REVIEW - LICORICE PIZZA

5 komentar

Status auteur memberi kebebasan membuat film apa saja. Kritikus dan cinephile bakal berpikir dua kali untuk memberi cap "buruk" bagi karya para auteur. Entah didorong kekhawatiran disebut "gagal paham", atau keyakinan "filmnya pasti bagus". 

Licorice Pizza dihantam beberapa kontroversi. Hubungan wanita 25 tahun dengan remaja 15 tahun yang jadi sentral cerita dianggap romantisasi terhadap pedofilia. Tudingan rasisme pun diterima akibat ada karakter berbicara memakai aksen yang mengolok-olok orang Asia. Tapi toh film ini tetap banjir pujian, bahkan menyabet tiga nominasi Academy Awards termasuk Best Picture. 

Mari bayangkan, andai Licorice Pizza bukan hasil karya auteur macam Paul Thomas Anderson. Jangankan berakhir dipuja, saya tak yakin filmnya bakal diproduksi. PTA bisa melenggang karena para pengamat bersedia "repot-repot" menganalisis lebih dalam, didasari pemikiran, "Seorang Paul Thomas Anderson mustahil berbuat demikian". 

Benar atau tidak filmnya problematik itu kembali pada kepercayaan tiap penonton, tapi PTA jelas sengaja bermain-main di garis batas. Naskahnya mengambil latar 1973 (terinspirasi dari Gary Goetzman yang memulai memulai karir sebagai aktor cilik di masa tersebut). Sebuah era penuh keliaran dilihat dari sisi mana pun. 

Gary Valentine (Cooper Hoffman), aktor berumur 15 tahun, jatuh cinta pada Alana Kane (Alana Haim), asisten fotografer berumur 25 tahun. Selisih usia, ditambah fakta kalau Gary masih di bawah umur, membuat Alana enggan menjalin hubungan. Mereka pun akhirnya cuma berteman. Pertemanan rumit yang melibatkan kecemburuan, bisnis-bisnis nekat, seluk-beluk industri perfilman, hingga setumpuk fenomena sosial 70an.

Dipandang melalui kacamata filmis, meski merupakan karya paling cerah dan ringan dari PTA, sama sekali tidak kehilangan sentuhan briliannya. Seperti biasa, sang sutradara sekaligus penulis naskah menolak teknik narasi konvensional. Alur tersusun atas fragmen demi fragmen yang seolah saling terpisah. Bukan wujud penuturan buruk, namun kesengajaan guna menggambarkan bagaimana tangkapan memori bekerja. Mungkin serupa keping-keping kenangan dalam album foto.

Penyuntingan Andy Jurgensen menciptakan kesan "ketidakrapian yang rapi", sembari menambah sentuhan unik lewat beberapa transisi. Tidak jarang penonton akan mengira masih menyaksikan adegan yang sama, hanya untuk kemudian mendapati latar waktu dan tempat sudah berganti. Kecerdikan PTA memilih shot turut membantu eksekusi trik itu.

Sekuen terbaiknya adalah puncak dari segmen yang mempertemukan Gary dan Alana dengan Jon Peters (Bradley Cooper) si produser eksentrik. Seperti saya sebut di atas, kisahnya melibatkan bisnis-bisnis nekat yang lahir dari kepala Gary. Salah satunya berjualan kasur air. Ketika proses pemasangan kasur di rumah Peters berujung kekacauan, keduanya terjebak dalam aksi kejar-kejaran (well, kind of).

Alana duduk di balik kemudi truk. Tanpa bahan bakar (krisis minyak sedang menghantam), di tengah area perbuktikan curam nan berliku. Keputusan yang ia ambil berjasa melahirkan sekuen kebut-kebutan unik, intens, juga lucu, yang turut mewakili proses protagonisnya. Menjalani fase kehidupan gila di tengah masa yang jauh lebih gila, mereka cuma bisa berjalan dengan prinsip "you gotta roll with it", sambil tetap menjaga agar tidak keluar jalur.

Cooper Hoffman dan Alana Haim sama-sama memikat memerankan dua muda-mudi beda usia dalam satu dilema. Gary sedang bertransisi. Walau masih di bawah usia legal, ia bukan lagi bocah. Dia belum cukup dewasa untuk minum alkohol atau terlibat aktivitas seksual, tapi jelas bukan lagi bocah sebagaimana aktor cilik lain. Alana merasa harus mulai menata hidupnya dan memberi kontribusi lebih, tapi ia masih bergaul bersama para remaja. 

Kembali ke kontroversi yang filmnya hadapi. Saya setuju bila hubungan dua tokoh utama tergolong percintaan polos tanpa tendensi romantisasi. Tapi bagaimana dengan hal lain? PTA memandang Licorice Pizza sebagai potret apa adanya bagi suatu masa. Perspektif seksis di banyak lini (marketing bisnis, industri film, dll.) hingga cultural appropriation jadi gambaran realita. Tidak keliru. Tapi apakah seluruhnya diperlukan guna memperkuat narasi utama?  

Mendekati akhir, kondisi terkait gay yang mesti menyembunyikan orientasi seksual mereka ikut dibahas. PTA membuat protagonisnya memberi respon heartful, tatkala mayoritas publik bersikap sebaliknya. Artinya, di situ PTA menunjukkan kuasa selaku pembuat karya, yang mempunyai kebebasan membentuk dunia sesuai keinginan. Anggapan "potret realita apa adanya" terdengar seperti dalih individu yang berlagak tidak berdaya padahal memegang kuasa. Licorice Pizza adalah film dengan craftmanship kelas wahid, tapi sebagai auteur, PTA semestinya bisa bersikap lebih bijak.

(iTunes)

5 komentar :

Comment Page:
john doe mengatakan...

bukannya film harusnya terserah si pembuat tanpa harus diurusi tetek bengek yang bersifat normatif? apa jadinya film malena kalau gitu!?

john doe mengatakan...

maaf kepencet tanda seru jadi kesannya ngegas

Rasyidharry mengatakan...

Bukan urusan normatif, tapi kepekaan & sensitivitas

Dan kalo nyebut Malena, ada 2 hal. Pertama, tujuannya erotic movie. Kedua, itu harus dilihat sebagai produk dari zaman tertentu. Sama kayak teknis filmmaking yang terus berkembang, kepekaan storyteller juga harus ikut berkembang

PTA di sini bukan rasis & seksis kayak yang banyak disebut mereka yang kontra, cuma kurang sensitif aja. Justru sebagai auteur (esp white male auteur) yang lebih bebas, tuntutan soal kepekaan itu lebih besar. Karena dia pegang kontrol penuh tanpa direcokin studio atau selera penonton mainstream

Anonim mengatakan...

Gua agak shock lihat reviewnya Spiderman No Way Home dan Texas Chainsaw Massacre lebih bagus dari ini.
Memang penilaian film itu subjektif,

Rasyidharry mengatakan...

Tujuan & bentuk 3 judul itu aja beda semua, ya nggak bisa apple to apple