REVIEW - WENDELL & WILD
Henry Selick, sutradara dua judul animasi yang pantas masuk jajaran stop-motion terbaik sepanjang masa, The Nightmare Before Christmas (1993) dan Coraline (2009), akhirnya turun gunung setelah 13 tahun, berkolaborasi menulis naskah bersama Jordan Peele untuk mengadaptasi buku buatannya yang urung diterbitkan. Sounds too good to be true.
Judulnya merujuk pada dua setan, Wendell (Keegan-Michael Key) dan Wild (Jordan Peele), yang memasuki dunia manusia setelah mencuri krim penumbuh rambut milik ayah mereka, si raja setan Buffalo Belzer (Ving Rhames). Bukan penumbuh rambut biasa, sebab krim itu juga bisa menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati.
Tapi protagonis kita bukan dua setan tersebut, melainkan Kat (Lyric Ross), remaja bermasalah yang keluar-masuk penjara anak. Kenakalan Kat dipicu rasa bersalah akibat kecelakaan yang menewaskan orang tuanya semasa ia kecil. Kesempatan kedua didapat pasca Kat dikirim ke sekolah Katolik untuk memperbaiki perangainya. Dari situlah alurnya mulai meluas. Mungkin terlalu luas.
Pada dasarnya Wendell & Wild merupakan cerita sederhana. Di balik segala elemen supernaturalnya, ia mengisahkan proses si tokoh utama menghadapi duka untuk kemudian belajar memaafkan diri sendiri. Tapi naskahnya seolah belum merasa cukup dengan tuturan tersebut.
Ditambahkannya selipan isu mengenai ketamakan. Pastor Best (James Hong) adalah kepala sekolah yang lebih memedulikan uang ketimbang anak didiknya. Muncul komparasi soal bagaimana manusia-manusia tamak sepertinya justru lebih jahat dibanding setan. Wendell & Wild memerlukan villain, dan Pastor Best memenuhi kebutuhan itu.
Tapi sang pastor ternyata hanyalah secondary villain. Peran musuh utama diberikan pada Lane (David Harewood) dan Irmgard (Maxine Peake), pasangan suami istri sekaligus pebisnis korup yang berencana mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya lewat beragam cara kotor, termasuk memanfaatkan Pastor Best. Belum cukup rumit? Tunggu sampai filmnya mengungkap rahasia tentang Suster Helley (Angela Bassett) dan Manberg (Igal Naor) si penjaga sekolah.
Alur Wendell & Wild terlampau penuh. Terlalu ambisius (hal yang "sangat Jordan Peele"). Akibatnya, banyak potensi gagal tersalurkan. Padahal kalau ingin membuat kisahnya kaya, kehadiran teman baru Kat, Raul (Sam Zelaya), yang merupakan seorang trans, sudah cukup membuat filmnya tampil inklusif. Raul adalah wujud representasi yang solid.
Gara-gara alurnya penuh sesak, beberapa titik emosi perihal perjalanan Kat gagal memberi dampak maksimal, akibat keterbatasan waktu yang diluangkan bagi si protagonis. Untunglah konklusinya berhasil menyentuh, ketika Selick menciptakan kehangatan, tentang bagaimana individu yang terluka tetap bisa membangun harapan dan keindahan.
Terkait kualitas animasi, rasanya kepiawaian Selick tak perlu diragukan. Tampilan dunianya sarat kreativitas (sayangnya tak dibarengi bangunan mitologi mumpuni oleh naskah), desain karakternya juga mengundang daya tarik tersendiri. Apabila Wendell dan Wild menyerupai pengisi suara masing-masing, maka Lane dengan rambut, jas, dasi, serta perangainya jelas memarodikan Donald Trump.
Terpenting, Wendell & Wild masih terlihat layaknya animasi stop-motion. Selick sadar bahwa kemajuan teknologi yang dapat memuluskan gerak stop-motion justru melucuti esensi teknik itu. Selick mengakalinya dengan beberapa cara, salah satunya mengambil gambar menggunakan frame rate yang lebih kecil di adegan-adegan tertentu. Sama seperti Kat, stop-motion menyimpan keindahan di balik ketidaksempurnaannya.
Wendell & Wild adalah animasi yang solid. Tapi mengingat ini menandai kembalinya Henry Selick setelah lebih dari satu dekade, di mana sang sutradara berkolaborasi dengan Jordan Peele, sekadar "solid" rasanya tidak cukup.
(Netflix)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar