REVIEW - BELFAST
Kerinduan jadi alasan saya kembali ke Yogyakarta setelah menghabiskan dua tahun di Jakarta. Tiga tahun berselang, rasa itu tidak pernah hilang. Muncul kesadaran, bahwa bukan "tempat" yang dirindukan, melainkan kenangan. Kenangan atas masa lalu yang diromantisasi. Semu, maya, sehingga takkan bisa (sepenuhnya) terobati.
Sepertinya Kenneth Branagh menyimpan perasaan serupa terkait masa kecilnya di gang sempit Belfast. Branagh pun menyadari kemayaan itu, dan sebagai sineas, membuatnya jadi nyata lewat layar sinema. Meski banyak sisi protagonisnya mencerminkan kehidupan sang sutradara, Belfast bukan autobiografi. Branagh tidak menyampaikan kesaklekan realita, namun memproyeksikan rekaman memori serta rasa, yang ingin ia sentuh lagi.
Belfast, 1969. Kehangatan di gang tempat Buddy (Jude Hill) tinggal tiba-tiba berubah akibat konflik The Troubles. Loyalis Protestan menyerang rumah orang-orang Katolik di sana. Sejatinya konflik ini lebih kompleks dari sebatas gesekan antar agama, tapi si kecil Buddy tentu belum paham tetek bengek politis di baliknya. Ujaran-ujaran kebencian bernada religi selalu terdengar, jadi itulah yang ia yakini.
Melalui obrolan yang sejatinya terlalu on-the-nose dalam berpesan namun efektif memberi sentilan menggelitik, Buddy dan sepupunya, Moira (Lara McDonnell), membahas cara membedakan orang Protestan dengan Katolik. "Namanya berbeda", ucap Moira, yang dibantah Buddy lewat fakta kontradiktif. Keduanya bingung. Siapa yang seharusnya mengajari dan memberi mereka pemahaman?
Jawabannya tentu "orang tua". Masalahnya, ayah dan ibu (dipanggil "Pa" dan "Ma") Buddy juga dipusingkan oleh hal lain, yakni lilitan utang. Pa (Jamie Dornan) yang bekerja di Inggris hanya bisa pulang beberapa minggu sekali. Sedangkan Ma (Caitriona Balfe) dipusingkan oleh surat-surat tagihan yang menumpuk, sembari terus menjaga Buddy dan sang kakak, Will (Lewis McAskie) dari kerusuhan.
Buddy mengetahui masalah finansial keluarganya, karena beberapa kali mendengar perdebatan orang tuanya. Informasi yang penonton dapat tidak lebih banyak dibanding Buddy, sebab naskah buatan Branagh disusun menggunakan kaca mata si bocah. Hampir semua yang kita tahu berasal dari apa yang Buddy lihat dan dengar.
Gaya penulisan tersebut menjaga Belfast berada di jalurnya. Bukan soal perang, politis, atau agama, melainkan proses tumbuh kembang anak sembilan tahun. Seorang anak yang tahu, bahkan merasakan dampak konflik, tapi tetap berada di dunianya. Terlibat cinta monyet, menjalin kedekatan dengan kakek (Ciarán Hinds) dan nenek (Judi Dench), kagum akan machismo John Wayne di The Man Who Shot Liberty Valance (1962), pula terpesona pada Raquel Welch di One Million Years B.C. (1966).
Branagh merupakan sineas Britania Raya sekaligus Hollywood, dan kedua wajah tersebut menyatu di sini. Visual hitam putih yang menangkap ruang intim kelas pekerja kental rasa kitchen sink realism, sementara sentuhan Hollywood membuat filmnya tampil sebagaimana crowd-pleaser. Dua sisi itu saling menguatkan, melebur mulus.....well, mungkin kecuali klimaks yang terlalu jauh mendekatkan diri ke dramatisasi berlebih ala Hollywood (clue: lemparan batu).
Sulit menolak energi yang dibawa Branagh lewat lagu-lagu Van Morrison, semaraknya sebuah komunitas masyarakat yang hangat dan erat, sampai sentuhan humor segar yang ditunjang kesadaran timing oleh penyutningan Úna Ní Dhonghaíle.
"There were no roads to Shangri-La from our part of Belfast", kata Granny dalam momen yang tampil menusuk berkat penampilan Judi Dench. Pemikiran tadi membuat beberapa orang memilih pergi demi memperbaiki hidup, tapi ada pula yang menetap karena ikatan dengan tanah kelahiran. Tiada benar atau salah. Belfast merupakan surat cinta bagi kenangan. Bagi mereka yang pergi dan merindukan kenangan itu, juga bagi mereka yang tinggal lalu bersemayam sebagai kenangan untuk dirindukan.
(iTunes)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar