REVIEW - YAKSHA: RUTHLESS OPERATIONS
Yaksha: Ruthless Operations merupakan aksi spionase yang dibuat secara layak walau jauh dari sempurna. A proper one. Tetapi pada era di mana kelas industri hiburan Korea Selatan terus naik (semakin inovatif di film, baik blockbuster maupun alternatif, juga drama), status "proper" saja takkan cukup meninggalkan kesan.
Disutradarai Na Hyeon, yang turut menulis naskahnya bersama Ahn Sang-hoon, Yaksha sebenarnya dibuka dengan menjanjikan. Sekuen pembuka di mana Ji Kang-in (Sol Kyung-gu) menabrak, memukul, bahkan meledakkan segala rintangan di tengah Hong Kong yang berhiaskan warna-warni neon, bagai perwujudan kata "ruthless" di judulnya. Seru, liar.
Tapi setelahnya, film ini tak pernah jauh-jauh dari formula, selepas kita berkenalan dengan Han Ji-hoon (Park Hae-soo), jaksa jujur yang baru turun pangkat akibat kegagalan di sebuah kasus. Peluang membersihkan nama datang saat ia diutus ke cabang NIS (National Intelligence Service) di Shenyang, Cina, guna menyelidiki soal tim black ops yang dipimpin oleh Kang-in. Alasannya, selain kerap menggunakan metode ekstrim yang tidak jarang melanggar hukum, Kang-in pun diduga menggelapkan dana.
Tim Kang-in terdiri dari Hong (Yang Dong-geun), Hee-won (Lee El), Jae-gyu (Song Jae-rim), dan Jeong-dae (Park Jin-young). Begitu kedua belah pihak bertemu, terlihat jelas keklisean serta kedangkalan naskah filmnya. Komparasi coba dibangun. Ji-hoon dan Kang-in beserta timnya ibarat dua sisi mata uang. Sama-sama mengabdi untuk negara, namun ketika pihak pertama menjunjung tinggi kejujuran, pihak lainnya mau menghalalkan segala cara.
Tapi naskahnya terlampau lemah untuk dapat mengeksplorasi bentrokan ideologi tersebut. Misalnya penokohan Ji-hoon. Dia digambarkan sangat menaati aturan, yang mana sebuah kewajaran. Tapi Ji-hoon terlalu naif untuk jaksa yang tak lagi muda. Saking naifnya, ia menyuruh Kang-in mengenakan sabuk pengaman.
Naskahnya berniat memperlihatkan proses belajar tiap pihak. Ji-hoon jadi lebih membuka mata dalam memandang realita, sementara Kang-in bersedia mengurangi keliarannya. Itu titik yang hendak dicapai di akhir cerita. Tapi prosesnya tidak pernah meyakinkan. Mereka terus bergesekan, kukuh pada pendirian masing-masing, sebelum tiba-tiba "tercerahkan" jelang akhir, saat alurnya membutuhkan itu untuk menuntaskan konflik.
Antagonisnya bernama Ozawa Yoshinobu (Hiroyuki Ikeuchi), seorang mata-mata Jepang. Dikisahkan, Korea Selatan, Korea Utara, dan Jepang memperebutkan sebuah benda rahasia. Saya takkan membocorkan benda apa, tapi kalau sudah sering menonton film spionase, rasanya mudah menebak keklisean yang disembunyikan Yaksha. Sama halnya dengan bentuk kejutan usang, saat beberapa kali filmnya pura-pura membunuh karakter dengan trik sama persis, yang entah sudah berapa kali kita temui di genre aksi.
Tapi kesampingkan tetek bengek kelemahan naskah, apakah sebagai film hiburan Yaksha sanggup memenuhi tugasnya? Kurang lebih. Na Hyeon nampak terombang-ambing dalam pilihan membuat popcorn flick dengan bumbu komedi khas Korea Selatan atau tontonan gritty, tapi kapasitasnya mengarahkan aksi terbukti cukup memadai.
Dibantu teknis yang solid di segala lini, sang sutradara melahirkan rilisan OTT yang bakal lebih maksimal di layar lebar. Simak ledakan besar-besaran selaku titik balik alur, yang dibekali efek visual dan tata suara kelas satu. Begitu pula babak klimaksnya. Sekali lagi, Yaksha: Ruthless Operations memang suguhan proper. Sayangnya di titik ini, kata "proper" di sinema Korea Selatan dengan beragam inovasinya, sudah bukan lagi wujud pujian.
(Netflix)
2 komentar :
Comment Page:yah menurut gue emang jangan terlalu berekspetasi terlalu tinggi ke industri hiburan korea.tahun kemarin aja film korea pada biasa semua.lagipula kan mereka juga manusia biasa (ngomong apaan sih! hahaha)
tapi bang mau nanya nih agak gak nyambung sih tapi film emergency declaration yang sempet tayang di cannes tuh kenapa kayak gak ada kabar ya.di korea apa film tuh dah tayang gak bang karena belum ada jadwal tayang di indonesia kan.lumayan nunggu sih
Blockbuster sebenernya ada beberapa yang bagus. Escape from Mogadishu itu inovatif & thrilling (walaupun wajar, soalnya dibikin Ryoo Seungwan)
Emergency Declaration masih kuatir efek pandemi. Bukan film biasa soalnya. Event movie. Nggak mau kehilangan potensi sedikitpun (macem KKN Desa Penari kalo di sini)
Posting Komentar