REVIEW - FLEE
Medium animasi berfungsi meniadakan kemustahilan yang membatasi live action. Itulah kenapa animasi identik dengan cerita fantastis dan tuturan over-the-top. Tapi Flee sebaliknya. Kemustahilannya bukan terkait hal-hal berskala besar, melainkan ruang intim individu. Visualisasi memori dan isi hati adalah tujuannya. Flee tidak menengadah ke luar, namun menilik jauh ke dalam.
Animasi pun membantu sang sutradara, Jonas Poher Rasmussen, bercerita secara utuh sembari melindungi subjeknya. Narasumber dipanggil "Amin", yang merupakan nama samaran. Sosok animasinya diubah, begitu juga detail-detail lain seperti lokasi. Beberapa kali saya mendapati dokumenter lalai melindungi identitas subjek dengan mengatasnamakan "mengungkap fakta seutuhnya". Rasmussen tidak demikian. Dia mengungkap fakta atas dasar kepedulian, bukan ambisi merengkuh kejayaan personal.
Amin Nawabi adalah akademisi yang menetap di Denmark, tetapi kerap bepergian ke luar negeri untuk mengisi senimar atau menjalankan proyek riset. Sosoknya terpandang. Kehidupan pribadinya tampak bahagia. Amin tinggal bersama calon suaminya, Kasper. Keduanya sedang mencari rumah sembari merencanakan pernikahan. Walau begitu, ada sebersit keraguan dalam diri Amin. Melalui wawancara dengan Rasmussen, kita dibawa mengunjungi masa lalu kelam yang melandasi keraguan tersebut.
Amin duduk, lalu mulai bercerita tentang kehidupannya sebagai bocah di Afganistan. Format live action memerlukan rekaman video pribadi agar flashback-nya terealisasi, yang tak Amin miliki. Sedangkan stock footage pun takkan sepenuhnya mewakili. Berkat animasi, kunjungan Flee ke masa lalu benar-benar seperti perwujudan memori.
Lagu Take On Me membuka perjalanan waktu, melihat kehidupan damai Amin sekeluarga mendadak runtuh akibat perang. Ayahnya ditangkap, dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Bersama ibu, satu kakak laki-laki, dan dua kakak perempuan, Amin mengungsi ke Rusia, di mana rasa takut, terutama akibat para polisi korup, menggelayuti setiap hari. Polisi rutin mencegat para imigran, mengancam bakal memulangkan mereka jika tak mampu membayar sejumlah uang.
Kata "memulangkan" mungkin agak kurang tepat. Di awal film, Amin mendefinisikan "rumah" sebagai "ruang aman". Afganistan memang tanah kelahiran, dan apabila mengacu pada pemaknaan konvensional, adalah sebuah rumah. Tapi ketika tanah kelahiran meniadakan rasa aman, apakah masih pantas dianggap demikian? Timbul konflik di batin Amin, sehingga membicarakan perihal rumah dengan Kasper jadi tidak sesederhana itu.
Tema besar Flee adalah mengenai trauma yang menolak lenyap dari hidup para imigran. Seiring Amin bertutur, Rasmussen (dan penonton jika kita memperhatikan secara cermat), menyadari adanya inkonsistensi dalam ceritanya. Bukannya Amin berbohong, tapi itulah akibat terus-menerus hidup di balik ketakutan. Ketakutan bakal terlempar lagi ke mimpi buruk mengaburkan identitas seseorang, bahkan bagi orang itu sendiri.
Alhasil, menceritakan pengalamannya bukan perkara mudah bagi Amin. Dia sempat berhenti sejenak untuk berbicara dengan Rasmussen tanpa ada kamera merekam. Di sini medium animasi kembali menunjukkan fungsinya. Momen "off camera" yang lebih intim bisa kita saksikan. Gambaran lebih besar bisa kita dapat, tanpa menambah beban subjek untuk bicara di depan sorotan kamera.
Kualitas animasi Flee mungkin tidak selalu mulus, tapi selain meniadakan batasan tadi, setidaknya pencipta sejarah di Academy Awards ini (film pertama yang dinominasikan di kategori Best Documentary Feature, Best Animated Feature, dan Best International Feature Film) juga muncul dengan gaya visual cukup beragam. Sentuhan ekspresionisme muncul di beberapa titik. Salah satu yang paling menonjol adalah penggambaran menyesakkan dan mengerikannya ruang gelap, kala dua kakak perempuan Amin diselundupkan ke Swedia (kakak sulung Amin lebih dulu mengungsi ke sana beberapa tahun lalu guna menghindari dikirim ke medan perang) dalam kargo kapal.
Perihal identitas di atas turut membawa filmnya ke pembahasan mengenai orientasi seksual. Amin menyadari ketertarikannya pada pria sejak kecil. Van Damme di Bloodsport (1988) merupakan pujaan dan fantasinya. Mengingat belum terbukanya Afganistan akan LGBT ("tidak ada sebutan bagi gay di sana", ucap Amin), ia memilih menyembunyikan itu dari keluarga. Selepas tiba di Denmark, lalu mulai berkomunikasi dengan kakak-kakaknya di Swedia, dilema itu menguat.
Konklusinya uplifting, menyentuh, sekaligus berhasil menyatukan segala pokok bahasan, membawanya bermuara ke satu tema, yakni mengenai identitas. Bagi orang-orang seperti Amin yang "pergi", baik secara literal (pergi dari tempat asal) maupun figuratif (pergi dari identitasnya), tidak ada yang lebih berharga dibanding menemukan rumah. Menemukan ruang di mana ia bisa merasa aman hidup sebagai dirinya sendiri.
(Hulu)
3 komentar :
Comment Page:bang jujur yang bikin gue penasaran tentang film ini bukaanya karena dapet 3 nominasi oscar atau isu lgbt nya.tapi tentang "ini denmark punya hubungan apaan sama oscar" perasaan denmark nongol mulu di nominasi oscar atau daftar pendeknya.kayaknya cuma 3 tahun aja di dekade kemarin denmark gak masuk nominasi atau daftar pendek oscar.
Di luar kualitas, ya soal reputasi. Italia, Prancis, Spanyol, Denmark, Jepang, sejarah filmnya udah panjang. Ya sama kayak misal Spielberg rilis film, orang udah expect bakal bagus & dapet nominasi
Nunggu review nya the Batman
Posting Komentar