REVIEW - PERFECT STRANGERS
Fun fact: Perfect Strangers (2016) memegang rekor dunia sebagai film yang paling banyak di-remake. Total 21 judul telah dirilis, dengan versi Indonesia jadi yang terbaru. Angka itu belum berhenti. Islandia segera menyusul, sedangkan Qatar dan Swedia masih dalam proses. Versi Amerika tertunda karena kasus Harvey Weinstein, tapi tidak berhenti mengingat haknya berpindah ke Spyglass Media Group.
Mengapa minatnya begitu tinggi? Jawabannya beragam, mulai dari cerita universal yang relevan, setumpuk twist kegemaran penonton sekarang, hingga fakta kalau hampir semua remake sukses secara finansial.
Menonton versi mana pun otomatis mengurangi rasa penasaran jika telah mengonsumsi karya aslinya. Kejutan-kejutan yang menanti sudah kita tahu. Naskah buatan Alim Sudio rasanya paham betul hal tersebut, lalu memanfaatkan satu hal: orang yang sudah menonton versi-versi sebelumnya, bakal lebih sensitif menangkap petunjuk, entah omongan karakter maupun detail-detail kecil lain.
Bagi penonton baru, Perfect Strangers versi Indonesia menyenangkan karena memancing penasaran serta sarat kejutan. Bagi penonton lama, sumber kesenangan berasal dari keberhasilan mengenali petunjuk yang kita tahu bakal diarahkan ke mana.
Alurnya masih serupa. Tujuh sahabat berkumpul untuk makan malam. Tujuannya adalah merayakan apartemen baru kepunyaan Enrico (Darius Sinathrya) dan Eva (Nadine Alexandra). Enrico seorang dokter bedah plastik, sedangkan Eva seorang psikolog yang mampu menangani keluhan para pasien, namun kerepotan menghadapi tumbuh kembang puteri remajanya, Bella (Dannia Salsabilla).
Turut hadir: Wisnu (Adipati Dolken) dan Imelda (Clara Bernadeth), pasangan yang pernikahannya merenggang, khususnya akibat keberadaan ibu Wisnu; Anjas (Denny Sumargo) dan Kesha (Jessica Mila), pengantin baru yang sedang mesra-mesranya; juga Tomo (Vino G. Bastian) si pria bertubuh tambun dengan wajah penuh jenggot, yang identitas pacar barunya memancing penasaran semua orang.
Makan malam penuh canda tawa itu perlahan berubah menegangkan pasca Imelda menyarankan sebuah permainan, yang mengharuskan semua orang menaruh handphone di atas meja, membacakan pesan atau surel yang masuk, serta mengangkat telepon dengan pengeras suara. Satu demi satu rahasia mereka pun terungkap malam itu.
Perfect Strangers tergolong remake yang setia. Sangat setia, sampai beberapa pilihan shot sang sutradara, Rako Prijanto, serupa dengan film aslinya. Karena kesetiaan itu pula, kelemahannya senada, yakni seiring rahasia mulai terungkap, intensitas yang dibangun oleh proses observasi luntur, digantikan oleh penantian terhadap twist apa yang selanjutnya muncul.
Menariknya, di balik kesetiaan itu, selain mengolah versi Italia, Alim dan Rako turut mengambil inspirasi dari remake lain, terutama Korea Selatan (Intimate Strangers, 2018). Lokasinya diubah jadi apartemen mewah,yang dengan bangga Eva pamerkan. Bersama Imelda, Eva pun menyindir kado pemberian Kesha karena bertuliskan "Made in China". Elemen status sosial tersebut nampak di versi Indonesia dan Korea Selatan, karena berbeda dengan Italia, persoalan ini memang sangat kental di kedua negara.
Rako berhasil mengarahkan interaksi ala drama panggung ini dengan baik, menyesuaikan dengan kultur obrolan Indonesia, yang seramai apa pun, takkan "sekacau" Italia. Dinamis, cepat, namun gampang dipahami target pasarnya.
Mengenai target pasar ini penting disimak. Baik pengarahan Rako atau penulisan Alim sama-sama berfokus pada bagaimana agar Perfect Strangers tampil "ramah" bagi penonton Indonesia. Karakter Wisnu misal. Pembawaan Adipati dibuat meledak-ledak, agresif, berlawanan dengan Lele (Valerio Mastandrea), padanannya di versi Italia, yang cenderung kalkulatif. Secara menyeluruh memang Rako menambah daya ledak, melahirkan rentetan adu mulut yang lebih dramatis. Sementara Alim memastikan semua hal terungkap sejelas mungkin melalui tuturan verbal. Saya lebih menyukai pendekatan film aslinya, namun penyesuaian untuk target pasar jelas bisa dipahami.
Ensemble cast-nya juga berakting dengan baik, terlebih Nadine dan Clara, sebagai dua wanita yang bersusah payah meredam letupan di benak masing-masing. Riasan rambut, jenggot, dan fat suit di tubuh Vino (agak mengingatkan ke Surya Saputra) awalnya terlihat kurang natural, tapi begitu sang aktor memperlihatkan performa apik sebagai Tomo yang witty, kesan mengganggu itu pelan-pelan lenyap.
Daftar remake Perfect Strangers jelas akan terus bertambah panjang. Karena di mana pun negara tempatnya berlatar, dengan budaya seperti apa pun, dinamika sosial semacam ini selalu terjadi. Bagaimana hubungan pertemanan sejatinya lebih rapuh dan beracun daripada yang nampak di luar. Di depan melempar ucapan sayang, di belakang saling merendahkan. Mereka yang dianggap sempurna, sejatinya problematik dan memendam rahasia. Akhirnya, sebagaimana ditampilkan oleh konklusinya, timbul pertanyaan, "Manakah yang lebih baik? Kebenaran pahit atau kepalsuan manis?".
(Prime Video)
5 komentar :
Comment Page:Masih belum dapet maksud dari endingnya nih. Kok tiba-tiba meraka pada keluar kayak nggak ada masalah sama sekali sebelumnya. Sama nggak habis fikir ternyata kehidupan suami istri itu kompleks ya, atau cuma di kota besar aja?
Kan dijelasin sama pemeran darius bro, itu cuma bayangan kalo semua rahasia di buka
Suka banget asli, jdi penasaran pengen nonton versi originalnya 😁
Nonton lah versi asli nya,, pasti akan lebih tercengang
dani atau daniela cukup lucu sih. tapi pas menuju rampung yang brewok ngaku geh trus tereak2 geh...geh...geh.. berulang2 bikin enek langsung skippp.. lebay ini. kek ceramah menggebu2 via toa, wkk
Posting Komentar