REVIEW - THE BOOK OF FISH

2 komentar

Film atau drama saeguk identik dengan nuansa glamor. Tata artistik serta busana mewah dengan warna cerah seolah jadi kewajiban. Tengok saja The King and the Clown (2005) buatan sutradara Lee Joon-ik yang sampai sekarang bertengger di posisi 10 daftar film Korea Selatan paling laris sepanjang masa. Selang 17 tahun, The Book of Fish membawa Joon-ik menyambangi genre tersebut untuk kali keempat. 

Tapi kali ini mewahnya kerajaan diganti area pantai Heuksando (Pulau Gunung Hitam), sedangkan ragam warna ditukar dengan sinematografi hitam putih (warna lain cuma muncul di tiga adegan) hasil tangkapan kamera Lee Eui-tae (kolaborator Joon-ik di Sunset in My Hometown). Karena The Book of Fish bukan mengenai keglamoran. Bukan juga soal gelimang harta. Tapi proses belajar yang membawa karakternya makin merunduk, seiring bertambahnya ilmu yang mengisi kepala mereka.

Berlatar Joseon tahun 1801, seorang cendekiawan bernama Jeong Yak-jeon (sosok sejarah asli, diperankan oleh Sol Kyung-gu) diasingkan ke Heuksando akibat memeluk Katolik. Di masa itu, orang-orang Katolik dipersekusi karena dianggap mengkhianati kepercayaan konfusianisme yang jadi landasan bangsa. 

Meski berstatus "orang pandai", justru Yak-jeon yang menemukan banyak ilmu baru di Heuksando. Salah satunya tentang ikan, yang ia dapat dari Chang-dae (karakter fiktif, diperankan oleh Byun Yo-han), nelayan yang biarpun memiliki perspektif konservatif perihal kepercayaan, sejatinya tekun belajar. Dia jauh lebih berpengetahuan dibanding warga desa lain. 

Cendekiawan tua liberal, nelayan muda cerdas konservatif. Kombinasi menarik, yang masing-masing penokohannya penuh kontradiksi bila dilihat memakai stigma publik (Bagaimana bisa yang tua liberal sedangkan yang muda konservatif? Bagaimana bisa rakyat jelata gemar menenggelamkan diri dalam literatur?). Naskah buatan Kim Se-gyeom seolah menantang arogansi penonton dan karakter, yang merasa serba tahu.

Awalnya, kedua protagonis masih dikuasai arogansi masing-masing. Yak-jeon berjalan dan bicara sebagaimana bangsawan di tengah para jelata, Chang-dae mencap Yak-jeon "pengkhianat sesat". Seiring bertambahnya interaksi, pertukaran ilmu pun terjadi. Chang-dae minta dijadikan murid, Yak-jeon minta diajari tentang ikan guna menulis ensiklopedia kehidupan laut. 

The Book of Fish adalah film tentang "belajar". Jika mengacu ke anggapan "film bagus bisa membawa penonton berada di posisi karakternya", maka film ini bagus. Serupa dua tokoh utama, kita dibuat merasa tidak tahu apa-apa, kemudian tertarik ikut belajar. Belajar tentang ikan, tentang sistem yang mencekik rakyat (orang mati dan tunas pinus yang tumbuh secara liar dikenai pajak), hingga tentang tujuan dari proses belajar itu sendiri. 

Walau sekilas tampak seperti arthouse, baik dari premis maupun pilihan artistik, nyatanya The Book of Fish amat ringan. Selipan humor efektif, interaksi renyah dua protagonis, sampai kepiawaian sutradara bermain rasa dibantu iringan musik garapan Bang Jun-seok yang memperkuat dramatisasi, semua mencerminkan sensitivitas khas sineas Korea Selatan dalam melahirkan karya bergizi yang tetap bisa dinikmati kalangan luas. 

Mengingat sentral ceritanya adalah soal belajar, kesan berproses pun wajib filmnya munculkan. Akting Sol Kyung-gu dan Byun Yo-han berperan besar dalam tercapainya hal itu. Terutama Yo-han, yang mampu menangani  pendewasaan Chang-dae. Di paruh akhir, walau batin masih bergejolak, ia bukan lagi nelayan muda naif. Departemen artistiknya turut membantu. Sinematografi dan tata riasnya melebur amat baik, sehingga proses penuaan karakter berjalan natural. Pilihan warna hitam putih mengurangi kemungkinan kejanggalan tata rias terekspos.

Penceritaannya memang tidak sempurna. Subplot seputar pemberdayaan wanita tampil bak pernak-pernik yang mampir sejenak untuk kemudian dilupakan. Pun ada kesenjangan antara paruh awal dan akhir. Sejam keduanya tidak buruk, tampil layaknya drama inspirasional generik yang mengandung hati, tapi sejam pertamanya merupakan pencapaian luar biasa. Hangat, menyenangkan, mencerahkan. 

(Klik Film)

2 komentar :

Comment Page:
gilang mengatakan...

Saya suka Byun Yo Han sejak nonton Mr.Sunshine. Abis itu mulai menonton film beliau yang lainnya.
Terimakasih ulasannya mas

Anonim mengatakan...

Sageuk yg bener bang, bukan saeguk... Bacanya sagek dgn e pepet seperti e di kata telur