REVIEW - THE FALLOUT

1 komentar

The Fallout adalah film yang "kecil". Ceritanya tidak melebar ke luar, tapi meresap ke dalam, memberi ruang bicara pada hal-hal terpendam. Hal yang mungkin terlalu menyakitkan (dan tak jarang membingungkan) untuk diutarakan, atau dianggap anomali oleh orang lain sehingga timbul rasa segan untuk mengungkapkannya. 

Vada (Jenna Ortega), Mia (Maddie Ziegler), dan Quinton (Niles Fitch) bersembunyi di toilet kala penembakan massal terjadi di sekolah mereka. Seperti ketiganya, penonton tidak menyaksikan langsung peristiwa itu. Hanya beberapa suara tembakan dan ekspresi ketakutan. Di dalam bilik toilet sempit, penonton dibuat tercekat oleh kecemasan menyesakkan yang mereka rasakan. 

Sebuah pembuka yang efektif sekaligus sensitif. Megan Park selaku penulis naskah sekaligus sutradara menjauhi ranah eksploitasi. Park bukan ingin memerah tragedi, melainkan menelusuri psikologis. Setelahnya, Vada dihantui trauma. Dia mengurung diri di kamar, tak berdaya kala mimpi buruk terus mendatangi tidurnya. 

Hubungannya dan sang adik, Amelia (Lumi Pollack), yang dahulu erat kini merenggang. Pun dengan kedua orang tuanya (John Ortiz, Julie Bowen), yang kesulitan menghadapi situasi Vada. Vada sendiri bukan merasa tidak dipedulikan. Sebaliknya, ia tahu ayah dan ibunya adalah orang tua yang baik. Dia enggan membuat mereka menderita dengan menyampaikan segalanya, yang akhirnya malah membuat dirinya makin menderita. Di sini, naskah menunjukkan pemahaman atas subjeknya. Pemahaman soal rumitnya sebuah luka. 

Ketika sahabatnya, Nick (Will Ropp), merespon trauma dengan berusaha terlibat aktif dalam pergerakan terkait penembakan di sekolah, sejatinya Vada ingin ambil bagian. Tapi ia tidak mampu. The Fallout menjabarkan bahwa tiap orang punya cara masing-masing dalam menangani trauma. Ketika "mengubah luka jadi hal positif" cenderung diagungkan publik, film ini memberi ruang bagi individu seperti Vada. 

Lalu terjalin unlikely friendship antara Vada dengan Mia. Jika Vada adalah gadis canggung (tapi tidak terasing secara sosial, sehingga The Fallout lebih terasa universal ketimbang sederet film coming-of-age dewasa ini), maka Mia bak berasal dari dunia berbeda. Dia populer, dikenal luas lewat video dance di Instagram miliknya. Perbedaan itu lenyap. Jurang bernama status sosial dilucuti, memperlihatkan dua manusia yang terikat oleh luka. 

Dipandu penyutradaraan sarat sensitivitas, kita diajak menyambangi sisi personal keduanya. Serupa metode Anna (Shailene Woodley), psikolog yang dikunjungi Vada, Megan Park membiarkan rasa mengalir dengan sendirinya. Emosi yang penonton rasakan merupakan hasil observasi berujung pemahaman, alih-alih paksaan melalui letupan dramatisasi. 

Itulah mengapa musik garapan Finneas O'Connell cocok membungkus The Fallout. Sebagaimana karya-karya yang ia telurkan bersama Billie Eilish, Finneas melahirkan kesenduan menghipnotis. Musik jadi latar penguat tanpa mendistraksi departemen lain, terutama akting.

Baik Jenna Ortega maupun Maddie Ziegler sudah kita kenal betul sebelum film ini, tapi di The Fallout keduanya naik kelas. Khususnya Ortega, yang menginterpretasikan "individu dengan trauma" secara kaya, bermodalkan jangkauan aktingnya yang luas. Sebagai cast termuda, Lumi Pollack tak mau ketinggalan mengaduk-aduk emosi. Kalimat "Why are you mad at me?" merupakan pertanyaan menusuk nan jujur dari seorang bocah polos, yang rupanya juga tercabik-cabik hatinya. 

The Fallout punya konklusi yang mungkin mengejutkan bagi sebagian orang, tapi sesungguhnya sangat nyata. Sebuah perspektif realistis tanpa pemanis. Karena seperti judulnya, ini adalah cerita mengenai "kejatuhan". Jatuh bukan sebuah kesalahan. Jatuh tidak berarti kita bukan manusia yang utuh.  

(HBO Max, HBO GO, Catchplay)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Nonton jenna ortega dari jaman disney dulu, dan sampe sekarang masih berharap dia dapet pengakuan yg pantes, she's an amazing actress