REVIEW - MENJELANG MAGRIB

6 komentar

Mendapati keterlibatan Helfi Kardit selaku sutradara sekaligus penulis, lalu melihat tata rias untuk Novia Bachmid yang bak "adaptasi" murahan dari The Taking of Deborah Logan (premisnya pun serupa), kita tahu Menjelang Magrib bakal berakhir buruk. Tapi rupanya asumsi tersebut tidak langsung terbukti, sebab Menjelang Magrib secara mengejutkan dibuka dengan cukup meyakinkan. 

Thalia (Annette Edoarda), Ahmad (Fajar Kurniawan Effendi), dan Erlan (Jeffry Reksa), mengunjungi rumah seorang wanita (diperankan oleh Tien Kadaryono, karakter ini tanpa nama dan cuma dipanggil "nenek"), guna membuat dokumenter sebagai bahan skripsi. Subjek penelitiannya adalah puteri Nenek, Nina (Novia Bachmid), yang mengalami gangguan jiwa.

Sempat dirawat di rumah sakit jiwa, sekarang Nina dipasung di gubuk terpisah tiap menjelang magrib. Karena di waktu itu ia selalu berteriak histeris. Nenek percaya kalau Nina dirasuki arwah gara-gara melangkahi bambu yang melintang di jalan. 

Menerapkan teknik mockumentary, tata kamera garapan Ophie Yuphie tak selalu nyaman diikuti, karena masih kerap terjebak stigma "gerak kamera di mockumentary harus sekasar mungkin", sehingga muncul beberapa momen yang membuat pusing (saya nyaris muntah saat di paruh awal, salah satu karakternya memutar-mutar kamera secara liar). "Raw" bukan berarti "asal". 

Untungnya tidak butuh waktu lama bagi Menjelang Magrib menemukan pijakan. Selama kurang lebih 20-30 menit pertama, Helfi membangun tontonan atmosferik yang bergulir hati-hati. Tata suaranya juga punya takaran pas, tidak sampai menghancurkan gendang telinga, meski masih menyisakan beberapa pemakaian yang tak perlu. 

Penonton awam pencari cheap thrills bakal terpuaskan oleh timing Helfi dalam mengemas jump scare. Penampakannya mungkin tidak jauh-jauh dari sosok Nina, tapi minimal, apa yang Nina lakukan di tiap kemunculan memiliki variasi. Sebuah sekuen kejar-kejaran di tengah hutan, walau belum layak disebut "luar biasa", berkat ketepatan sutradara dalam menyerap referensi (mostly from 'The Blair Witch Project' and its sequels), mengandung intensitas yang menjauhkan Menjelang Magrib dari deretan horor lokal kelas kambing .

Sayangnya film ini tampil seperti sprinter yang terjun di marathon. Unggul di awal, namun cepat kehabisan tenaga sebelum akhirnya terkapar. Helfi tak punya amunisi memadai dalam naskahnya, untuk membuat Menjelang Magrib mampu bertahan selama 104 menit durasinya. 

Sesungguhnya ia membawa setumpuk gagasan. Terkait lekatnya budaya lokal dengan mistis, gesekan perspektif tradisional desa dan nalar orang kota, sampai gangguan mental. Semua ditumpahkan, namun tanpa hasil maksimal. Eksplorasi mistisisme dalam kultur daerah, yang sejatinya bisa dipakai membentuk pondasi cerita, justru dilupakan. Helfi memilih cara bertutur repetitif, di mana trio protagonis akan mengikuti Nina, menemui pemandangan menyeramkan, ketakutan, lalu mengulanginya di keesokan hari. Entah mereka bermental baja atau berotak tempe. 

Ketimbang mengeksplorasi, Helfi lebih tertarik berusaha tampil "pintar" lewat obrolan-obrolan soal eksistensi, semesta, galaksi, hingga blackhole, sebagai proses karakternya memahami fenomena mistis. Apakah memang terdengar pintar? Sama sekali tidak. Menggelikan? Ya. Ditambah akting para pemain yang membaca naskah seperti aktor di pementasan anak SD (tunggu sampai Thalia berkata "Indah sekali hari ini"), rasanya seperti melihat tiga orang bodoh, yang dipaksa membaca jurnal ilmiah ngawur, buatan mahasiswa yang tidak kalah bodoh tapi sok pintar. 

Semakin membingungkan kala tuturan filmnya saling berkontradiksi. Di awal, Menjelang Magrib tampil sebagai kisah mengenai para skeptis yang kena batunya akibat meremehkan kultur mistis. Memasuki paruh akhir, pesannya berubah jadi soal kesadaran terhadap gangguan mental. Bahkan ending-nya memaksa tampil hangat, diiringi lagu Before Night Falls milik Novia Bachmid, yang berlawanan dengan tone filmnya. Dan bukankah pesan tentang gangguan mentalnya menjadi kurang valid karena Nina benar-benar kerasukan? Alih-alih kepedulian, kesan yang timbul malah sebaliknya. "Ada orang kerasukan? Ya sudah, biarkan". Sayang sekali. Padahal tersimpan potensi untuk menghasilkan horor yang solid.

6 komentar :

Comment Page:
Aunul Hakim mengatakan...

Reviewnya sama persis kayak apa yang saya tangkep bang abis nonton. Dialog2 yang cringe dari pemainnya dan topik yang menarik tapi cuma sebatas permukaan. Hampir semua momen cakepny udah keliatan di trailer. Tapi saya suka banget sama shot2nya, apalagi yang di latar hutan bambu siang dan malem, feel seremnya nyampe hehe. Andai aja skripnya bisa lebih ok bakal cakep film ini.

Anonim mengatakan...

luar biasa ini film karena baru kali ini ada film horror tidak ada karakter pemainnya yang tewas...semuanya hidup dan kalem tenang nyaman aman...skor rating film 8.5/10

Unknown mengatakan...

Hampir saja nonton, karena bioskop² di Jakarta banyak yang memutar film ini, malah ada yang sampai 2 studio..

ekoalim mengatakan...

Mau review, pulang ga bang

Anonim mengatakan...

Bung udah review film India rrrr

Unknown mengatakan...

Film terburuk yang pernah saya tonton,terlalu kaku,dan terkesan menggelikan