REVIEW - NIGHTMARE ALLEY

1 komentar

Di sebuah kesempatan, protagonis Nightmare Alley dibaca garis nasibnya memakai kartu tarot. Hasilnya, ia bakal tertimpa nasib buruk. Keburukan seperti apa? Begitulah rasanya menonton film ini. Mengetahui bagaimana noir bekerja, kita tahu tragedi menanti, namun rupanya tak diketahui. Sama seperti ketidaknyamanan kala menyusuri gang gelap di tengah malam. Seolah ada yang siap menerkam, tapi entah apa. 

Karya terbaru Guillermo del Toro ini, yang naskahnya dia tulis bersama Kim Morgan selaku adaptasi layar lebar kedua bagi novel berjudul sama buatan William Lindsay Gresham (versi pertamanya rilis tahun 1947), adalah tontonan sarat foreshadowing, yang bertujuan menelusuri sisi kelam manusia, serta bagaimana putaran takdir seolah enggan mengalah, lalu ingin memamerkan betapa kelam ironi yang dibawanya.

Protagonis kita bernama Stan (Bradley Cooper). Di sekuen pembuka, Stan membakar rumahnya, bersamaan dengan tubuh yang terbungkus kain. Apakah ia pembunuh? Ataukah penonton sedang dikecoh? Pastinya Stan bukan pria polos. Kematian tak asing baginya, sehingga ini pun bukan kisah hilangnya kepolosan individu. 

Stan tiba di kelompok sirkus milik Clem (Willem Dafoe). Salah satu aksi andalan mereka adalah geek show, di mana pria berpenampilan kumuh menggigit kepala ayam hidup. Aksi ini dahulu marak dilakukan, dan sang penampil, yang biasanya tanpa talenta apa pun, bersedia direndahkan demi asupan opium dan/atau alkohol. Stan bertanya-tanya, "Bagaimana bisa ada manusia yang terjatuh sedemikian dalam?". 

Kerlap-kerlip lampu karnaval di malam hari, pencahayaan temaram, ditangkap oleh kamera Dan Laustsen, sinematografer yang sudah empat kali berkolaborasi dengan del Toro. Cantik sekaligus misterius. Serupa karya-karya sang sutradara biasanya, namun Nightmare Alley bagai melangkah di garis batas antara magisnya dunia fantasi dan realita. 

Tapi tiada monster di sini. Hanya ada manusia-manusia, yang dianggap monster oleh sesamanya (geek, janin bermata tiga bernama "Enoch" yang diawetkan dalam toples). Pula tidak ada sihir. Hanya ada rangkaian trik yang dilakukan sedemikian meyakinkan sampai tampak bak keajaiban. 

Salah satunya cold reading, yang dipelajari Stan dari pasangan suami-istri, Pete (David Strathairn) dan Zeena (Toni Collette). Berbekal metode rumit, mereka bisa menebak benda apa yang orang lain pegang dengan mata tertutup, bahkan membaca sejarah di baliknya. Del Toro seperti punya ketertarikan tinggi akan praktek tersebut (dan pertunjukan sirkus secara umum), lalu dengan antusias mengajak kita menelisik seluk beluknya. 

Salah satu poin terbaik Nightmare Alley adalah tiap mempresentasikan detail pertunjukan, yang tak jarang menutupi lubang penceritaan. Jika versi 1947 cuma berdurasi 111 menit, maka versi del Toro berjalan hingga dua setengah jam. Terlalu panjang, pun tidak jarang kisahnya hilang arah.

Ada istilah "kill your darlings", yang merujuk pada keharusan penulis untuk berani menghilangkan bagian alur, adegan, atau kalimat yang dirasa kurang signifikan. Del Toro dan Morgan bak enggan melakukannya, hingga penceritaannya, terlebih di paruh pertama, seperti sedang menaiki komidi putar yang tidak pernah berhenti. 

Cukup lama pula sampai kisahnya memasuki ranah romansa. Stan jatuh cinta pada Molly (Rooney Mara) si "gadis listrik", mengajak sang pujaan hati turut serta dalam upayanya mengejar mimpi, yang jadi titik balik film. Nantinya Stan juga berurusan dengan Dr. Lilith Ritter (Cate Blanchett), seorang psikolog. Blanchett menghipnotis layaknya femme fatale khas noir.

Semakin jauh Stan melangkah, semakin kentara apa yang menantinya di ujung gang gelap. Sekali lagi, tidak ada monster. Bagi Stan, monster itu justru dirinya sendiri. Seorang pria dengan father issue, yang berujung menjadi sesuatu yang amat dia benci. Tatkala kebohongan tidak lagi dapat dikendalikan, si pembohong pun mulai memercayai kebohongan itu, lalu terjebak dalam mimpi buruk yang ia wujudkan sendiri. 

Babak akhirnya membawa filmnya menyuguhkan beberapa kekerasan, tapi hal paling mengerikan justru bukan berasal dari pertumpahan darah, melainkan ironi takdir di penghujung cerita. Tawa Cooper di shot penutup saat karakternya (dan penonton) menyadari ironi tersebut, terdengar sangat mengiris, juga menghantui, sebab kita pun bisa saja bernasib serupa. Penuturan Nightmare Alley memang tergolong lemah dibanding deretan karya Guillermo del Toro lain, namun konklusinya salah satu yang paling menusuk.

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Bg review film animasi Netflix The Summit of the Gods.