REVIEW - TURNING RED

6 komentar

Turning Red sebenarnya klise jika menilik pola berceritanya. Konflik orang tua-anak, kesenjangan generasi, hingga pencarian identitas dalam proses tumbuh kembang, yang ditutup oleh klimaks berorientasi aksi. Formulanya lebih dekat ke animasi konvensional Disney ketimbang judul-judul terbaik Pixar. Tapi eksekusinya tampil segar berkat satu hal: sentuhan Asia. 

Meilin "Mei" Lee (Rosalie Chiang), remaja 13 tahun, terkekang oleh sang ibu, Ming Lee (Sandra Oh). Dia mesti berprestasi di sekolah, sembari membantu mengurus kuil milik keluarga. Mei ingin bebas. Dan tiada gesekan lebih besar dibanding kala anak melewati fase pubertas. Sehingga masalah muncul saat Mei mulai "memerah". "Memerah" bukan ungkapan figuratif bagi menstruasi (walau jelas merupakan metafora terhadapnya). Mei bertransformasi jadi panda merah berukuran besar tiap emosinya tak terkendali. 

Secara keseluruhan Turning Red cenderung formulaik, kecuali di satu titik, yakni ketika Ming dengan cepat mengetahui kondisi puterinya. Kucing-kucingan antara Mei (yang berusaha menyembunyikan perubahannya) dengan Ming pun tidak berlangsung terlalu lama. Dari situlah gerbang menuju perjalanan sarat nuansa kultural menarik terbuka.

Domee Shi melakoni debut penyutradaraan sekaligus menulis naskah bersama Julia Cho. Pada 2019, film pendek buatannya, Bao, menyabet piala Oscar di kategori Best Animated Short Film. Keterampilannya membawa cerita klise naik kelas menggunakan unsur kultural sudah nampak di situ, dan berhasil ia ulangi di Turning Red. 

"Kultural" bukan cuma perihal ritual atau hal-hal spiritual, pula dinamika keluarga. Misal terkait keengganan Turning Red mengantagonisasi Ming. Sikap protektif miliknya dipandang selaku kasih sayang tulus. Hanya cara penyalurannya yang kurang tepat. Sebab tatkala kepedulian dan perhatian yang tidak anak harapkan justru dihadirkan, apalagi secara berlebih (tendensi orang tua Asia), alih-alih mendekatkan, dampaknya malah menjauhkan. 

Akhirnya seperti Mei, anak "berpaling" pada teman, yang cenderung mau memahami serta menerima apa adanya. Bersama mereka, Mei selalu tertawa, terbuka, ceria, menampakkan wajah yang tidak pernah orang tuanya lihat. Tiga sahabat Mei, Miriam (Ava Morse), Priya (Maitreyi Ramakrishnan), dan Abby (Hyein Park), punya kepribadian beragam yang makin menyemarakkan filmnya. 

Kesenjangan generasi turut dibahas. Mei dan teman-teman mengidolakan boy band bernama 4*Town, yang oleh sang ibu langsung dicap "tidak bermoral" biarpun baru menyaksikannya sekilas di televisi. Inilah mengapa Turning Red amat relevan (realitanya, sering muncul perpecahan akibat sinsime orang tua pada idola anak) sekaligus penting ditonton orang tua. Supaya timbul kesadaran, bahwa daripada menyalahkan panda merah (baca: pubertas) yang dianggap merebut si buah hati, membuka pikiran pada preferensi mereka bakal jauh lebih berguna.

Perihal masalah generasional ini diperdalam lewat kemunculan karakter Wu Lee (Wai Ching Ho), nenek Mei dari pihak ibunya. Penonton diajak melihat efek domino dari gagalnya keluarga menyikapi kesenjangan antar generasi. Tapi sekali lagi, melalui sensitivitasnya, Domee Shi bukan sedang menyalahkan pihak mana pun. 

Third act-nya memadukan aksi unik ala film kaiju dengan drama (keluarga dan persahabatan) menyentuh, di mana visual cantik serta peleburan musik tradisional dengan modern melahirkan harmoni estetika indah. Estetika yang membuat filmnya lebih segar dibanding buatan "sineas Barat", meski mengangkat formula serupa. 

Tapi keunggulan utama Turning Red bukan tampilan luarnya, melainkan nilai yang tertanam di dalam. Nilai kekeluargaan khas Asia yang membuat individunya berusaha mencari keseimbangan. Bahkan setelah kebebasan didapat, Mei menyatakan kerinduan akan kondisi di mana 100% waktu dicurahkan bagi (dan bersama) keluarga. Karena Mei ingin "bebas". Bukan "lepas". 

(Disney+ Hotstar)

6 komentar :

Comment Page:
Fradita Wanda Sari mengatakan...

Kalimat terakhirnya mantap :D

Edo mengatakan...

awooga!!!!

Anonim mengatakan...

Baru nonton dan suka banget!

Arul mengatakan...

Abby sih gokil wkwk so extra

Lulu mengatakan...

Makasih reviewnya kak! Keluargaku penggemar film biasanya kita suka nonton bareng dirumah, aku biasanya pas nonton film dirumah sambil kencengin volume suara full, hahaha.. makin seru deh tuh, kayak dibioskop. Oh iya barangkali ada yang punya hobi kayak aku, fyi aja aku beli speaker buat nonton film di ACE Hardware Indonesia lewat aplikasi MISS ACE lumayan jadi bisa belanja dari rumah deh pas pandemi gini.

Apalagi, pas belanja di ACE gratis ongkir. Saran aku, daftar dulu jadi member ACE Hardware biar dapat promo ACE Hardware terus tinggal lihat dari katalog promosi ACE Hardware, deh! Semoga membantu kalian yaa! :)

Bayu Habibis mengatakan...

Kerasa banget film keluarganya, pesan moralnya juga dapet dan bener dia nggak mengantagonisasi siapapun, sensasi nonton film ini bikin keinget masa kecil waktu nonbar bareng ortu waktu masih hidup kerasa banget kehangatannya