REVIEW - MASS

Tidak ada komentar

"Mass" di judul film ini lebih merujuk pada "mass shooting", bukan misa. Tidak ada ibadah dijalankan di sini, namun tokoh-tokohnya jelas berdoa. Beberapa demi memperoleh jawaban, lainnya demi pengampunan. Tapi mungkin mereka tak berdoa pada Tuhan. Bahkan mungkin tidak tahu, doa itu mesti dipanjatkan ke siapa, serta bagaimana. Mereka tersesat.

Kisah dibuka saat Judy (Breeda Wool) mempersiapkan ruang untuk suatu pertemuan. Judy wanita baik. Walau agak canggung, cenderung menekan emosi guna menghindari situasi tak menyenangkan (tipikal white church lady), ia baik. Judy ingin menolong sebisanya. Tapi bagi keempat orang yang terlibat dalam pertemuan itu, niat baik Judy menyediakan camilan dan kopi bukan bentuk pertolongan yang dibutuhkan.

Jay (Jason Isaacs) dan Gail (Martha Plimpton) masih berduka atas tragedi penembakan di sekolah, yang menewaskan putera mereka enam tahun lalu. Sedangkan Richard (Reed Birney) dan Linda (Ann Dowd) selaku orang tua pelaku, banyak menerima ancaman serta kebencian akibat perbuatan keji sang putera. Diperantarai oleh Kendra (Michelle N. Carter), seorang pengacara, dua pasang suami istri itu bersedia bertemu di gereja untuk saling bicara.

Membicarakan apa? Tanyakan itu pada karakternya, niscaya mereka pun bakal kesulitan menjawab. Sedangkan bagi Fran Kranz selaku sutradara sekaligus penulis naskah (baru menjalani debut), pertemuan dijadikan cara mengupas kompleksitas individu-individu yang terlibat langsung dalam kasus penembakan massal. 

Bagaimana orang tua korban dapat menemukan kedamaian? Apakah orang tua pelaku patut disalahkan? Haruskah orang tua pelaku menghapus cinta kepada puteranya? Kranz tak mengambil jalan mudah dalam mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas. Tuturannya thought-provoking. Beberapa poin mungkin akan sulit diterima, dan di situlah ujian bagi kita, penonton, datang. 

Eksplorasinya mengonfrontasi perspektif penonton sebagai orang luar, yang lebih mudah menghakimi, menilai, pula menyalahkan pihak mana pun, karena tidak punya ikatan personal. Penonton diajak mengerti, ikut mencari jawaban tanpa menaruh prasangka. Mass bukan sebuah proses memahami (apalagi membenarkan) pelaku, melainkan proses mengamati dua belah pihak saling memahami, untuk kemudian belajar menerima. Satu pihak belajar menerima fakta putera mereka pembunuh, pihak lain belajar menerima bahwa pembunuh putera mereka juga putera orang lain. 

Mengingat karakternya sendiri tidak selalu tahu mesti membicarakan apa, wajar ketika beberapa kali penceritaannya terkesan berputar-putar. Wajar, namun tetap wujud kekurangan, yang untungnya dapat ditekan oleh performa jajaran pemain. Birney menghapus keklisean figur "ayah sibuk tak perhatian", Dowd yang senantiasa coba berempati, Isaacs yang bak bom waktu, dan Plimpton, yang walaupun paling banyak diam, selalu menggetarkan tiap menjadi sorotan.

Kranz sadar cast-nya luar biasa, lalu dengan sensitivitas tinggi, memilih shot-nya dengan tujuan memaksimalkan emosi seluruh karakter. Kapan harus menaruh fokus ke sosok yang tengah bicara, kapan reaction shot harus diselipkan agar bukan sekadar aksi memenuhi basic filmmaking. Dia layaknya sosok tak terlibat di ruangan, yang mengamati, memperhatikan, juga menyelami rasa keempat manusia di sana.

Mass adalah drama tentang saling bercerita dan mendengarkan, guna mencari kesembuhan melalui proses memahami. Memahami bagaimana perasaan orang lain dan kita sendiri. Memahami bahwa biarpun amatlah rapuh, nyatanya kita sebagai manusia, cukup kuat untuk menemukan pijakan melalui satu sama lain, tanpa bergantung pada "higher power". 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: