill cukup menarik untuk mata. Masalahnya, pilihan artistik ini menjauhkan filmnya dari jiwa found footage.
Gambarnya terlalu "terpoles", sehingga sulit memercayai bahwa apa yang kita lihat adalah rekaman ala kadarnya dari gadget karakter. Itulah kenapa saya menyebut film ini dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti esensi genrenya. Vidkill terlalu fokus pada pencapaian teknis.
Awalnya, sumber gambar cuma berasal dari dua tampilan layar, yakni laptop Theo dan smartphone Stella, yang tengah melakukan video call. Seiring waktu, jumlahnya bertambah. Stella memasang laptop di berbagai titik sebagai pengganti CCTV, Kimi dan Cheryl juga nantinya bergabung. Tapi perspektif sebanyak itu berakhir mubazir, ketika Dyan tidak tahu mesti menampilkan apa. Beberapa kamera bahkan hanya berfungsi sekali, kemudian dibiarkan menyala tanpa fungsi.
Belum lagi soal ketidakjelasan fokus. Di judul-judul berformat serupa, sebutlah Unfriended (2014), Searching (2018), atau Host (2020), meski mempunyai beberapa sumber gambar yang menyala secara bersamaan, penonton tahu harus melihat ke mana, pula kapan waktunya mengalihkan fokus pandangan. Di sini tidak. Semua bertabrakan.
Vidkill juga kekurangan kreativitas dalam membangun intensitas. Praktis selama sekitar 82 menit, kita cuma melihat tokoh-tokohnya berteriak, lalu sesekali si sosok misterius muncul, membunuh, kemudian menghilang. Pun sewaktu pembunuhan terjadi, eksekusinya sangat lemah. Asal tusuk, asal tembak, yang seluruhnya hanya bisa penonton saksikan dari jauh. Repetitif, kosong, membosankan, miskin kreativitas.
Di antara jajaran pemain, Shindy Huang saja yang menghadirkan akting memadai. Cara Shindy mengekspresikan rasa takut cukup meyakinkan. Sisanya medioker. Bahkan Pradikta Wicaksono tampil menggelikan. Respon Theo kala melihat nyawa calon istrinya terancam, seperti orang yang baru menginjak kotoran ayam. Di pertengahan durasi, Theo menghabiskan lebih banyak waktu di dalam mobil. Dia menelepon sambil menyetir, menyusul Stella dan kawan-kawan. Tapi hampir di sepanjang perjalanan, Dikta sebatas meletakkan kedua tangan di setir, sembari terus melihat layar smartphone. Ditambah lagi, sang sutradara pun tak berusaha memalsukan peristiwanya, agar minimal mobil yang Theo kendarai seolah sedang bergerak.
Paruh ketiga Vidkill mengajak kita melompat ke tiga minggu pasca tragedi berdarah di vila, guna mengungkap satu twist sederhana serta tambahan-tambahan informasi, yang dipresentasikan dengan amat draggy. Beberapa informasi memang cukup memperkuat motivasi karakter, namun apakah perlu sampai 20 menit? Tentu saja tidak. Apakah anda perlu menyisihkan uang, waktu, dan tenaga, ketika deretan film lokal berkualitas seperti Losmen Bu Broto, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan Yuni tengah tayang? Tentu saja tidak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:bang gue gak percaya lo nonton beginian dari poster aja gak meyakinkan sama sekali (apa itu kantong kresek yang ada di muka) mendingan the power of the dog bang belum direview nih calon nominasi oscar.
bang ott nih teka teki tika tuh emang belum di review atau gak tertarik nih.kayaknya ada di jaff kan filmnya atau gak ada.
Dari posternya aja udah menyiratkan filmnya akan seperti apa ��... harusnya tayang di disney hostar aja ��
Posternya kyk film dewasa
Review film terbapuk sejak Benjamin biang kerok 2, ane pikir populasi film kaya beginian udah punah eh ternyata cuma terhambat pendemiš¤£
Beneran dong ada di Hotstar wkwk
Dikta sumpah jelek bgt akting ny. Plot twist receh dr pertengahan film aja saya sudah bisa menebak siapa sosok misterius itu dan jg motifnya rating pribadi 3/10
Posting Komentar