REVIEW - THE SADNESS

7 komentar

Diawali permintaan sang produser, Jeffrey Huang, untuk membuat film berlatar pandemi, Rob Jabbaz bak melakukan adaptasi lepas bagi komik Crossed (inspirasi yang sudah ia akui), lalu menambahkan referensi gila sebanyak mungkin. Kepala meledak (Scanners), ciuman mematikan (Braindead), seks zombie (Chillerama), penis yang menusuk mata (A Serbian Film), dan lain-lain. 'The Sadness' is one of the craziest zombie movies I've seen in recent years. 

Setelah memperkenalkan pasangan Jim (Berant Zhu) dan Katie (Regina Lei) selaku protagonis, naskah buatan Jabbaz langsung membawa kita ke tengah kekacauan. Seisi Taiwan berubah jadi ladang pembantaian ketika orang-orang bermutasi. Mata mereka menghitam, tingkah mereka buas layaknya zombie. 

Tapi mereka bukan zombie. Setidaknya bukan zombie biasa. Mereka bisa bicara, bahkan berkomunikasi seperti manusia. Jika zombie umumnya kehilangan otak, makhluk di The Sadness kehilangan nurani. Menyiksa, membunuh, bahkan memerkosa korban, tanpa peduli jenis kelamin dan usia. Mereka manusia tanpa rasa kemanusiaan. 

Di tengah kondisi darurat tersebut, Jim dan Katie terpisah. Alurnya pun terbagi dua, yakni Katie yang berjuang bertahan hidup, dan perjalanan Jim menaiki motor, menembus kerumunan zombie guna menyusul Katie. Sederhana. The Sadness memang lebih didominasi kumpulan peristiwa daripada menampilkan upaya bercerita. 

Kritik sosialnya tidaklah subtil. Ditengarai, mutasi terjadi akibat virus bernama "Alvin" yang penyebarannya sudah diprediksi ilmuwan, namun pemerintah menolak melakukan tindakan preventif karena pemilu akan segera tiba. Tidak butuh kemampuan membaca subteks mumpuni untuk dapat memahami sasaran kritik filmnya. 

Sepertinya yang terakhir, sebab sekali lagi, The Sadness tak pernah benar-benar tertarik untuk bercerita. Dan memang tidak wajib. Bukan cerita yang menjadikan film ini salah satu horor zombie paling sakit dalam beberapa waktu terakhir, melainkan cara Jabbaz, selaku sutradara, membungkus gorefest. 

Dibarengi efek spesial memukau, hampir seluruh detail diperlihatkan, termasuk dalam contoh-contoh adegan yang saya sebut di paragraf awal. Ketika darah memuncrat, kulit mengelupas, atau usus terburai, semua terpampang jelas. Bahkan tumpukan mayat pun seolah wajib didesain semengerikan dan semenjijikkan mungkin. Jabbaz tahu cara melahirkan imageries yang berdampak. 

The Sadness adalah tontonan yang tidak menahan diri urusan kekerasan dan kebejatan, sampai deretan sekuen di 30 menit pertamanya saja bisa dipakai sebagai klimaks oleh film-film kebanyakan. Cerita tipis ditambah penokohan ala kadarnya, membuat titik-titik kala kekerasan absen terasa hambar. Untungnya penurunan intensitas itu jarang terjadi. 

Para zombie mewakili sisi liar manusia. Virus bukan mengubah manusia, namun meniadakan moralitas yang selama ini mengunci keliaran tersebut. Terbukti, di sini kita sempat melihat pertikaian, juga kekejaman, yang berlangsung tanpa campur tangan virus. Itulah mengapa selain brutal, The Sadness juga mengerikan. Sesuatu yang makin jarang dimiliki zombie flick. 

Kebanyakan film zombie tampil seru, pun acap kali menyenangkan, karena penonton berpikir ada peluang untuk selamat. Pertanyaan "Apa yang harus dilakukan?" berkeliaran di otak, sembari kita mengimajinasikan best-case scenario andai kiamat zombie sungguh terjadi. The Sadness berbeda. Tidak ada best-scenario. Tidak ada manusia waras yang mau terjebak di dunia buatan Rob Jabbaz. Ancaman bukan berasal dari monster tak berotak. Ancamannya adalah manusia dalam wajah terburuk mereka. Didukung tata rias yang efektif meski sederhana, tiap melihat mata para zombie, rasanya bagai menatap iblis yang bersemayam dalam hati umat manusia.

(Shudder)

7 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Makasih bang, saya suka kalau yg direview film non hollywood atau foreign.

Anonim mengatakan...

Gokil juga kalo ada yang berani dan sukses mengadaptasi lepas komik Crossed, sebuah seri (termasuk antologi Badlands) yang cerita dan grafisnya amoral (Garth Ennis emang "sakit")

Sebuah komik yang kata sebagian orang cuman mengumbar kekerasan berlebihan.

agoesinema mengatakan...

Kapan review Everything Everywhere at Once ?

Rasyidharry mengatakan...

Kalo nggak salah udah nawarin sana-sini belum ada yang mau adaptasi karena ekstrim banget

Rasyidharry mengatakan...

Ya tunggu felemnya ada

Bayu Habibis mengatakan...

nonton dimana bang ? jadi pengen nonton juga penasaran sejauh apa terinspirasi sama crossed

barjokondo mengatakan...

Ada komikus lokal yang sakit dan gilanya sama dengan Ennis, namanya K.Jati