REVIEW - HOLY SPIDER

1 komentar

Holy Spider bukan (cuma) film soal pembunuh berantai. Secara langsung, hilangnya nyawa para korban memang disebabkan oleh satu individu, tapi pokok permasalahannya mengakar jauh lebih dalam. Perwakilan Denmark di ajang Academy Awards tahun 2023 ini menyoroti persoalan sistem serta masyarakat. Masyarakat adalah pembunuh berantai sesungguhnya.

Filmnya mempertemukan fiksi dengan realita. Pembunuhan berantai yang menjadikan PSK sebagai target memang terjadi tahun 2000-2001 di Mashad, Iran. Tercatat 16 nyawa melayang. Pelakunya bernama Saeed (Mehdi Bajestani), dan karena modus operandinya, di mana ia memancing korban ke "sarangnya" sebelum mencekik mereka, kasusnya kerap disebut "spider killings". 

Sentuhan fiksi berasal dari keterlibatan Arezoo Rahimi (Zar Amir Ebrahimi) jurnalis yang menyambangi Mashad guna meliput kasus tersebut. Tapi liputan bukanlah tujuan akhir Rahimi. Dia pun terdorong untuk melakukan investigasi, mencari kebenaran mengenai identitas si pelaku. Bukannya Rahimi sembrono atau berambisi jadi pahlawan, tapi ia tahu betul realita di masyarakat setempat. 

Korbannya adalah PSK, yang kebanyakan juga pecandu narkoba. Mereka dianggap sampah. Akankah si pelaku mendapat hukuman setimpal bila tertangkap, atau malah dielu-elukan sebagai pahlawan? Sesampainya di Mashad, Rahimi dipersulit saat menyewa hotel karena ia wanita yang belum menikah. Sewaktu mewawancarai hakim, Rahimi diminta agar tak mengubah kasus pembunuhan ini jadi skandal beraroma agama. Apakah benar keduanya tidak berkaitan? 

Menulis naskahnya bersama Afshin Kamran Bahrami, sutradara Ali Abbasi menyoroti misogini akibat salah kaprah religiuistas. Agama dijadikan alat membunuh, entah secara literal (menghilangkan nyawa) maupun figuratif (mematikan kebebasan). Sama seperti jilbab, yang di tangan Saeed jadi senjata membunuh. 

Satu keputusan naratif yang mungkin memecah penerimaan terhadap film ini adalah saat Holy Spider lebih banyak menghabiskan waktu menyoroti si pelaku ketimbang korban (atau Rahimi selaku pejuang keadilan). Keluhan tersebut ada benarnya, tapi di sisi lain, Abbasi menjadikan itu cara guna menegaskan bahwa Saaed bukan pahlawan. 

Saeed merupakan veteran perang yang kini berprofesi sebagai buruh bangunan. Dia pun seorang suami, sekaligus ayah bagi dua anak. Saeed rajin beribadah. Salat tak pernah dilewatkan, ziarah ke makam ulama rutin dilakukan. Kepada rekannya, Saeed berkata bahwa ia ingin menjadi sosok spesial. Di medan perang ia merasa memiliki peran. Begitu perang usai, ia merasa tak berguna. Saeed bukan pahlawan atau "pembersih maksiat" sebagaimana dielu-elukan para pendukungnya. Dia hanya pria pecundang yang melampiaskan kelemahannya pada wanita.

Sewaktu Saeed melangsungkan aksinya, pilihan shot Abbasi secara cukup jelas memperlihatkan wajah korban. Tubuh yang menegang, ekspresi ketakutan yang menguat seiring menipisnya napas, semua dapat kita saksikan. Apakah sensitivitas Abbasi patut dipertanyakan? Mungkin. Kekuatan Holy Spider sebagai drama yang bersimpati pada korban memang berkurang, tapi jika filmnya sebatas dipandang sebagai thriller eksploitasi disturbing, itu bisa dipandang selaku keunggulan. 

Holy Spider memang thriller kriminal yang digarap secara kompeten. Gaya estetikanya, baik pilihan musik maupun sinematografi di lorong-lorong gelap Mashad mengambil referensi dari noir yang efektif membangun intensitas. Sebuah twist di babak akhir terkesan bak upaya mengecoh penonton guna menambah ketegangan yang kurang diperlukan, namun ending-nya mampu meninggalkan kepahitan menusuk. Bahwa kekacauan pola pikir masyarakat bertanggung jawab melanggengkan seksisme. 

Sewaktu filmnya lebih banyak menyoroti Saeed daripada Rahimi, paparan investigasi jurnalismenya pun melemah, tapi tidak dengan akting Zar Amir Ebrahimi. Ditunjukkannya ketangguhan tanpa kenal lelah sebagai wanita yang menghadapi dunia. Ketika semua pihak seolah membantu si pelaku, dan sebaliknya, semua pihak seolah menghalangi perjuangannya, Rahimi tetap melawan, dan kita berdiri di belakangnya.

(JAFF 2022)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

seksualitas, feminisme dan emansipasi