REVIEW - 6/45
Pesan perdamaian yang menghembuskan harapan soal reunifikasi Korea telah banyak diangkat ke layar lebar. Tapi di 6/45, semangat persatuan bukan disulut oleh perjuangan bernapaskan nasionalisme, melainkan perasaan senasib sepenanggungan berasaskan uang.....dan K-pop.
Berlatar di pangkalan militer yang berdekatan dengan Zona Demiliterisasi Korea, pangkal masalah bermula kala Park Chun-woo (Go Kyung-pyo), yang tinggal tiga bulan lagi menyelesaikan wajib militer, menemukan tiket lotere. Tanpa disangka, tiket itu memenangkan hadiah uang sebesar 5,7 miliar won. Malang bagi Chun-woo, belum sempat menukarkannya, tiket itu justru terbang tertiup angin, memasuki daerah Korea Utara, sebelum dipungut oleh Ri Yong-ho (Lee Yi-kyung).
Pertikaian pun pecah antara militer Korsel dan Korut, bukan karena benturan ideologi, melainkan hasrat materi. Kondisi makin kacau saat orang yang tahu soal tiket tersebut bertambah dari kedua belah pihak. Siapa yang sebenarnya berhak mengklaim kepemilikan? Bagaimana persentase pembagian yang adil?
Tiket lotere yang bisa berkali-kali tertiup angin lalu secara bergantian mendarat di hadapan prajurit Korsel dan Korut memang terdengar konyol. Tapi itu bukan sekadar kebetulan komedik biasa, yang mengharuskan penonton memakai suspension of disbelief. Melalui naskahnya, Park Gyu-tae yang juga menduduki kursi sutradara, menanam pertanyaan yang lebih bermakna di situ. Apakah memang kebetulan, ataukah tanda alam? Seolah semesta berkehendak mempersatukan dua sisi Korea. Perenungan itu bertambah kuat seiring alurnya bergulir.
Paruh awal 6/45 sejatinya diisi humor yang cenderung main aman dan predictable. Masih berkutat di ide-ide klise mengenai "kelucuan apa yang dapat muncul ketika para anggota militer tidak seserius kelihatannya?". Titik balik baru terjadi begitu Korsel dan Korut mencapai kata sepakat soal strategi yang harus diambil agar sama-sama memperoleh untung.
Sejak itu Park Gyu-tae melempar segala gagasan liarnya, menghadirkan komedi sarat kreativitas yang menggila tanpa kenal batas, entah perihal benturan budaya, maupun beragam situasi absurd lain yang berujung pada kekacauan tak terkendali. Cara bertuturnya memang bak sketsa, terpotong-potong ketimbang menampilkan jalinan cerita utuh, terbagi atas segmen-segmen berisi aneka bentuk komedi situasi. Tapi siapa peduli di saat tiap situasi senantiasa berhasil memancing tawa?
Fokusnya tetap menyoroti Chun-woo dan Yong-ho, namun karakter pendukung lain diberi peluang bersinar. Semisal Man-cheol (Kwak Dong-yeon), prajurit Korea Selatan yang bertugas menguangkan tiket lotere. Sebuah tugas mudah, namun akibat serangkaian kebodohan, berubah jadi kehebohan berskala nasional (salah satu contoh keliaran pikir naskahnya). Ada pula Yeon-hee (Park Se-wan), prajurit Korea Utara yang kerap terlibat adu mulut dengan Chun-woo melalui pengeras suara yang terpasang di menara pengawas masing-masing negara.
Titik balik yang saya sebutkan di atas dibarengi oleh diperdengarkannya sebuah lagu. Pecinta K-pop pasti familiar dengan lagu tersebut, tapi tidak dengan penonton awam yang mungkin menganggap kemunculannya cuma pengiring satu lagi kekonyolan karakternya. Tapi Park Gyu-tae memang bukan sedang ingin menarik perhatian penonton awam. Kalau demikian, ia akan memilih lagu dengan pangsa pasar lebih luas (Blackpink, BTS, dll.).
Lagu tersebut dipilih karena pengaruhnya yang luar biasa kuat di kalangan militer. Lagu yang mendatangkan kebahagiaan di sela-sela kelelahan fisik. Lagu yang menghapus batasan, entah pangkat, atau dalam konteks film ini, Selatan dan Utara. Sebab pada akhirnya, tatkala atribut seragam ditanggalkan (atau ditukar), kedua pihak adalah manusia yang "sama".
2 komentar :
Comment Page:film yang bikin full ketawa ngakak mencret berdiri berguling-guling...
bagus ini film
Posting Komentar