REVIEW - PEREMPUAN BERGAUN MERAH

27 komentar

Siapa pun yang mengedit trailer Perempuan Bergaun Merah wajib dibayar tinggi. Dia mampu mengambil materi-materi terbaik (termasuk money shot keren yang tak disertakan di final cut), merangkainya, mengesankan sebuah tontonan brutal nan bertenaga, kala filmnya sendiri justru kerap kekurangan daya. 

Jika anda mencari horor berdarah karena melihat nama Timo Tjahjanto mengisi kursi produser, jangan khawatir, ekspektasi itu bakal terpenuhi. Perempuan Bergaun Merah mendorong batasan rating usia 13+ ke titik paling maksimal. Sayang, sebagaimana debut penyutradaraan solonya tiga tahun lalu (Sekte), William Chandra masih kepayahan meramu intensitas.

Semua diawali oleh menghilangnya Kara (Stella Cornelia), selepas suatu malam yang dipenuhi alkohol. Beberapa temannya hadir, termasuk sang sahabat, Dinda (Tatjana Saphira), namun tak satupun tahu keberadaan Kara. Dinda yang merasa bertanggung jawab pun berusaha melakukan pencarian dengan bantuan Putra (Refal Hady), pacar Kara. Di saat bersamaan, satu per satu orang yang turut serta di malam misterius tersebut tewas di tangan hantu perempuan bergaun merah. 

Perempuan Bergaun Merah membawa protagonisnya dalam investigasi yang jalan di tempat. Sebuah proses minim progres. Dampaknya beragam. Minim progres berarti kegagalan mengajak penonton terlibat mempertanyakan misteri di balik hilangnya Kara. Akibat kurang melibatkan penonton, twist ganda di paruh akhir juga gagal memberi dampak (kenapa kita harus peduli saat tak dilibatkan?). Tidak ada misteri, tidak ada pertanyaan, tidak ada rasa ingin tahu, berujung ketiadaan sense of urgency. Alhasil, tercipta kekosongan penceritaan yang membuat alurnya melelahkan tiap pembantaian absen dari layar. 

Naskah hasil tulisan William Chandra memang lemah. Pemakaian kultur Tionghoa yang memberi angin segar tertutupi oleh sederet kekurangan. Misal terkait subteks. Mitos hantu perempuan bergaun merah ada di berbagai belahan dunia. Detail tiap negara berlainan, namun selalu mengerucut pada satu isu: objektifikasi wanita. Poin tersebut bukannya dilupakan, tapi naskahnya lalai mengeksplorasi, luput menekankan bahwa selain si pelaku, para enabler pun patut disalahkan. Mungkin William menghindari penuturan gamblang dan/atau menggurui, yang akhirnya malah berujung ketidaktegasan dalam menyuarakan pesan. 

Tapi jika sebatas banjir darah yang anda cari, Perempuan Bergaun Merah takkan sebegitu mengecewakan. Didukung tata rias kelas satu yang membuat tampilan si hantu mampu memancing kengerian, kita disuguhi kebrutalan memuaskan. Salah satu yang paling kreatif adalah pemakaian kasur di sebuah pembunuhan. 

Penampilan jajaran pemain pun berkontribusi menguatkan sisi horor. Dewi Pakis mendefinisikan "ekspresi seram" di sebuah shot yang memorable; Faradina Mufti menunjukkan potensi sebagai scream queen yang piawai menampakkan teror di wajahnya; sedangkan Tatjana menutup debut horornya (tanpa menghitung dwilogi Ghost Writer yang lebih dekat ke ranah komedi) melalui performa mengejutkan di babak ketiga. 

Di beberapa kesempatan, William Chandra menyajikan jump scare yang ampuh mendatangkan efek kejut berkat pendekatan bertenaga, tapi sayang, konsistensi pengarahannya patut dipertanyakan. Seiring waktu, tenaga itu seolah menipis. Serupa permasalahan di Sekte, pilihan shot William kerap melucuti dampak suatu teror. Canggung. Termasuk momen final yang alih-alih mendatangkan kepuasan, malah memancing respon, "Sudah?". Kombinasikan itu dengan penceritaan stagnan yang melelahkan, jadilah sebuah horor yang kekurangan daya. 

27 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PEARL

6 komentar

Meski berstatus prekuel, Pearl merupakan spesies yang sama sekali beda bila dibandingkan X yang baru rilis beberapa bulan lalu. Bayangkan The Wizard of Oz (1939) di mana Dorothy bukan membantu orang-orangan sawah mendapatkan otak, tapi menyetubuhinya. Bayangkan juga Mary Poppins (1964), namun alih-alih "a spoonful of sugar", ia menyanyikan "a spoonful of blood and guts help the medicine go down". 

Berlatar 81 tahun sebelum X, kita bertemu Pearl muda (Mia Goth), yang terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya di pertenakan, sementara sang suami, Howard (Alistair Sewell), pergi bertaruh nyawa di Perang Dunia I. Melihat visual bergaya technicolor ala Golden Age of Hollywood, sambil mendengar Pearl bicara bak protagonis naif dari film masa itu, awalnya Pearl benar-benar jauh dari nuansa horor. 

Sampai kita bertemu orang tua Pearl. Ayahnya (Matthew Sunderland) lumpuh, sementara Ibunya, Ruth (Tandi Wright), berlaku keras padanya. Ditambah pandemi influenza yang melanda, kecuali untuk membeli obat sang ayah, Pearl dilarang berkeliaran oleh Ruth. 

Di suatu adegan makan malam, pilihan shot Ti West (sutradara, juga menulis naskah bersama Mia Goth) membuat Pearl sekeluarga tampak seperti Keluarga Sawyer dari The Texas Chainsaw Massacre (1974). Sedangkan pertengkaran antara Pearl dan Ruth yang pecah tak lama kemudian, mengingatkan ke dinamika ibu-anak milik Carrie (1976). Jika Mia Goth menampilkan kenaifan sebagai sampul kegilaan, Tandi Wright tampak intimidatif sejak awal. 

Satu-satunya hiburan bagi Pearl adalah film yang diam-diam ia tonton tiap membeli obat untuk ayahnya di kota. Pearl bercita-cita menjadi bintang layar perak yang bernyanyi, menari, sehingga dipuja para penonton. Kita pun memahami kenapa Pearl di X amat terobsesi dengan kecantikan gadis muda. Artinya, di luar beberapa easter eggs, Pearl juga sebuah prekuel yang sukses melengkapi narasi pendahulunya. 

Di bioskop, Pearl bertemu projectionist tanpa nama (David Corenswet) yang menarik perhatiannya. Penokohan si projectionist agak di luar dugaan. Sekilas tak ubahnya pria tampan bermulut manis yang hobi menipu gadis, tapi ternyata bukan. Walaupun soal apakah ia benar-benar memedulikan mimpi Pearl patut dipertanyakan. 

West dan Goth sempat menyelipkan relasi gender unik dalam romansanya. Pearl membawa si projectionist ke rumah, menciuminya dengan liar di atas kasur, namun si pria tak berhasrat. Dia terdistraksi oleh suara aneh dari luar kamar. Di hampir semua slasher, peran tersebut bakal ditukar. 

Pearl memang penuh kejutan. Baik keunikan estetikanya (visual, musik, hingga pilihan huruf bagi judul dan kredit), maupun beberapa komedi gelap tak terduga, yang makin shocking kala dikombinasikan dengan nuansa disturbing filmnya. 

Cipratan darahnya tidak sederas X, namun West kembali menampilkan kecerdikan mengolah teknis saat membangun intensitas. Perpaduan gerak kamera dan penyuntingan yang membantu memaksimalkan jump scare, sampai penggunaan long take di klimaks, ketika Mia Goth berlari sembari mengayunkan kapak layaknya monster slasher veteran. 

Membahas long take dalam Pearl tentu harus menyertakan dua momen luar biasa yang sama-sama muncul di paruh akhir cerita. Pertama adalah obrolan antara Pearl dan saudari iparnya, Misty (Emma Jenkins-Purro). Di situ Pearl mencurahkan segala unek-uneknya, dan kita menyaksikan Mia Goth bermonolog tanpa henti selama hampir sembilan menit. Sembilan menit! Kalau mau saklek, beberapa sempilan reaction shot membuat single take itu secara bersih "cuma" berlangsung sekitar enam menit, tapi pada proses pengambilan gambarnya, Goth jelas bermonolog tanpa henti.

Butuh ketahanan tingkat tinggi dari seorang penampil agar dapat melakoni monolog sepanjang itu. Bukan sekadar berbicara, karena Goth memainkan dinamika emosi, pula mencoba ragam artikulasi serta tempo pengucapan kalimat. Apalagi kamera menangkap wajahnya dari dekat, sehingga penonton bisa mengobservasi aktingnya sampai ke detail mikro. Pearl ditutup dengan cara serupa. Sebuah single take yang berjalan mengiringi kredit. Di situ Goth menatap kamera, memaksakan senyum lebar selama dua menit, yang seiring berjalannya waktu, terasa makin mengerikan. Di dunia yang adil, di mana tiada diskriminasi genre, Goth bakal dibanjiri penghargaan di awards season nanti. Sayangnya, sama seperti yang Pearl rasakan, dunia tidaklah adil. 

(iTunes US)

6 komentar :

Comment Page:

REVIEW - 20TH CENTURY GIRL

2 komentar

Masa remaja dan dewasa, sekolah dan kuliah, sebelum dan sesudah tahun 2000. Hal-hal tersebut menandakan transisi. Perubahan yang begitu besar, hingga individu mungkin merasa bak terlempar memasuki dunia baru yang sama sekali asing. 20th Century Girl berpusat pada Na Bo-ra (Kim Joo-yung). Dia remaja 17 tahun, siswi SMA, hidup di tahun 1999. Tiga bentuk perubahan di atas bakal segera menghantamnya.

Bo-ra memiliki sahabat bernama Yeon-du (Roh Yoon-seo), yang hendak menetap sementara di Amerika guna menjalani operasi jantung. Sebelum pergi, Yeon-du mengaku jatuh hati pada Baek Hyun-jin (Park Jung-woo). Yeon-du cinta pada pandangan pertama, namun ia tak punya cukup waktu untuk mengenal Hyun-jin. 

Sebagai sahabat sejati, Bo-ra pun bersedia menggali informasi selama kepergian Yeon-du. Segala hal ia lakukan, termasuk mengakrabkan diri dengan sahabat Hyun-jin, Poong Woon-ho (Byeon Woo-seok). Lambat laun Bo-ra justru mulai menyukai Woon-ho. 

Mudah menebak rangkaian peristiwa yang telah menanti, termasuk jenis twist-nya, serta bagaimana itu bisa terjadi, sebab 20th Century Girl tak mengangkat tema baru. Momen-momen klise seperti perpisahan di ruang transportasi publik (bandara, stasiun) pun dapat ditemukan. "Modifikasi formula" memang bukan niatan Bang Woo-ri selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Memaksimalkan formula jauh lebih diutamakan. 

Di luar persoalan transisi kehidupan, sampul utama 20th Century Girl jelas romansa remaja. Bahwa percintaan di masa itu membuat hari tampak indah, sebagaimana dicerminkan oleh warna-warni visual filmnya, juga penuh semangat dan keceriaan khas remaja, yang diwakili penampilan bertenaga Kim Yoo-jung. 

Contoh upaya Bang Woo-ri memaksimalkan formula nampak saat salah satu karakternya nekat menaiki roller coaster walau fobia ketinggian, agar dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama si pujaan hati. Sangat sederhana, tapi manis. Menegaskan bahwa romantisme tidak melulu harus ditunjukkan lewat gestur besar. 

Sesekali alurnya mengajak kita melompat ke tahun 2019, menyoroti Bo-ra dewasa yang diperankan Han Hyo-joo. Sekuen 2019 tergolong minim, sehingga porsi Hyo-joo pun terbatas, namun aktingnya memegang kunci atas keberhasilan ending-nya menyentuh emosi. 

Bicara tentang tontonan bertema serupa, salah satu yang masih segar di ingatan tentunya drama Twenty-Five Twenty-One. Keduanya tak bisa dibandingkan. Satunya adalah film dua jam, satunya serial 16 episode dengan total durasi sekitar 18 jam. Tapi harus diakui, format serial memang memberi lebih kesempatan mengeksplorasi aspek-aspek lain dalam hidup karakternya (persahabatan, lingkup sosial di sekolah, dll.). 

Begitu pula soal komparasi. 20th Century Girl menangkap perbedaan pra dan pasca transisi hidup karakternya. VCR yang sempat populer sekarang punah, kawan yang dahulu setia menemani kini bisa jadi sukar dihubungi, dan sebagainya. Karena keterbatasan ruang (meski penambahan sekitar lima menit sejatinya sudah cukup dan amat bisa dilakukan), komparasi bittersweet "ada/tiada" antara kedua masa, khususnya terkait hal di luar percintaan, terasa kurang maksimal. 

Konklusinya menyisakan beberapa pertanyaan tak terjawab. Ambiguitas yang bagi beberapa kalangan mungkin mengganjal, namun di mata saya, malah membantu menciptakan kesan universal. Semakin banyak detail diungkap malah berpotensi menimbulkan distraksi. 

Terpenting, kita paham mengenai bagaimana protagonisnya menyikapi babak baru kehidupannya. Dia (dan rasanya kita semua) selalu ingin jadi lebih baik kala memasuki "dunia baru". Setumpuk keinginan dicanangkan. Mungkin beberapa ada yang terpenuhi, beberapa tidak. Pastinya, kita akan kehilangan sesuatu atau seseorang dari "dunia lama". Tapi asalkan sesuatu atau seseorang itu terekam, ia takkan pernah mati, tersimpan rapi dalam hati dan memori untuk sesekali kita kunjungi.

(Netflix)

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - RUMAH KALIURANG

25 komentar

Sore tadi saya mendadak teringat video klip yang 10 tahun lalu membuat nafsu makan lenyap. Judulnya Forced Gender Reassignment dari band metal Cattle Decapitation. That's the most disturbing music video I've ever seen even until now. Bodohnya, saya tonton lagi video itu. Penyesalan pun datang belakangan. Tapi sekitar dua jam berselang, muncul penyesalan lebih besar selepas menonton Rumah Kaliurang. 

Ditangani oleh Dwi Sasono (ya, Dwi Sasono si aktor) dan Dondy Adrian yang sama-sama melakoni debut penyutradaraan mereka, ini seperti produk latihan yang mestinya dievaluasi secara internal ketimbang dirilis sebagai produk berbayar. 

Judulnya merujuk pada villa angker yang terletak di Kaliurang. Keangeran vila itu begitu dikenal, sampai pernah disambangi beberapa pembuat konten mistis. Wisatawan pun banyak yang berfoto-foto karena lokasinya dianggap "Instagrammable". Jadi sebelah mananya yang angker? 

Pokoknya, film ini menampilkan lima sahabat: Rani (Shareefa Daanish), Brama (Randy Pangalila), Kinan (Erika Carlina), Aji (Wafda Saifan Lubis), dan Anom (Khiva Iskak). Bagaimana mereka bisa bersahabat? Apakah teman sekolah? Teman kuliah? Teman sejak kecil? Entahlah. Pokoknya sahabat kental! 

Komposisi karakternya mencerminkan formula standar horor. Rani si gadis baik-baik, Brama dan Kinan adalah pasangan maksiat, Anom merupakan sosok penakut di kelompoknya, sedangkan Aji.....well, pokoknya sahabat mereka!

Sebagaimana formula standar horor pula, saat mobil mogok, kelimanya berjalan menelusuri hutan sebelum tiba di sebuah rumah kosong. Di rumah itulah terjadi banyak hal aneh. Beberapa hal aneh tersebut di antaranya: suara yang bak direkam langsung memakai mikrofon kamera, mixing timbul tenggelam ala film buatan anak SMA, penyuntingan jumpy, CGI yang gagal menyatu, sampai twist bodoh tatkala Husein M. Atmodjo (Midnight Show, Sekte, Mencuri Raden Saleh) selaku penulis naskah menganggap selipan elemen time loop di penghujung film adalah wujud kepintaran. 

Padahal banyak cara lain untuk membuat film ini pintar. Misal membenahi lubang logika. Saya selalu berprinsip bahwa kebodohan dalam horor perlu dimaklumi, selama tidak bersifat kontradiktif. Mengecek sumber suara mengerikan, lari ke jalan buntu, semua itu bisa dimaafkan. Tapi tidak dengan dukun yang menginjak sajen, ilmuwan terpandang namun berotak udang, atau dalam konteks Rumah Kaliurang, barisan orang dewasa yang tanpa ragu menyantap makanan yang (secara misterius) tersaji lengkap di atas meja makan dalam sebuah rumah kosong. 

Percayalah masih banyak lubang logika lain, namun menuliskannya di sini cuma membuang waktu. Tapi biarkan saya bertanya, kenapa film ini memakai kata "Kaliurang" di judulnya? Betul, latarnya adalah rumah angker sungguhan di Kaliurang, dan pengambilan gambar dilakukan di sana, tapi dalam semesta filmnya sendiri, Kaliurang luput dibahas. Jangankan soal mitologi atau sejarah, kata "Kaliurang" saja tidak disebut. Andai diubah jadi Rumah Bantul atau Rumah Gejayan pun sama saja. 

Memasuki 20 menit terakhir, Rumah Kaliurang tiba-tiba melempar suatu flashback, menjabarkan peristiwa tragis yang dahulu kala (entah pastinya kapan, pokoknya DAHULU KALA!) menimpa. Flashback yang membuat Shareefa Daanish menarikan tarian Jawa diiringi lagu Sepasang Mata Bola. Tidak nyambung? Jelas. 

Satu momen ketika secara samar muncul sesosok bayangan di belakang karakternya, tanpa musik atau cue suara apa pun, jadi satu-satunya momen creepy milik Rumah Kaliurang, sementara Shareefa Daanish berusaha sekuat tenaga memberi nyawa, sayangnya film ini tetap gagal terhindar dari status "bencana perfilman" di tengah gencarnya perbaikan kualitas horor tanah air. Mungkin para pembuatnya memang ingin tampil beda. Mantap!

(Bioskop Online)

25 komentar :

Comment Page:

REVIEW - QODRAT

35 komentar

Lima tahun lalu Pengabdi Setan menampar penonton saat menampilkan ustaz yang dikalahkan oleh iblis. Tatanan horor kita yang mengakar pada religiositas dirombaknya. Qodrat sebaliknya. Meski tetap menyimpan kerapuhan, sang ustaz hadir bak superhero yang sesekali menyampaikan pesan keagamaan. Bagi saya kedua film itu tak bertentangan, tapi saling melengkapi. Bahwasanya, mana pun perspektif yang dipakai bukanlah masalah. Film bagus tetaplah bagus. 

Di tangan Charles Gozali selaku sutradara, yang turut menulis naskahnya bersama Gea Rexy dan Asaf Antariksa, Qodrat dibawa ke ranah yang jarang dijamah horor Indonesia: sajian laga. Tepatnya martial arts Hong Kong, di mana sang ustaz memanggil sang mentor dengan sebutan "guru" alih-alih "kiai". Pun kadang aroma western menyeruak, tatkala padang tandus membentang, ular melata, sambil diiringi musik khas genre itu. Hanya saja, kuda berubah jadi moge, sedangkan peran pistol digantikan oleh tasbih. 

Qodrat (Vino G. Bastian) nama jagoan kita. Seorang ustaz ahli rukiah. Setidaknya dahulu reputasinya mentereng berkat kemampuan itu. Sampai kegagalan merukiah sang putera yang dirasuki setan bernama Assuala, menghancurkan hidupnya. Berharap memulai hidup baru, Qodrat pulang ke pesanten milik Kiai Rochim (Cecep Arif Rahman) tempatnya dahulu menuntut ilmu. Sayangnya pesantren itu tak lagi sama. Demikian pula desa di sekitarnya, yang digelayuti teror gaib. 

Salah satu korbannya adalah keluarga Yasmin (Marsha Timothy), yang tinggal bersama kedua anaknya, Alif (Keanu Azka Briansyah) dan Asha (Maudy Effrosina). Alif dirasuki Assuala, mengangkat sebilah parang, lalu menusukkannya ke arah sang ibu sambil berteriak, "TUTUP MULUTMU PEREMPUAN LAKNAT!!!". Di situlah saya yakin Qodrat bukan horor biasa saja. 

Sekilas ceritanya sangat sederhana. Proses mempertanyakan keimanan dan menangani duka, ditambah twist yang bakal muda diterka oleh para veteran genrenya. Tapi yang unik adalah soal struktur. Saya sering mengeluhkan bagaimana banyak horor kita tampil bak kompilasi teror (baca: jump scare) semata. Ketimbang menghindari itu, Qodrat malah menantangnya. Golnya adalah, bagaimana membuat horor berisi teror tanpa henti agar tidak terasa repetitif. Hebatnya, ia berhasil.

Kadang ia melempar jump scare. Cukup sering pula darah ditumpahkan. Tapi Qodrat paling memukau tiap menjamah area laga. Aksi rukiah sang ustaz tak ubahnya pertarungan superhero melawan supervillain. Dibantu tata kamera garapan Hani Pradigya, Charles Gozali menyuguhkan laga bertempo tinggi yang tak luput menangkap detail koreografi. Hal ini penting, sebab koreonya mumpuni. Walau bersenjatakan doa dan tasbih, Qodrat bisa beraksi dengan mengayunkan pisau. Pisau yang tidak hanya ada di genggaman tangan, juga mulut. 

Sama seperti teknik menerornya, Qodrat pun tampil variatif dalam urusan aksi. Tengok klimaksnya yang menawarkan beragam pilihan shot. Marsha Timothy bersinar di situ. Menampilkan keliaran yang mungkin cuma bisa ditandingi oleh Karina Suwandi dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018), totalitasnya tertangkap sempurna pada sebuah momen gerak lambat, yang turut jadi cara Charles mengekspresikan kata "epik". Sedangkan bagi Vino, akhirnya ia menemukan peran yang mengakomodasi warna suara khasnya. Ucapan doa tak pernah terdengar se-badass ini.

Jajaran pemeran pendukung tidak kalah kuat, tapi izinkan saya memberi sorotan untuk penampilan Maudy Effrosina. Di tangan yang salah, sosok Asha bisa jadi karakter menyebalkan, tapi Maudy membuatnya sangat berlawanan dari itu. She's likeable. Ditambah kemampuan menangani momen dramatik, selama cermat memilih peran, namanya bisa menjulang di masa yang akan datang. 

Terkait karakter Asha, ada satu poin menarik yang sekilas trivial, tapi jarang ditemui di horor kita. Pernahkah anda bertanya-tanya, kenapa karakter di film horor tahu mesti berjalan ke mana meski berada di ruang gelap tanpa cahaya, apalagi kala ia dihantui rasa takut? Di sebuah momen mati lampu, Asha beberapa kali menabrak perabotan di sekelilingnya. Sekali lagi, trivial, tapi menunjukkan bagaimana perhatian pembuat film ini terhadap detail. 

Qodrat tampil brutal, seru, liar, namun jangan lupa, ia merupakan horor bernuansa religi. Pemaknaan terkait religiusitas pun diperlukan. Maka hadirlah perspektif mengenai rukiah. Ketika adegan rukiah di horor kita biasanya ditutup dengan seruan "Allahuakbar!", Qodrat berbeda. Kalimat "Innalilahi wa inna ilaihi rajiun" keluar dari mulut Ustaz Qodrat. Kalimat yang acap kali kita lupa, mempunyai arti "Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali". Karena bagi Qodrat, selain ritual pengusiran setan, rukiah juga pergolakan personal dari seseorang yang berjuang untuk merelakan. Seiring ia merelakan, Qodrat pun menyerukan kebesaran Tuhan.

35 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LIFE IS BEAUTIFUL

2 komentar

Di salah satu nomor musikalnya (Sorrow), tampak seorang pria mabuk membungkuk di bawah pohon, hendak muntah, sebelum mendadak breakdance seiring tempo lagu yang meningkat. Begitulah Life is Beautiful. Sebuah kisah yang mengubah kepahitan jadi keindahan. 

Protagonisnya adalah Oh Se-yeon (Yum Jung-ah), ibu rumah tangga yang semangat menjalani hidup, meski terkesan kurang dihargai oleh seluruh anggota keluarganya. Sang suami, Kang Jin-bong (Ryoo Seung-ryong), sering marah-marah. Puteranya, Kang Seo-jin (Ha Hyeon-sang), rajin belajar namun jarang menghiraukannya. Begitu pun puterinya, Kang Ye-jin (Kim Da-in). 

Keceriaan itu bertahan, bahkan setelah Se-yeon divonis mengidap kanker, dan umurnya cuma tersisa sekitar dua bulan. Alih-alih bersedih, ia justru mengutarakan permintaan aneh untuk melakukan road trip bersama Jin-bong guna mencari cinta pertamanya semasa SMA. 

Se-yeon bukannya tidak takut atau bersedih. Itulah cara coping-nya. Ketika realita masa kini terasa pahit, Se-yeon ingin mengulang masa lalu. Masa indah yang hanya mengenal cinta monyet, tanpa diganggu hal-hal seperti mengurus anak, membayar tagihan, hingga penyakit kronis. Masa di mana ia merasakan kebahagiaan. 

Sebaliknya, karakter Jin-bong mungkin terkesan menyebalkan. Selalu marah, egois, terkesan tak memedulikan kondisi istrinya. Tapi itu pun bentuk coping, meski tidak secara tepat dan sehat. Seperti Se-yeon, Jin-bong menolak dikuasai duka. 

Masalahnya, Jin-bong sudah berperilaku demikian sejak sebelum Se-yeon sakit. Coping-nya dapat dijustifikasi, namun bagaimana dengan "dosa-dosa lama" yang ia lakukan? Naskah buatan Bae Se-young (Intimate Strangers, Extreme Job) luput menyelipkan perenungan soal "Where did it all go wrong?", yang bisa membantu penonton lebih bersimpati pada Jin-bong, sebagai suami penuh cela, kerap khilaf, dan baru sadar betapa berharganya sang istri saat akan kehilangan. 

Kekurangan Life is Beautiful memang terletak pada penceritaan. Misal subplot tentang Seo-jin yang tampil mentah, muncul tiba-tiba, dan seolah diselipkan hanya sebagai trivia terkait profesi asli pemerannya. Twist di ujung pencarian Se-yeon pun lebih seperti upaya mengejutkan penonton, ketimbang menghadirkan sudut pandang dewasa mengenai kehidupan. 

Tapi Life is Beautiful adalah musikal. Segala kelemahan layak dimaafkan selama filmnya memiliki nomor musikal mumpuni. Itulah yang terjadi. Cara Choi Kook-hee selaku sutradara mendesain musikal sesungguhnya tidak groundbreaking. Serupa naskahnya yang memakai elemen penyakit kronis dan bucket list untuk menyusun alur, pengadeganannya cenderung formulaik. Tapi ketepatan pemilihan lagu, ditambah sensitivitas sang sutradara dalam mengolah pemaknaan di balik tiap nomor musikal, melahirkan suguhan yang menyentuh.

Sekuen di rest area (Solo) membawa kemeriahan yang wajib dipunyai jukebox musical, sembari menyiratkan bahwa masih ada benih asmara di hati dua tokoh utama. Kencan di tengah kota Seoul berhiaskan tarian menggemaskan (Ice Cream Love) yang dibawakan Se-yeon muda (Park Se-wan) dan si cinta pertama, Park Jeong-woo (Ong Seung-wu), jadi penegasan kalau momen flashback filmnya tidak kalah kuat. Kemudian ada Farewell yang mewakili isi hati Se-yeon dan Jin-bong. Keduanya berjalan sambil berandai-andai, kalau saja hidup seperti pantai yang tengah mereka lewati. Bukan akhir, melainkan batasan sebelum laut lepas yang bisa diseberangi, untuk kemudian berlabuh di pulau-pulau lain. 

Passionate Goodbye memberikan puncak pemancing air mata, yang seperti judulnya, mengubah perpisahan jadi semarak pesta. Di situ pula Yum Jung-ah menyempurnakan akting mumpuninya. Penampilan komplet yang melibatkan kemampuan menangani komedi, akting dramatik, dan tentu saja bernyanyi serta menari. 

Life is Beautiful berpusat pada sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, ayah, juga sepasang anak laki-laki dan perempuan. Kebetulan di sebelah saya duduk satu keluarga Korea dengan komposisi sama persis. Belum sampai 15 menit film bergulir, sang ibu sudah berurai air mata. Sesekali ia belai kepala puteranya. Apakah ia merasakan kemiripan dengan kisah hidup Se-yeon? Entahlah. Saya cuma bisa berharap si ibu melangkah keluar dari studio sambil mengucap dalam hati, "Hidup itu indah". 

(Tayang di bioskop 26 Oktober)

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - V/H/S/99

4 komentar

Seri V/H/S semestinya merupakan lahan berkreasi, di mana kreativitas tidak dibatasi dan kegilaan lepas kendali. Satu orang paham memahami betul esensi tersebut: Timo Tjahjanto. V/H/S/2 (2013) dan V/H/S/94 (2021) dibawanya jadi installment terbaik berkat segmen buatannya (salah satunya bersama Gareth Evans). Kali ini, di film kelimanya, Timo absen. Begitu pula segala kesenangan menyaksikan keliaran horor.

"Konsep menarik, eksekusi generik". Kalimat itu bakal terus muncul di kepala selama kurang lebih 109 menit durasi V/H/S/99. Shredding karya Maggie Levin berusaha menangkap semangat teenage angst yang kental mengisi industri musik 90-an, mengenai empat anggota band punk rock. Apa yang mereka lakukan? Menyusup ke panggung musik bawah tanah (literally), yang terbengkalai pasca sebuah peristiwa kebakaran. 

Ya, bahkan setelah mencetuskan subteks serta penokohan unik, alurnya tetap terjebak dalam formula klise "remaja memasuki area terkutuk lalu berperilaku secara tidak hormat". Terornya berdarah, sadis, dilengkapi efek praktikal mumpuni (keunggulan yang rutin dimiliki segmen film ini), namun keputusan Levin menyelipkan efek glitch berlebihan, berujung melucuti kenikmatan menyaksikan segala kelebihan tadi. Termasuk ending komikal (in a good way) miliknya. To put it simply, this is that kind of mocku-horror where you can't see shit. 

Sedangkan Suicide Bid garapan Johannes Roberts, yang mengangkat soal obsesi mahasiswi baru bergabung dengan sorority paling prestisius, coba membangun nuansa klaustrofobik, hanya saja pilihan shot sang sutradara kurang mendukung. Sekali lagi practical effects tampil selaku penolong, tatkala konklusinya kekurangan daya untuk menciptakan cerita balas dendam yang memuaskan.  

Ozzy's Dungeon buatan Flying Lotus mungkin segmen yang paling mewakili semangat keliaran serinya. Serupa judulnya, sebuah game show berjudul Ozzy's Dungeon mengambil sentral penceritaan. Sebuah acara khas 90-an, dengan estetika serta musik 90-an, dan pembawa acara (Steven Ogg) yang menampilkan mannerism ala Jim Carrey, bahkan mengutip kalimat ikonik milik sang aktor. 

Seiring berlangsungnya acara, makin jelas kalau Ozzy's Dungeon, walau berisikan anak-anak, serta berjanji mengabulkan permintaan mereka bila berhasil menang, sama sekali tak memedulikan anak. Naskah yang ditulis oleh Flying Lotus bersama Zoe Cooper menyentil eksploitasi anak, baik di tangan industri maupun orang tua. 

Tapi kegilaan sesungguhnya terletak tatkala segmen ini beberapa kali "banting setir", terus membawa genrenya berevolusi, dari komedi hitam, revenge story, torture porn, hingga menebar aroma lovercraftian. Segmen yang paling berpotensi dikembangkan ke medium film panjang guna lebih mengeksplorasi mitologinya. 

Perbedaan mendasar V/H/S/99 dibanding seluruh installment sebelumnya adalah ketiadaan segmen yang bertindak selaku narasi penghubung. Sebagai gantinya, kita disuguhi animasi stop-motion mengenai mainan tentara yang melalui beragam situasi absurd, yang dibuat oleh karakter dari segmen keempat, The Gawkers. 

Sayangnya, animasi yang tak punya kaitan dengan cerita utama itu justru jadi poin terbaik The Gawkers, yang mengisahkan empat remaja horny, dalam upaya mereka mengintip seorang wanita yang tinggal di seberang jalan. Kemunculan figur mitologi tak terduga gagal dimanfaatkan oleh sang sutradara, Tyler Macintyre, guna melahirkan klimaks brutal. Menilik kisahnya, tatkala setup jauh lebih panjang daripada payoff, saya pun curiga. Jangan-jangan segmen ini malah luapan kemesuman terselubung pembuatnya?

Tendensi suatu antologi adalah menaruh segmen terbaik sebagai penutup, dan To Hell and Back lumayan berhasil menanggung tugas berat tersebut. Mengisahkan dua teman yang tengah merekam proses ritual pemanggilan iblis jelang pergantian tahun, segmen ini mengajak penonton berjalan-jalan ke neraka secara literal. 

Keterbatasan biaya mampu diakali oleh dua sutradaranya, Vanessa dan Joseph Winter. Langit merah tua, sambaran metir, padang tandus, serta kualitas practical effects dan kreativitas desain monster yang mencapai puncaknya, menyajikan penutup mengesankan. 

Tapi mana kecemasan yang melanda publik, saat kedatangan milenium baru dikabarkan bakal berujung akhir dunia (termasuk paranoia Y2K)? Beberapa kali hal-hal itu disinggung, namun tak satu segmen pun benar-benar berani memaparkan kekacauan dan ketakutan yang menggelayuti benak banyak orang jelang transisi dari tahun 1999 ke 2000. Karena begitulah V/H/S/99. Sebuah kotak mimpi buruk yang tak pernah dibuka seutuhnya. 

(Shudder)

4 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PERFECT STRANGERS

5 komentar

Fun fact: Perfect Strangers (2016) memegang rekor dunia sebagai film yang paling banyak di-remake. Total 21 judul telah dirilis, dengan versi Indonesia jadi yang terbaru. Angka itu belum berhenti. Islandia segera menyusul, sedangkan Qatar dan Swedia masih dalam proses. Versi Amerika tertunda karena kasus Harvey Weinstein, tapi tidak berhenti mengingat haknya berpindah ke Spyglass Media Group. 

Mengapa minatnya begitu tinggi? Jawabannya beragam, mulai dari cerita universal yang relevan, setumpuk twist kegemaran penonton sekarang, hingga fakta kalau hampir semua remake sukses secara finansial. 

Menonton versi mana pun otomatis mengurangi rasa penasaran jika telah mengonsumsi karya aslinya. Kejutan-kejutan yang menanti sudah kita tahu. Naskah buatan Alim Sudio rasanya paham betul hal tersebut, lalu memanfaatkan satu hal: orang yang sudah menonton versi-versi sebelumnya, bakal lebih sensitif menangkap petunjuk, entah omongan karakter maupun detail-detail kecil lain. 

Bagi penonton baru, Perfect Strangers versi Indonesia menyenangkan karena memancing penasaran serta sarat kejutan. Bagi penonton lama, sumber kesenangan berasal dari keberhasilan mengenali petunjuk yang kita tahu bakal diarahkan ke mana. 

Alurnya masih serupa. Tujuh sahabat berkumpul untuk makan malam. Tujuannya adalah merayakan apartemen baru kepunyaan Enrico (Darius Sinathrya) dan Eva (Nadine Alexandra). Enrico seorang dokter bedah plastik, sedangkan Eva seorang psikolog yang mampu menangani keluhan para pasien, namun kerepotan menghadapi tumbuh kembang puteri remajanya, Bella (Dannia Salsabilla). 

Turut hadir: Wisnu (Adipati Dolken) dan Imelda (Clara Bernadeth), pasangan yang pernikahannya merenggang, khususnya akibat keberadaan ibu Wisnu; Anjas (Denny Sumargo) dan Kesha (Jessica Mila), pengantin baru yang sedang mesra-mesranya; juga Tomo (Vino G. Bastian) si pria bertubuh tambun dengan wajah penuh jenggot, yang identitas pacar barunya memancing penasaran semua orang.

Makan malam penuh canda tawa itu perlahan berubah menegangkan pasca Imelda menyarankan sebuah permainan, yang mengharuskan semua orang menaruh handphone di atas meja, membacakan pesan atau surel yang masuk, serta mengangkat telepon dengan pengeras suara. Satu demi satu rahasia mereka pun terungkap malam itu. 

Perfect Strangers tergolong remake yang setia. Sangat setia, sampai beberapa pilihan shot sang sutradara, Rako Prijanto, serupa dengan film aslinya. Karena kesetiaan itu pula, kelemahannya senada, yakni seiring rahasia mulai terungkap, intensitas yang dibangun oleh proses observasi luntur, digantikan oleh penantian terhadap twist apa yang selanjutnya muncul.

Menariknya, di balik kesetiaan itu, selain mengolah versi Italia, Alim dan Rako turut mengambil inspirasi dari remake lain, terutama Korea Selatan (Intimate Strangers, 2018). Lokasinya diubah jadi apartemen mewah,yang dengan bangga Eva pamerkan. Bersama Imelda, Eva pun menyindir kado pemberian Kesha karena bertuliskan "Made in China". Elemen status sosial tersebut nampak di versi Indonesia dan Korea Selatan, karena berbeda dengan Italia, persoalan ini memang sangat kental di kedua negara. 

Rako berhasil mengarahkan interaksi ala drama panggung ini dengan baik, menyesuaikan dengan kultur obrolan Indonesia, yang seramai apa pun, takkan "sekacau" Italia. Dinamis, cepat, namun gampang dipahami target pasarnya. 

Mengenai target pasar ini penting disimak. Baik pengarahan Rako atau penulisan Alim sama-sama berfokus pada bagaimana agar Perfect Strangers tampil "ramah" bagi penonton Indonesia. Karakter Wisnu misal. Pembawaan Adipati dibuat meledak-ledak, agresif, berlawanan dengan Lele (Valerio Mastandrea), padanannya di versi Italia, yang cenderung kalkulatif. Secara menyeluruh memang Rako menambah daya ledak, melahirkan rentetan adu mulut yang lebih dramatis. Sementara Alim memastikan semua hal terungkap sejelas mungkin melalui tuturan verbal. Saya lebih menyukai pendekatan film aslinya, namun penyesuaian untuk target pasar jelas bisa dipahami. 

Ensemble cast-nya juga berakting dengan baik, terlebih Nadine dan Clara, sebagai dua wanita yang bersusah payah meredam letupan di benak masing-masing. Riasan rambut, jenggot, dan fat suit di tubuh Vino (agak mengingatkan ke Surya Saputra) awalnya terlihat kurang natural, tapi begitu sang aktor memperlihatkan performa apik sebagai Tomo yang witty, kesan mengganggu itu pelan-pelan lenyap. 

Daftar remake Perfect Strangers jelas akan terus bertambah panjang. Karena di mana pun negara tempatnya berlatar, dengan budaya seperti apa pun, dinamika sosial semacam ini selalu terjadi. Bagaimana hubungan pertemanan sejatinya lebih rapuh dan beracun daripada yang nampak di luar. Di depan melempar ucapan sayang, di belakang saling merendahkan. Mereka yang dianggap sempurna, sejatinya problematik dan memendam rahasia. Akhirnya, sebagaimana ditampilkan oleh konklusinya, timbul pertanyaan, "Manakah yang lebih baik? Kebenaran pahit atau kepalsuan manis?". 

(Prime Video)

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - 6/45

2 komentar

Pesan perdamaian yang menghembuskan harapan soal reunifikasi Korea telah banyak diangkat ke layar lebar. Tapi di 6/45, semangat persatuan bukan disulut oleh perjuangan bernapaskan nasionalisme, melainkan perasaan senasib sepenanggungan berasaskan uang.....dan K-pop. 

Berlatar di pangkalan militer yang berdekatan dengan Zona Demiliterisasi Korea, pangkal masalah bermula kala Park Chun-woo (Go Kyung-pyo), yang tinggal tiga bulan lagi menyelesaikan wajib militer, menemukan tiket lotere. Tanpa disangka, tiket itu memenangkan hadiah uang sebesar 5,7 miliar won. Malang bagi Chun-woo, belum sempat menukarkannya, tiket itu justru terbang tertiup angin, memasuki daerah Korea Utara, sebelum dipungut oleh Ri Yong-ho (Lee Yi-kyung).

Pertikaian pun pecah antara militer Korsel dan Korut, bukan karena benturan ideologi, melainkan hasrat materi. Kondisi makin kacau saat orang yang tahu soal tiket tersebut bertambah dari kedua belah pihak. Siapa yang sebenarnya berhak mengklaim kepemilikan? Bagaimana persentase pembagian yang adil? 

Tiket lotere yang bisa berkali-kali tertiup angin lalu secara bergantian mendarat di hadapan prajurit Korsel dan Korut memang terdengar konyol. Tapi itu bukan sekadar kebetulan komedik biasa, yang mengharuskan penonton memakai suspension of disbelief. Melalui naskahnya, Park Gyu-tae yang juga menduduki kursi sutradara, menanam pertanyaan yang lebih bermakna di situ. Apakah memang kebetulan, ataukah tanda alam? Seolah semesta berkehendak mempersatukan dua sisi Korea. Perenungan itu bertambah kuat seiring alurnya bergulir.

Paruh awal 6/45 sejatinya diisi humor yang cenderung main aman dan predictable. Masih berkutat di ide-ide klise mengenai "kelucuan apa yang dapat muncul ketika para anggota militer tidak seserius kelihatannya?". Titik balik baru terjadi begitu Korsel dan Korut mencapai kata sepakat soal strategi yang harus diambil agar sama-sama memperoleh untung. 

Sejak itu Park Gyu-tae melempar segala gagasan liarnya, menghadirkan komedi sarat kreativitas yang menggila tanpa kenal batas, entah perihal benturan budaya, maupun beragam situasi absurd lain yang berujung pada kekacauan tak terkendali. Cara bertuturnya memang bak sketsa, terpotong-potong ketimbang menampilkan jalinan cerita utuh, terbagi atas segmen-segmen berisi aneka bentuk komedi situasi. Tapi siapa peduli di saat tiap situasi senantiasa berhasil memancing tawa? 

Fokusnya tetap menyoroti Chun-woo dan Yong-ho, namun karakter pendukung lain diberi peluang bersinar. Semisal Man-cheol (Kwak Dong-yeon), prajurit Korea Selatan yang bertugas menguangkan tiket lotere. Sebuah tugas mudah, namun akibat serangkaian kebodohan, berubah jadi kehebohan berskala nasional (salah satu contoh keliaran pikir naskahnya). Ada pula Yeon-hee (Park Se-wan), prajurit Korea Utara yang kerap terlibat adu mulut dengan Chun-woo melalui pengeras suara yang terpasang di menara pengawas masing-masing negara. 

Titik balik yang saya sebutkan di atas dibarengi oleh diperdengarkannya sebuah lagu. Pecinta K-pop pasti familiar dengan lagu tersebut, tapi tidak dengan penonton awam yang mungkin menganggap kemunculannya cuma pengiring satu lagi kekonyolan karakternya. Tapi Park Gyu-tae memang bukan sedang ingin menarik perhatian penonton awam. Kalau demikian, ia akan memilih lagu dengan pangsa pasar lebih luas (Blackpink, BTS, dll.).

Lagu tersebut dipilih karena pengaruhnya yang luar biasa kuat di kalangan militer. Lagu yang mendatangkan kebahagiaan di sela-sela kelelahan fisik. Lagu yang menghapus batasan, entah pangkat, atau dalam konteks film ini, Selatan dan Utara. Sebab pada akhirnya, tatkala atribut seragam ditanggalkan (atau ditukar), kedua pihak adalah manusia yang "sama". 

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BLACK ADAM

26 komentar

Dwayne "The Rock" Johnson punya fisik sempurna untuk memerankan karakter dalam cerita superhero. Bahkan dia lebih kekar dibandingkan Black Adam di komik. Saking kekarnya, diperlukan CGI untuk mengurangi ukuran otot Johnson saat si antihero tengah menanggalkan kekuatannya dan menjadi manusia biasa (yang sebenarnya juga kekar). Pertanyaan terbesarnya, apakah di luar fisik, Johnson memang pilihan tepat guna memerankan salah satu antihero paling badass milik DC?

Ketika Black Adam (punya nama asli Teth-Adam) mampu menangkap peluru, membengkokkan besi, mengalahkan puluhan lawan secepat kilat, saya memercayai itu. Karena sekali lagi, Johnson memang tampak bak jagoan tak terkalahkan berkat fisiknya. Tapi sewaktu filmnya menyebut sang tokoh utama sebagai dewa yang tak ragu melakukan pembunuhan brutal, kepercayaan itu luntur. 

Black Adam bukan Deadpool yang banjir darah. Di semesta sinema DC pun ia nampak lebih jinak dibanding The Suicide Squad (2021) bikinan Gunn. Alurnya menyimpan potensi untuk menggila, kala mengisahkan tentang Black Adam, yang bangkit ke dunia setelah hampir 5000 tahun. Meski punya sumber kekuatan serupa, Black Adam amat berbeda dengan Shazam. Motivasinya didasari oleh dendam dan amarah. Di sinilah naskahnya ragu merambah ambiguitas.

Tentu Black Adam bakal belajar memanfaatkan kekuatannya untuk kebaikan. Tepatnya demi melindungi warga kota Kahndaq yang sekian lama hidup di bawah opresi penjajah asing. Adrianna (Sarah Shahi) dan sang putera, Amon (Bodhi Sabongui) membantunya meniti jalan tersebut. Konfrontasinya dengan JSA (Justice Society of America) yang terdiri atas Hawkman (Aldis Hodge), Doctor Fate (Pierce Brosnan), Cyclone (Quintessa Swindell), dan Atom Smasher (Noah Centineo) juga mengarahkan ke proses senada mengenai kepahlawanan. 

Artinya, kita tahu Black Adam kelak bertransformasi dari dewa kejam jadi antihero.....yang juga kejam. Kekejaman itulah yang gagal ditangkap film ini. Entah karena naskahnya lebih condong menyoroti sisi terang dibanding kelam, pemilihan rating PG-13 yang membatasi elemen kekerasan, atau sosok Johnson sendiri. Apa yang ia perlihatkan cuma kebingungan (yang memang bagian karakternya), di saat kebingungan itu harusnya dibarengi sakit hati serta gejolak moralitas. 

Black Adam bukan kisah anthihero mumpuni. Tapi apakah juga blockbuster buruk? Untungnya tidak. Alurnya cepat, menolak membuang waktu, rutin bergerak dari satu set piece aksi ke set piece aksi berikutnya. 

Sedangkan di kursi sutradara, Jaume Collet-Serra (Orphan, The Shallows, Jungle Cruise) mampu menghadirkan aksi bombastis yang memperhatikan berbagai lini estetika. Visualnya, terutama saat Cyclone turun ke medan pertempuran, tampil memanjakan mata. Collet-Serra membuat tiap anggota JSA mencuri perhatian. Hawkman lebih dari pria berkostum burung norak bersenjatakan gada semata, melainkan jagoan tangguh dengan pengalaman segudang, sementara Doctor Fate membuktikan kalau Pierce Brosnan masih salah satu bintang Hollywood paling karismatik. 

Musik gubahan Lorne Balfe membangun kesan bahwa filmnya bukan produk numpang lewat, yang melahirkan suguhan aksi dahsyat saat dipakai mengiringi gerak lambat buatan Collet-Serra. Penggemar komiknya akan bersukacita menyaksikan gelaran epik, yang juga tidak takut terlihat konyol karena menampilkan desain karakter yang akurat dan cukup setia ke materi aslinya. 

Semua tergantung pada apa yang tiap penonton cari. Naskahnya mungkin lemah mengeksplorasi ruang gelap tokoh utamanya, pula terkesan kurang tegas dalam melempar kritik perihal campur tangan asing terhadap konflik suatu negara. Alias, jika mencari kompleksitas penceritaan, sebaiknya carilah opsi lain. Tapi apabila kisah superhero generik berbalut deretan aksi asyik jadi tujuan, Black Adam takkan mengecewakan.

26 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HELLRAISER

5 komentar

Michael Myers, Jason Voorhees, Freddy Krueger, Leatherface. Nama-nama tersebut adalah monster ikonik dunia horor. Berangkat dari judul-judul slasher penguasa 80-an, popularitas mereka menembus budaya populer yang lebih luas. Pinhead tidak demikian. Kali pertama muncul di Hellraiser (1987), selaku adaptasi novela The Hellbound Heart karya sang sutradara, Clive Barker, sosok si pemimpin Cenobite cenderung asing bagi kalangan awam. 

Pinhead dan Hellraiser memang berbeda. Filmnya bukan slasher biarpun mengetengahkan kematian brutal, Pinhead pun bukan pembunuh berantai ala subgenre horor tersebut meski cirinya mengarah ke sana. Mungkin itu alasan kenapa selepas judul keempatnya, Hellraiser: Bloodline (1996), yang turut menandai berakhirnya keterlibatan Barker, franchise-nya diisi enam sekuel straight-to-DVD buruk, yang terkesan asal memasang merek dagang Hellraiser, walau ceritanya tanpa kaitan berarti. Para pembuatnya juga bingung bagaimana mesti memperlakukan Pinhead. 

Sampai datanglah sutradara David Bruckner bersama dua penulis naskah langganannya, Ben Collins dan Luke Piotrowski. Serinya di-reboot, Clive Barker terlibat lagi sebagai produser, dan Hellraiser kembali ke hakikatnya, melalui installment yang tidak cuma memuaskan, pula layak mendapat predikat "terbaik". 

Protagonisnya adalah Riley (Odessa A'zion), mantan pecandu narkoba yang bergulat agar tidak kambuh. Orang-orang di sekitar Riley berusaha membantunya. Sang kakak, Matt (Brandon Flynn), dan kekasihnya, Colin (Adam Faison), juga Nora (Aoife Hinds), teman sekamar Riley. Tapi bagi Riley, uluran tersebut lebih terasa seperti upaya mencampuri hidupnya. 

Riley berpacaran dengan Trevor (Drew Starkey), yang mengajaknya membobol gudang penyimpanan milik orang kaya, berharap mendapat barang berharga untuk dijual. Tapi keduanya justru menemukan kotak puzzle misterius, yang jadi gerbang masuknya para Cenobite di bawah pimpinan Pinhead (Jamie Clayton) dengan segala siksaan mereka. 

Naskahnya melakukan satu modifikasi menarik. Di awal perumusannya, Hellraiser bukan horor biasa karena siksaan Cenobite terhadap korbannya adalah perwujudan seksualitas, tepatnya sadomasokisme. Bagi Cenobite, rasa sakit merupakan sumber kenikmatan. Di sini, siksaan jadi simbolisme berbeda. 

Sebagaimana kondisi Riley, Cenobite mewakili adiksi. Kotak puzzle (lebih dikenal dengan sebutan "Lament Configuration") tak ubahnya narkoba yang menyebarkan luka ke orang-orang di sekeliling pemakainya. Barang siapa mampu mampu menyelesaikan puzzle bakal diberi hadiah berupa kenikmatan, selaku cara menyelesaikan masalah hidup. Tapi hadiah itu hanya rasa sakit yang lebih besar sekaligus destruktif. Sama seperti narkoba yang menjanjikan kenikmatan sesaat, lalu membawa maut di kemudian hari. 

Gaya Hellraiser lebih mendekati slasher ketimbang film aslinya. Makin banyak mayat bergelimpangan membuatnya lebih menghibur. Apalagi Bruckner menghadirkan beraneka ragam bentuk siksaan, yang selain brutal juga variatif. 

Terkait penceritaan, mitologinya mendapat eksplorasi memadai, meski terkadang naskahnya agak kelabakan menyampaikan kompleksitas dunianya, hingga sesekali memunculkan pertanyaan, "Apakah terdapat inkonsistensi, atau naskahnya yang kurang pandai menjabarkan?". 

Tapi itu cuma batu sandungan kecil dibanding keberhasilan merevolusi franchise-nya. Bahkan secara general, Hellraiser termasuk salah satu horor dengan estetika terbaik tahun ini. Kemunculan Cenobite selalu ditandai dengan pemandangan sureal yang memikat, kala lokasi berubah, bak memberi ruang terbukanya gerbang neraka. Ditambah ketepatan pemakaian CGI di klimaks, jadilah sebuah teror megah.

Sedangkan practical effects-nya bersinar ketika menghidupkan para Cenobite. Desain mereka diubah. Jubah lateks kinky ditanggalkan, digantikan oleh variasi tubuh yang termutilasi, sebagai perlambang obsesi akan "siksaan pembawa kenikmatan". Pinhead pun nampak berbeda. Cenderung androginus. Jamie Clayton mencatatkan sejarah sebagai wanita pertama yang memerankan Pinhead, dan alih-alih berusaha mereplikasi Doug Bradley, ia menawarkan interpretasi yang tak kalah mengerikan.  

Hellraiser sukses bukan karena ambisi tampil beda, namun pemahaman orang-orang di belakangnya mengenai esensi dari karya Clive Barker. Mereka mengenalnya, menyukainya, lalu mengambil poin-poin terbaik di dalamnya, guna melakukan penyesuaian tanpa mengubahnya jadi puzzle yang sama sekali berbeda.

(Hulu) 

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DON'T WORRY DARLING

2 komentar

Lupakan segala kegaduhan di balik layarnya. Don't Worry Darling mungkin penuh kekurangan di sana-sini, tapi ini adalah campur aduk genre yang kompeten. Pertemuan antara drama empowerment, romansa, thriller, misteri, juga science-fiction, yang berbagi DNA dengan judul-judul seperti The Stepford Wives (1972), The Truman Show (1998), hingga The Matrix (1999). 

Alice (Florence Pugh) tinggal bersama sang suami, Jack (Harry Styles), di company town yang kecil nan damai. Latar waktunya tidak disebutkan, tapi gaya busana dan arsitekturnya mencerminkan Amerika era 50-an. Kota tersebut dibangun oleh Victory, perusahaan milik Frank (Chris Pine), tempat Jack bekerja.  

Setiap pagi, Jack dan para suami secara serempak mengendarai mobil menuju kantor pusat Victory yang terletak di tengah gurun, sedangkan para istri melambaikan tangan mereka, menjadi ibu rumah tangga yang baik. Alice nampak bahagia menjalani rutinitas itu. Sesekali ia berlatih balet bersama istri-istri lain, atau sekadar mengobrol santai dengan sahabatnya, Bunny (Olivia Wilde). 

Kesempurnaan hidup? Mungkin, tapi lambat laun muncul pertanyaan, "sempurna untuk siapa?". Alice perlahan menyadari bahwa Victory bisa jadi bukan utopia seperti kelihatannya, dan di situlah naskah buatan Katie Silberman (Isn't It Romantic, Booksmart) melempar twist guna menggiring first act-nya ke ranah tak terduga yang memancing setumpuk pertanyaan dan rasa penasaran. 

Sayangnya selepas babak awal yang mengikat kuat, Silberman seolah bingung mesti berbuat apa. Jika first act melempar pertanyaan sementara third act memberi jawaban, maka second act jadi proses menguraikan pertanyaan itu. Kalau diibaratkan ujian matematika, film bukan berbentuk pilihan ganda, melainkan esai, di mana proses mendapatkan jawaban mesti disertakan. 

Naskah milik Silberman luput melakukan itu. Daripada mengeksplorasi, ia tampil stagnan, hanya bergantung pada pengulangan momen-momen sureal yang mengisi mimpi Alice. Pengarahan Wilde menawarkan barisan visual cantik, musik gubahan John Powell memberi nuansa haunting yang unik (somehow it sounds "feminine"), namun repetisi melemahkan dampaknya setelah beberapa saat. Babak kedua Don't Worry Darling serupa protagonisnya. Kebingungan, hilang arah. 

Bakal makin melelahkan andai bukan karena jajaran pemainnya. Di depan kamera, Wilde tampil mengigit; Pine mulus memerankan antagonis; Gemma Chan sebagai Shelley, istri Frank, mencuri perhatian; Styles meski tanpa kedalaman mumpuni, tak seburuk anggapan banyak orang. Tapi Pugh tetaplah penampil terbaik. Tatkala babak kedua membangkitkan kantuk, Pugh seperti percikan air yang terus membuat penonton terjaga. 

Untunglah klimaksnya jadi ajang pembuktian bagi Wilde (yang rumornya akan menyutradarai Spider-Woman) mengarahkan spektakel. Kebut-kebutan di padang gurun adalah contoh geberan aksi oldskul yang mengedepankan permainan kamera alih-alih eksploitasi CGI, pun sinematografi megah garapan Matthew Libatique menghadirkan alasan untuk menonton filmnya di layar sebesar mungkin. 

Don't Worry Darling memang inkonsisten, tapi begitu kisahnya berakhir, pesan yang dibawa terpampang jelas. Latar ala Amerika era 50-an dipakai, sebab masa itu kerap dipandang layaknya utopia. Kehidupan damai, finansial terjaga, suami bekerja di kantor, istri mendukung di rumah. Istri tidak perlu tahu detail pekerjaan sang suami, sebab tugas mereka adalah "mendukung". Sewaktu pria punya "identitas ganda", yakni sebagai suami penyokong finansial dan sebagai dirinya (individu), identitas wanita sebatas "pendukung suami", tidak eksis sebagai individu yang berdiri sendiri. 

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - KALIAN PANTAS MATI

6 komentar

Kalian Pantas Mati tahu betul sejauh mana kemampuannya, seperti apa sumber materinya, dan siapa target pasarnya. Sebagai sebuah remake, ia tampil setia dengan modifikasi seperlunya. Memang tidak groundbreaking, sebab itu bukanlah keharusan. Alhasil, penonton remaja, pecinta hiburan Korea, maupun penggemar aktris utamanya, mendapatkan persis dengan apa yang mereka harapkan.

Naskah buatan Alim Sudio mengadaptasi Mourning Grave (2014), yang sebagaimana horor Korea Selatan berlatar SMA kebanyakan, mengangkat soal perundungan. Protagonisnya bernama Rakka (Emir Mahira kembali setelah absen 9 tahun), yang memutuskan kembali ke Bogor, karena di Jakarta ia kerap jadi korban perundungan teman-temannya. Kemampuan spesial Rakka adalah penyebabnya. Dia bisa melihat hantu, yang alih-alih berguna, justru membuatnya dicap "aneh". 

Rakka mengenakan gelang yang bakal mengencang tiap ada hantu di sekitarnya. Gelang itu adalah alat deteksi yang lebih efektif dibanding liontin kepunyaan protagonis film aslinya. Tampak saat Rakka tertidur dalam bus, ia terbangun, langsung menyadari kehadiran hantu karena merasakan cengkeraman gelang. Liontin tidak bisa melakukan itu. 

Sejatinya kemampuan itu membuat Rakka berkali-kali membantu arwah penasaran menyelesaikan perkara yang belum usai. Entah mencari mayat mereka, atau membalaskan dendam. Lambat laun "gangguan" itu terasa makin melelahkan baginya, tapi keputusan pindah ke Bogor rupanya tak memperbaiki keadaan.

Pertama, ia masih saja diikuti hantu. Kali ini sesosok hantu gadis remaja yang melupakan identitasnya (Zee JKT48). Kedua, ia kembali jadi korban perundungan. Ketiga, sewaktu Rakka menyadari adanya hantu wanita bermasker, yang dicurigai merupakan dalang di balik hilangnya beberapa murid. 

Salah satu modifikasi yang dilakukan Kalian Pantas Mati adalah menambah kadar perundungan. Mourning Grave mampu memancing kebencian pada para pelaku, tapi Kalian Pantas Mati membuat saya mengamini judulnya. Sayangnya remake ini terkesan kurang berani menyoroti kontribusi guru dalam melanggengkan kultur perundungan. Ya, salah satu guru menerima "hukuman", tapi apa yang ia perbuat, dan bagaimana itu menciptakan efek domino, kurang diberi sorotan. 

Sederet perubahan lain dapat ditemukan, tapi sekali lagi, secara garis besar, Kalian Pantas Mati setia mengikuti formula materi aslinya, yang diisi alur ala kadarnya, dan bergantung pada pengadeganan sutradara serta akting jajaran pemain. 

Seiring waktu, kedekatan Rakka dan si hantu tanpa nama bertambah. Jelas mereka saling jatuh cinta. Cinta beda alam yang mustahil terwujud. Emir dan Zee melahirkan chemistry manis yang menguatkan hubungan tersebut. Emir membuktikan bahwa absen selama nyaris satu dekade tidak melemahkan dinamika emosinya, sementara Zee yang likeable berpotensi jadi idola baru di layar lebar. 

Sedikit kekurangan justru terletak pada cara sang sutradara, Ginanti Rona, menangkap romantisme. Kecuali momen Zee berjalan dalam gerak lambat di bawah guyuran hujan, pilihan shot-nya belum mencerminkan rasa manis khas percintaan Korea. Tapi kekurangan itu Ginanti bayar lunas kala menangani apa yang jadi keunggulannya: horor brutal. 

Sebagai campuran horor supernatural dan slasher, Kalian Pantas Mati tampil superior ketimbang Mourning Grave dengan segala penampakan murahannya. Ginanti (akhirnya) kembali ke mode brutal yang tak ragu menumpahkan darah sebagaimana di Midnight Show (2016) yang dahulu memposisikannya sebagai salah satu sutradara horor paling potensial. Didukung tata rias mumpuni (hantu masker adalah replikasi sempurna, pun hantu lain tampil tak kalah mengerikan), sah sudah status Kalian Pantas Mati sebagai remake yang menandingi (bahkan di beberapa lini melebihi) film aslinya. 

6 komentar :

Comment Page:

REVIEW - INANG

12 komentar

Inang bukan soal teror roh jahat. Filmnya tak memandang perihal mistis sebagai kekuatan jahat. Mistisisme jadi bagian kehidupan. Sebuah misteri semesta yang mustahil diproses nalar. Sama seperti kepercayaan. Serupa kepercayaan pula, penerapannya bisa jadi keliru hingga mengundang malapetaka, bahkan ketika tak dipicu niat buruk. Karena pada dasarnya mistisisme bukan kejahatan. Ego manusialah yang membuatnya demikian.

Sederhananya, Inang tampil beda bila disandingkan mayoritas horor Indonesia, baik dalam perspektif bercerita, maupun pendekatan terhadap genrenya. Jangan mengharapkan parade jump scare. Ketimbang roller coaster ride, film ini lebih mendekati ranah art horror yang masih jarang disentuh industri kita. 

Alkisah wanita bernama Wulan (Naysila Mirdad) tengah kebingungan menyikapi kehamilannya, tatkala si pacar enggan bertanggung jawab. Jangankan membiayai persalinan lalu menghidupi si bayi, membayar sewa kontrakan saja ia tak mampu. Sampai Wulan menemukan grup Facebook yang memberi dukungan bagi ibu hamil. Dari situlah Wulan berkenalan dengan pasangan suami istri, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou), yang bersedia mengurus kehamilan Wulan, kemudian merawat anaknya setelah lahir. 

Kita tahu di balik keramahan mereka, Agus dan Eva menyembunyikan rahasia yang bakal membahayakan Wulan. Tapi poin utamanya bukanlah "apa yang akan dilakukan?" melainkan motivasi di belakangnya. Naskah buatan Deo Mahameru (Udin's Inferno, Stone Turtle) berfokus ke sana, memilih untuk benar-benar bercerita alih-alih mengubar teror murahan. 

Temponya lambat (bisa jadi mengecoh penonton yang mengharapkan suguhan intensitas tinggi), namun Deo tetap sadar kalau ia menulis naskah horor. Sesekali peristiwa aneh diselipkan sebagai pengingat untuk penonton bahwa kita sedang menonton film horor. Beberapa pemakaian simbol memberi ruang untuk mengedepankan penceritaan berbasis visual, walau terkadang simbolismenya terlampau gamblang (seekor tikus yang terjebak kurungan misalnya). 

Tapi bukan pendekatan slow-burn yang membuat Inang mengejutkan, melainkan keberadaan Fajar Nugros di kursi penyutradaraan. Siapa sangka dalam debutnya menggarap horor, Fajar melahirkan folk horror meditatif, dengan salah satu teror terbesarnya berasal dari sebuah sekuen mimpi buruk sureal yang aneh dan cukup liar. 

Menariknya, biarpun mengeksplorasi gaya tutur serta genre baru, Fajar tetap mempertahankan kegemarannya memancing tawa. Masih dalam porsi wajar, pula dengan metode yang tak mengkhianati warna film juga karakterisasi. Bukan tipe humor yang bak berteriak "Lihat ini! Ada lawakan lho!", namun bergulir kasual tanpa kehilangan kemampuan melucu. 

Tempo lambatnya memberi penonton waktu meresapi elemen mistis yang dihadirkan (rebo wekasan bertindak selaku pondasi), sekaligus kaitannya dengan cerita manusia-manusia di dalamnya. Inang dipenuhi kematian, tapi sejatinya ini kisah tentang (melestarikan) kehidupan. Timbul banyak kebencian, namun sesungguhnya, tindakan tiap individu didasari cinta, terutama orang tua kepada anak. 

Alhasil kualitas akting pun dibutuhkan. Naysila Mirdad membuktikan ia layak "dihargai" lebih; Dimas Anggara sebagai Bergas, putera Agus dan Eva, menunjukkan salah satu penampilan terbaik sepanjang karirnya; Lydia Kandou berjalan di area abu-abu antara "penyayang" dan "obsesif"; sedangkan Rukman Rosadi kembali memperlihatkan apa artinya "menjadi" dalam berakting. Bahkan kali ini sang aktor memamerkan keahlian memainkan suara. 

Satu keluhan saya untuk penceritaan Inang adalah bagaimana subteks perihal gender gagal diberi resolusi berarti. Di menit-menit awal kita melihat Wulan kerap diperlakukan buruk sebagai wanita. Seorang diri menanggung konsekuensi suatu hubungan romansa, pula jadi target pelecehan di lingkungan kerja. Sayangnya poin tersebut akhirnya sebatas jadi cara untuk menggambarkan betapa menderitanya Wulan. 

Dua adegan mid-credits scene miliknya terasa kurang substansial, hanya penambah shock value (walau mungkin ada intensi menegaskan soal siklus tanpa ujung), tapi sebelum itu, pilihan konklusinya berhasil menegaskan perspektif terkait mistisisme sebagai bagian semesta. "Force of nature" yang ada di luar kendali manusia, memiliki sebab-akibat yang tak bisa disangkal sekuat apa pun manusia mencoba. 

12 komentar :

Comment Page: