REVIEW - OMA THE DEMONIC

6 komentar

Mengapa jika dibanding genre lain horor kita terkesan stagnan? Pertama karena horor merupakan ladang uang yang bisa mendatangkan untung dengan biaya minim. Fakta yang oleh para pembuat kerap diterjemahkan sebagai "Kalau jelek saja laku kenapa harus bagus?". Kedua, horor bagus memerlukan orang yang bukan cuma "sering menonton", tapi benar-benar passionate terhadap genrenya. Maka tidak heran ketika Joko Anwar dan Timo Tjahjanto selaku horror aficionado berdiri di garis depan. 

Joel Fadly nampaknya bukan horror aficionado. Menyaksikan Oma the Demonic, maupun karya sebelumnya, Nightmare Side: Delusional (2019), saya bahkan ragu ia gemar mengulik horor. Tapi ada satu kengerian yang saya rasakan selama menonton. Bukan karena konten filmnya, melainkan dari fakta bahwa ada sineas yang menganggap ini horor bagus. Mendapati industri kita diisi orang-orang seperti itu amatlah mengerikan.

Fiona (Karina Nadila) sering mendapat penglihatan tentang sosok wanita yang menyuruhnya mendatangi rumah Oma (Jajang C. Noer). Fiona belakangan ini jarang berkomunikasi dengan Oma, walau semasa kecil sering menghabiskan waktu bersamanya. Ditemani dua temannya, Luna (Syahra Larez) dan Jeff (Bobby Rizky), ia memutuskan mengunjungi Oma, tanpa tahu misteri mematikan telah menunggu di rumahnya.

Nenek dikenal sebagai figur penyayang dalam keluarga, dan karena itulah sosoknya kerap jadi sumber teror film horor. Bagaimana kalau di balik kebaikannya tersimpan rahasia kelam? Jajang C. Noer cocok memerankan karakter semacam itu, yang mengubah senyum hangat jadi kejanggalan. Sedangkan di beberapa titik, Karina Nadila membuktikan pantas diberi materi yang lebih mumpuni, walau bakat terbesarnya tetaplah di suguhan komedi. 

That's it. Cuma mereka saja (sedikit) nilai positif Oma the Demonic. Ketika lima menit sekali filmnya berusaha menakut-nakuti (tentu saja gagal), menggunakan green screen untuk adegan yang seharusnya bisa diambil secara langsung di lokasi, lalu menampilkan monster CGI yang bagai hasil kawin silang antara babi hutan dengan Blanka dari gim Street Fighter yang dibakar sampai gosong, saya langsung sadar sudah menghamburkan uang 35 ribu rupiah. 

Salah satu jenis penonton bioskop yang paling saya benci adalah "mas-mas mulut besar otak kerdil". Spesies laki-laki yang agar dianggap pintar oleh pacarnya, terus bicara selama pemutaran, melempar "kritik" dengan nada sok tahu. Kalau menemui spesies macam itu, biasanya akan saya lempari uang receh. Tapi kali ini saya memilih diam. Selain alasan "bulan puasa", sia-sia rasanya membuang tenaga untuk Oma the Demonic. Penonton lain pun tidak mengeluh. Karena mereka sadar sedang jadi saksi sebuah bencana.

Pilihan shot ngawur yang gagal memahami "kenapa sebuah adegan film horor terasa mengerikan", timing berantakan di segala lini (kapan musik masuk, kapan reaction shot diselipkan, bagaimana urutannya, dll.), hingga desain hantu yang bak mengambil inspirasi dari riasan gembel di prank Atta Halilintar, semua bisa ditemukan di sini. Oma the Demonic adalah horor di mana ketimbang mantera atau ritual, karakternya melempar barang guna melawan hantu. Ingin saya berkata, "Mbak, beliau itu hantu, bukan maling". Daripada memakai kekuatan supernatural, si hantu pun malah kelihatan enjoy. 

Naskah buatan Anang Pangestu tidak kalah mengenaskan. Kekacauan timeline menghasilkan kerumitan tak perlu di alur, sementara beberapa poin cerita dimasukkan secara tiba-tiba (termasuk soal ibu Fiona, yang diperankan Diah Permatasari dalam cameo menggelikan) tanpa eksplorasi atau dampak emosi. 

Sudah pasti ada twist di penghujung durasi. Twist yang memfasilitasi munculnya dialog ajaib antara dua arwah penasaran, saat sama-sama kaget melihat mata mereka berubah warna jadi putih. Tercium semerbak aroma kebusukan sinema.

6 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Kangen banget review panjenengan yang kritis begini mas. Haha.... Semoga dengan adanya ulasan sekaligus kritik ini bisa mendongkrak kualitas perfilman Indonesia genre apapun.

Mahendrata mengatakan...

Dari posternya keliatan banget sih bakal busuk. Tapi aktris sekelas Jajang C Noer kenapa ya masih mau main film ginian? Ada analisa?

Rasyidharry mengatakan...

"Pedes" ini lebih tepatnya. Kalo "kritis" mah selalu :))

Rasyidharry mengatakan...

1. Pitching-nya mungkin oke. Horor psikologis, karakter nenek misterius, emang menarik
2. Beliau emang bukan termasuk yang pilih-pilih film banget

Anonim mengatakan...

Ciri khas film horor busuk: ada subjudulnya (meski ada beberapa yg jadi pengecualian seperti Lampor dan Kafir). Padahal kayaknya lebih baik kalau judulnya ga usah pake embel2 lagi, atau pilih aja salah satuya.

Anonim mengatakan...

Nyesel nonton. Kasian tante jajang nya main film ga jelas bgt.