REVIEW - BALADA SI ROY

3 komentar

Berasal dari seri novel Balada Si Roy karya Gol A Gong yang mengisi awal 90-an, apakah karakter Roy masih relevan di masa kini? Jawabannya "ya" dan "tidak". Semangat anti-stagnasi yang melatari pemberontakan pada kemapanan sistem, keengganan tunduk pada kekangan, jelas masih mewakili wajah anak muda sekarang. Tapi tidak dengan hypermasculinity miliknya, yang memang terkesan "sangat kemarin". 

Semestinya di situlah proses adaptasi berperan memodernisasi produk masa lalu. Naskahnya ditulis oleh Salman Aristo, sementara Fajar Nugros duduk di kursi sutradara. Keduanya amat mengagumi Balada Si Roy. Bahkan menurut Fajar, novel itulah yang memantik keberaniannya pergi dari rumah guna mengadu nasib. Tapi kecintaan itu bak pisau bermata dua. Terutama perihal penulisan, yang terkesan "terlalu sayang" untuk melakukan modifikasi.

Bersama ibunya (Lulu Tobing) yang berprofesi sebagai tukang jahit, Roy (Abidzar Al-Ghifari) pindah ke Serang, meninggalkan kampung halamannya di Bandung. Di SMA barunya, aura bad boy milik Roy, yang tanpa memedulikan aturan membawa anjingnya, Joe, ke sekolah, segera menjadikannya idola. Gadis-gadis histeris. Beberapa di antaranya adalah Wiwik (Zulfa Maharani) dan Ani (Febby Rastanty). Kelak datang siswi baru bernama Dewi (Sitha Marino) yang turut menjalin kedekatan dengan Roy, meski arahnya cenderung platonik. Tapi toh Roy berkali-kali merayu Dewi, memanggilnya "manis", terus menggodanya bahkan di kala mabuk. 

Machismo semacam itu telah kehilangan relevansinya. Tapi jika bisa memaklumi, sebenarnya cara Fajar menyalurkan maskulinitas si tokoh utama lewat pengadeganan tidaklah buruk (lain cerita kalau membahas adegan bernuansa "inspiratif" yang kerap berlebihan). Pemakaian musik heavy metal hingga rock dekade lalu terbukti membantu. Di satu titik Roy terlibat konflik dengan Dullah (Bio One), putera "penguasa Serang" sekaligus bos geng Borsalino. Dullah cemburu karena menganggap Roy merebut Ani, sedangkan Roy jengah pada perundungan Dullah. Beberapa kali keduanya beradu fisik, dan Fajar mampu menghadirkan baku hantam hard-hitting yang juga ditunjang kebolehan kedua aktornya melakoni aksi. 

Sebuah sekuen aksi berlatar sunset dan bangkai kapal yang teronggok di pantai menghadirkan kesan megah lewat hasil tangkapan kamera Padri Nadeak selaku sinematografer. Tapi momen tersebut juga jadi titik balik. Sejak itulah keliaran si protagonis turut menular ke naskahnya yang bergerak makin tak terkendali. 

Hubungan Roy dan Ani merenggang karena alasan yang rancu (tetap tak masuk akal walau kemudian penyebabnya diungkap); bersama kedua sahabatnya, Andi (Jourdy Pranata) dan Toni (Omara Esteghlal), Roy membentuk geng RAT untuk melawan Borsalino; Roy meneruskan jejak sang ayah (Ramon Y. Tungka) selaku aktivis sosial sekaligus penulis dengan sudut pandang kritis; Roy terlibat aksi balap liar; Roy terjebak di tengah ancaman supernatural; dan masih banyak lagi. 

Peleburan aneka konflik dengan bermacam genre tersebut sejatinya bukan tanpa maksud. Balada Si Roy coba menggambarkan betapa berwarna hidup si tokoh utama. Di realita, keberadaan peristiwa "gado-gado" itu memang wajar terjadi. Kita pernah terlibat romansa, perkelahian, aktivisme, sampai mistisisme dalam hidup. Tapi haruskah seluruhnya dipaksa memenuhi durasi film yang bahkan tak mencapai dua jam? Ada kesan bahwa untuk menyelesaikan satu konflik, Balada Si Roy melempar subplot baru, yang sekali lagi, memunculkan konflik baru. Beberapa subplot bahkan bisa dijadikan film atau satu musim serial tersendiri. 

Keengganan Salman Aristo memadatkan penceritaan berujung fatal. Film ini membicarakan proses menemukan rumah. Sewaktu konklusinya membahas persoalan itu, meski dibarengi akting mumpuni Lulu Tobing, emosi tetap gagal tersampaikan. Hati Balada Si Roy, yang di luar segala machismo dan gesekan sosial politik sesungguhnya amat intim, dilucuti oleh subplot penuh sesak miliknya. Konon versi teatrikal yang rilis tahun depan bakal dikemas jauh berbeda. Mari kita tunggu.

(JAFF 2022)

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

masih relevan kah dengan Gen Z, hmmmm...

aan mengatakan...

kayaknya film ini juga di setting taon 80 an...

Anonim mengatakan...

Lulu Tobing punya "sesuatu" dlm berolah peran. Mulai dari Negeri 5 Menara sampai 2 Garis Biru, dst. Aktingnya jauh melampaui artis2 "lulusan" sinetron pada umumnya.