REVIEW - THE TINDER SWINDLER
Dari Dirty Rotten Scoundrels (1988) hingga Focus (2015), saya selalu suka film soal para penipu. Deretan trik over-the-top jadi alasannya. Ya, over-the-top. Segala tipu daya dengan taktik rumitnya amat sulit, bahkan bisa dibilang mustahil dilakukan di dunia nyata. Catch Me If You Can (2002) memang didasari autobiografi, namun kebenarannya dipertanyakan, dan Frank Abagnale sendiri mengaku telah melebih-lebihkan cerita.
The Tinder Swindler mengejutkan, karena seolah membuat judul-judul di atas jadi kenyataan. Dan karena bersifat faktual, si penipu bukan lagi sosok keren, melainkan penjahat manipulatif nan menjijikkan. Namanya Simon Leviev. Modusnya adalah membuat profil Tinder, mengaku sebagai putera "raja berlian" dari Israel, memamerkan kekayaan berlimpah, lalu menggunakannya sebagai senjata untuk memancing korban.
Si korban dibuat merasa spesial. Bukan hanya lewat materi, juga secara emosi. Setelah memercayai segala hal tentang Simon, termasuk perihal kekayaannya, harta mereka mulai dikuras. Modus operandinya tidak cuma memacari korban, sebagaimana yang dilakukan pada Cecilie dan Ayleen, bisa juga menjadikannya sahabat seperti yang dialami Pernilla.
Melalui penuturan ketiga korban sebagai narasumber, kita mempelajari betapa mencengangkan strategi Simon dalam aksinya, yang di tangan Felicity Morris selaku sutradara, tampil seseru film-film bertema con artist. Penuturannya rapi, pun tidak terburu-buru (walau menerapkan tempo cukup cepat) dalam menyibak satu per satu fakta, termasuk kaitan antara korban. Jadilah The Tinder Swindler tontonan intens.
Cara kerja Simon amat rapi, begitu meyakinkan, sehingga penonton bakal memahami, kenapa nantinya para korban bersedia meminjamkan uang dalam jumlah besar. Dari sinilah simpati dibangun. The Tinder Swindler memang menegangkan, juga menjadikan trik Simon sebagai salah satu pondasi narasi, tapi tidak berarti kejahatannya diglorifikasi. Film ini tetap mengedepankan korban.
Kultur victim blaming disentil (satu pernyataan yang sangat penting berbunyi, "Kalau korban materialistis, mana mungkin mereka bersedia mempertaruhkan kondisi finansial demi Simon?"), pula lambatnya penanganan pihak berwenang, di mana polisi baru bergerak pasca kasusnya viral, sedangkan pengadilan gagal memberi ganjaran setimpal, mengingat saat ini Simon hidup bebas bergelimang harta di Israel.
"The moment they Google him now, it will be there", ucap Cecilie dalam salah satu momen paling uplifting film ini. Paruh akhirnya membawa para korban melancarkan serangan balik, sembari menegaskan keberpihakan filmnya kepada mereka. Dokumenter ini memang membicarakan tentang seorang penipu, Tapi lebih dari itu, The Tinder Swindler juga kisah soal para manusia, yang saling menarik satu sama lain guna keluar dari lubang hitam, sambil berusaha menutup lubang tersebut selamanya, agar tiada lagi yang jatuh ke dalamnya.
(Netflix)
1 komentar :
Comment Page:Penasaran kalau docu kayak gini itu foto-fotonya si Simon itu apakah secara aturan boleh dipakai langsung sama netflxnya? Atau harus ada persetujuan gitu?
Posting Komentar