REVIEW - PETITE MAMAN

2 komentar

"You did not invent my sadness". "Secrets aren't always things we try to hide. There's just no one to tell them to". Kalimat-kalimat itu terdengar indah dan bijaksana. Sehingga, apabila di dunia nyata ada bocah delapan tahun mengucapkannya, pasti langsung viral di media sosial. Saya pun mempertanyakan perspektif yang Céline Sciamma (Tomboy, Portrait of a Lady on Fire) pakai untuk mengemas film ini. 

Petite Maman adalah film yang indah, baik terkait gagasannya mengenai upaya anak mengenal orang tua, maupun pengadeganan sang sutradara. Sebuah adegan di awal durasi memperlihatkan Nelly (Joséphine Sanz) dan ibunya, Marion (Nina Meurisse), berada dalam mobil. Kamera menyorot wajah Marion, sementara hanya tangan Nelly yang terlihat. Dia menyuapi kudapan ke mulut Marion. Lalu minuman kotak. Terakhir, dipeluknya sang ibu dari belakang. Tampak betul sensitivitas Sciamma dalam mengolah interaksi ibu-anak tersebut. 

Nenek Nelly baru saja meninggal. Bersama kedua orang tuanya, Nelly bermalam beberapa hari di rumah masa kecil Marion untuk mengosongkan isinya. Proses itu rupanya terlampau berat bagi Marion, yang di suatu pagi memilih pergi, meninggalkan Nelly dan ayahnya (Stéphane Varupenne). Tapi sebagai anak tunggal, kesendirian tidaklah asing bagi Nelly. Dia terbiasa, bahkan mungkin terpaksa menikmatinya. Ketika menemukan sebuah paddle ball, dan mengetahui permainan itu dimainkan seorang diri, responnya sederhana. "Sempurna", begitu ucap Nelly. 

Terdapat poin penceritaan penting yang mustahil dikesampingkan kala membahas Petite Maman, jadi kalau anda ingin menonton tanpa tahu sedikit pun tentangnya, silahkan berhenti membaca sampai di sini. Ketika bermain di hutan belakang rumah, Nelly bertemu seorang gadis. Selain sama-sama berumur delapan tahun, wajah si gadis pun amat mirip dengannya (diperankan Gabrielle Sanz, saudara kembar Joséphine). Nama gadis itu Marion. 

Nantinya Nelly sadar, kesamaan tersebut bukan sebuah kebetulan. Marion memang ibunya dari masa lalu. Jangan berpikir Petite Maman merupakan fiksi ilmiah high concept. Sciamma mempertahankan nuansa naturalistik, membiarkan fenomena itu tanpa penjelasan (lebih seperti keajaiban puitis ketimbang peirstiwa saintifik), menjadikannya alat mengeksplorasi perihal jurang pemisah antara anak dan orang tua. 

Tidak semua orang tua bisa menghapus sekat permisah dengan si buah hati. Acap kali tercipta jarak, yang membuat anak bertanya-tanya seperti apa sebenarnya si ayah/ibu. Apa yang mereka pikirkan? Kenapa mereka sedih? Mempertemukan Nelly dengan versi muda Marion, memberinya kesempatan mengenali sang ibu secara lebih gampang. Karena keduanya berada di satu dunia. Dunia bocah. 

Sciamma menyerahkan segala proses belajar kepada karakter anak. Tidak ada petuah maupun arahan dari orang dewasa. Hanya seorang bocah yang mengobservasi, kemudian menyimpulkan. Tapi karena itu pula saya jadi mempertanyakan kacamata yang digunakan Sciamma. Sekali lagi, dialog dipenuhi kalimat indah, namun jelas bukan berasal dari pemikiran anak delapan tahun, tidak peduli sekaya apa kosakatanya dan sejago apa ia bermain teka-teki silang. Petite Maman bak proses Sciamma merasuki tubuh anak kecil, tapi mempertahankan mental age dewasa. Hasilnya menguntungkan secara estetika, namun melemahkan logika.

Menariknya, kelemahan di atas mampu "dimanipulasi" oleh akting si kembar, yang sama sekali tak kesulitan menangani kalimat-kalimat serta emosi kompleks. Joséphine dengan raut wajah penuh tanya, sedangkan Gabrielle membuat saya tersentuh kala mengucapkan "merci" kepada "suami masa depannya". Cara bicaranya penuh makna. Dia berbisik. Ekspresinya bahagia, tapi tidak hanya karena momen saat itu. Seolah pikirannya diisi bayangan atas skenario-skenario indah di masa yang akan datang. 

Lain halnya jika membicarakan pengadeganan. Sensitivitas Sciamma kembali terlihat, kala menangkap gestur-gestur seorang bocah dalam kesendiriannya. Mungkin karena di departemen ini, statusnya adalah observer, yang lewat kameranya, menuangkan segala gerak-gerik bocah sebagaimana pernah disaksikan, tanpa harus benar-benar menjadi mereka. Tempo lambatnya mungkin takkan mudah diikuti sebagian orang, namun dibantu sinematografi garapan Claire Mathon, sarat visual yang tidak cuma indah, juga terasa intim.

(CGV Award Season Week)

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Kenapa dialognya dianggap melemahkan logika? Ceritanya aja tentang si anak yg ketemu versi bocah ibunya. Udah jauh dari kata logis atau realistis

Rasyidharry mengatakan...

Karena sudut pandang yang coba dipake itu sudut bocah. Mau beneran terjadi atau cuma di fantasi dia, susah percaya kalimat itu keluar dari bocah 8 tahun. Walaupun itu bikin filmnya jadi indah & mewakili keresahan penonton dewasa