REVIEW - TEXAS CHAINSAW MASSACRE
Leatherface (Mark Burnham) mematahkan tangan seorang polisi hingga tulangnya menyembul, lalu memakainya untuk menusuk leher si korban. Itulah pembunuhan pertama Leatherface di sini, dan saya langsung yakin bahwa film yang disutradarai David Blue Garcia ini bakal mengembalikan slasher ke akarnya, tanpa direcoki upaya tampil cerdas layaknya judul-judul modern beberapa tahun terakhir.
Walau merupakan film kesembilan di serinya, Texas Chainsaw Massacre berstatus sekuel langsung bagi The Texas Chainsaw Massacre (1974), yang tak memedulikan eksistensi tujuh installment lain. Berlatar hampir setengah abad pasca pembantaian di film pertama, kali ini protagonis kita adalah empat muda-mudi kaya. Melody (Sarah Yarkin), adik Melody, Lila (Elsie Fisher), Dante (Jacob Latimore), dan pacar Dante, Ruth (Nell Hudson).
Keempatnya menyambangi Harlow, sebuah kota mati terpencil di area Texas, dengan tujuan melelangnya sebagai bentuk gentrifikasi. Tidak butuh waktu lama sampai timbul masalah. Kematian seorang warga lokal akibat serangan jantung jadi awal terulangnya pertumpahan darah sekitar 50 tahun lalu.
Ditulis naskahnya oleh Chris Thomas Devlin, dari cerita buatan Fede Álvarez dan Rodo Sayagues (duo yang melahirkan Evil Dead versi reboot dan Don't Breathe), Texas Chainsaw Massacre adalah sebuah pernyataan bahwa pada hakikatnya, slasher tidak pandang bulu. Kaya atau miskin, orang kota atau desa, woke atau rasis, semua bakal berakhir di kantong mayat.
Didorong semangat mengangkat lagi formula klasik genrenya, para pembuat Texas Chainsaw Massacre telah melahirkan slasher modern terbaik sejak tetralogi Hatchet usai lima tahun lalu. Menggantikan rumah jagal yang panas dan kotor dari film pertama, guyuran hujan di Harlow jadi panggung David Blue Garcia membiarkan Leatherface lepas tanpa kontrol.
Apalagi belakangan ini, tiada slasher selengkap Texas Chainsaw Massacre. Sutradara mampu membuat seluruh kepala yang hancur, tulang yang remuk, hingga tubuh yang terbelah, terasa dampaknya. Tidak ada usaha menahan diri. Satu sekuen dalam bus, di mana Leatherface melakukan pembantaian besar-besaran sembari mencincang cancel culture (tanpa intensi negatif, hanya bentuk bersenang-senang ala slasher), menjadikan keputusan merilisnya langsung di Netflix suatu langkah jitu (rating NC-17 niscaya bakal didapat bila tayang di bioskop).
Saya menyebut "lengkap", karena selain gore, filmnya pun menawarkan intensitas mumpuni. Beberapa jump scare tampil efektif, tapi yang paling mengesankan adalah bagaimana di tangan Garcia, Leatherface si monster bertubuh besar bersenjatakan gergaji mesin berisik, bisa mengintai korban diam-diam, menebar kengerian yang merayap perlahan.
Terdengar seperti Michael Myers? Beberapa adegan mengingatkan pada "si kompetitor", namun sejatinya, film ini malah bak "anti-Halloween", yang diperkuat oleh kemunculan Sally Hardesty (Olwen Fouéré menggantikan Marilyn Burns yang meninggal tahun 2014) selaku penyintas tunggal film pertama. Layaknya Laurie Strode di Halloween (2018), Sally tumbuh jadi wanita tua yang mempersiapkan diri demi menuntut balas.
Tapi dinamika Sally-Leatherface adalah kebalikan dari Laurie-Michael. Jika Michael terobsesi pada Laurie, maka di mata Leatherface, Sally tidaklah relevan. Hanya seonggok daging lain yang menunggu dicincang. Konklusi pertemuan keduanya pun berlawanan dengan konfrontasi Laurie-Michael, seolah menyatakan bahwa seri TCM sepenuhnya milik Leatherface. Hanya ada tragedi dan pembantaian, tanpa harapan memperbaiki keadaan.
Karena itu pula protagonisnya terkesan kurang menarik. Lila jelas tidak berada di jajaran "final girl" kelas satu. Latar belakang sebagai penyintas penembakan massal yang berjuang mengatasi trauma juga cuma sempilan nihil dampak. Tapi sekali lagi, Leatherface merupakan sentral TCM. Ending-nya, selaku versi lebih brutal nan shocking dari adegan penutup film Tobe Hooper, menegaskan itu, membuat saya bertepuk tangan sambil berujar, "INI BARU SLASHER!".
(Netflix)
7 komentar :
Comment Page:Wow gak nyangka kirain bakal kasih review jelek, soalnya kebanyakan review luar bilang jelek.
Namanya juga kripikus~
klo kata bang rasyid "fuck critics"������
SPOILER ALERT!!
Menurut saya dari beberapa seri leatherface, yang versi 2022 cukup brutal sih. Adegan epic di bus yang sudah muncul di trailer juga tetep bikin nganga pas nonton. Soal Sally saya sependapat karena dalam waktu 50th sudah menunggu eh taunya ya gitu aja ga seseru waktu Laurie ketemu sama Michael.
Untuk endingnya selalu dan selalu formula sama di setiap slasher movie, Kenapa kalau villainnya sudah mati ga dipastikan lagi gitu kalau bener-bener mati jangan ditinggal. Dan menurut saya kali ini si Mark punya visi yang jelas kenapa dia sampai membantai orang-orang itu yang mengusik dia sampai menyebabkan ibunya meninggal. Overall versi 2022 ini merupakan salah satu versi yang saya suka selain yang versi 3D karena ada Alexandra Daddario.
Slasher yg baik menurut saya kalaupun mau lebih 'serius' tidak boleh lebih dari Scream 1994. Itu yg menyebabkan saya kurang suka Halloween versi modern yg walaupun dari segi teknis dan cerita bagus tapi bukan film slasher yg bisa saya nikmati. Dan saya sepakat TCM 2022 kembali ke habitat slasher tahun 1980-an yg bodoh, lucu, seru dan banyak darah
sepertinya kenapa rating film ini jeblok karea membantai sekelompok generasi woke tanpa ampun haha (sangat memuaskan) dimana udah jarang film modern yg berani nglakuin itu, and maybe there isnt penyampaian pesan karakter wanita or lgbt karakter yg nge overcome evil ( hell saya harus eye rolling brapa kali nonton fear street trutama yg seri ketiga dimana film malah lebih sumpek maksain pesan”seperti diatas dalam film slasher) sama kadarnya gore nya yang ga pandang bulu mungkin gabisa diterima beberapa kripikus kayanya slahser modern blakangan udh agak soft, pas film slesai HELL THIS IS FUCKIN PROPPER SLASHER MOVIE sembari tepuk tangan, tapi emangsih formulanya agak berasa ikutin halloween yg baru
Posting Komentar