REVIEW - THE BIG 4
The Big 4 membawa Timo Tjahjanto merambah genre komedi (tepatnya aksi-komedi) untuk pertama kali. Bukan berarti ia melunak. Sebaliknya, The Big 4 menegaskan citra Timo sebagai sineas yang enggan menahan keliaran idenya.
Pada 2018 Timo merilis kebrutalan bernama The Night Comes for Us. Setahun berselang, ia menduduki posisi produser eksekutif di Hit & Run karya Ody C. Harahap. The Big 4 ibarat peleburan keduanya. Di satu titik tawa kita pecah, lalu tak lama kemudian giliran kepala karakternya yang pecah. Oh, dan Muhammad Irfan yang mengarahkan koreografi bagi dua judul tersebut turut ambil bagian di sini.
Siapa "The Big 4" yang disebut di judulnya? Mereka adalah sekelompok pembunuh bayaran yang khusus menghabisi nyawa penjahat. Topan (Abimana Aryasatya) selaku figur pemimpin, Alpha (Lutesha) si penggila ledakan dengan sindrom tourette, Jenggo (Arie Kriting) si penembak jitu yang terobsis pada hal-hal spritual, dan Pelor (Kristo Immanuel) yang masih belajar cara menjadi pembunuh.
Keempatnya beroperasi di bawah arahan Petrus (Budi Ros), yang juga membesarkan mereka layaknya seorang ayah. Petrus punya puteri kandung. Dina (Putri Marino) namanya. Ironisnya, Dina yang tidak tahu profesi sang ayah justru merupakan anggota kepolisian. Sampai pria misterius bernama Antonio (Marthino Lio) muncul dan mempertemukan jalan Dina dengan the big 4.
Film ini berhasil karena sebagai komedi-aksi, ia benar-benar mengawinkan kedua genrenya. Aksinya brutal. Sangat brutal. Darah di mana-mana, ledakan bukan cuma menghasilkan kepulan asap tapi juga menghancurkan tubuh manusia, lesatan peluru pun meremukkan kepala yang dapat kita lihat detailnya. Tapi ini bukan The Night Comes for Us. Sederet kebrutalan tadi bukan pemandangan mencekam. Naskah buatan Timo bersama Johanna Wattimena (dwilogi Teman Tapi Menikah) menjadikannya parade humor gelap.
Durasi filmnya 141 menit. Tentu ada dampak dari beberapa adegan yang bergulir lebih panjang dari kebutuhan, lelucon tak perlu, dan lain-lain, tapi lamanya durasi juga bentuk upaya Timo memaksimalkan sumber daya, selaku film orisinal Netflix. Sewaktu Russo Brothers menyia-nyiakan 200 juta dollar di The Gray Man, Timo (dengan biaya yang tentu jauh di bawah angka itu namun tergolong besar untuk produksi Indonesia) sebaliknya. The Big 4 tampak masif.
Bukan asal masif, bukan asal mewah, pula dibarengi craftmanship yang mumpuni. Pacing dinamis membuat dua setengah jam berlalu begitu saja, sementara perpaduan penyutradaraan Timo, tata kamera Batara Goempar (Sebelum Iblis Menjemput, Posesif, Before, Now & Then), serta koreografi dari Muhammad Irfan, melahirkan aksi yang tak cuma bergantung pada kekerasan. Variasinya kaya, dengan referensi membentang dari baku hantam komedik ala Jackie Chan hingga gun fu khas John Woo. Klimaks berlatar lorong sebuah rumah yang mempertemukan Topan dan Antonio tampil bak tribute ke The Raid.
Keliaran Timo juga menular ke jajaran pemainnya. Hampir seluruh cast dibebani tuntutan menyeimbangkan dua jenis performa. Meyakinkan kala melakoni adegan laga, juga menggila saat dipertemukan dengan komedi.
Empat nama tampil menonjol. Abimana bersenjatakan karisma yang membuat kalimat "Orang mati nggak usah banyak tanya" terdengar badass, sambil sesekali mengumbar kekonyolan yang terakhir ia tampilkan kala memerankan Dono; Putri Marino yang akan mengubah cara kita memandang nama "Nenek Gayung"; Marthino Lio sebagai antagonis eksentrik; dan tentunya Lutesha si langganan MVP sinema Indonesia, yang bakal membuat penonton terngiang-ngiang pada lagu Duyung Senja (mengingatkan ke Bukan Taman Safari milik Hit & Run).
(Netflix)
19 komentar :
Comment Page:Dan jgn lupakan parody sebelum iblis menjemput nya, bikib ngakak π
untuk sebuah action jelas berhasil, tapi buat komedi gak tau agak miss aja di gue. Satu-satunya scene lucu menurut gue cuma pas Abimana pengen meluk Lutesha, tapi Luteshanya ogah, jadinya dia meluk Arie Kriting. Itu klasik bgt sihh wkwkkw
Apakah dengan ini putri kebali meraih piala citra
Suuuutoooooooo
halo mas rasyid.. saya pengikut lama blog mas, selalu suka sm tulisannya.. saya lg kuliah film mas dan saya tau mas rasyid fans berat film" korea... boleh kah sy minta tolong dibuatkan list rekomendasi film" korea terbaik menurut mas rasyid?? saya butuh sebanyak mungkin film utk saya pelajari mas dan sy mau dapet rekomendasi dari org yg memang paham korea dan org yg saya kagumi perspektifnya... mungkin bisa per genre, atau terserah mas rasyid.. mungkin mas rasyid dengan buat list itu bs sekalian flashback ttg perjalanan awal mas rasyid ngikutin korea sampai hari ini, smacem kaleidoskop... bantuan mas rasyid akan sangat berguna bagi saya... terima kasih sebelumnya mas, keep on reviewing!
terima kasih sebelumnya mas rasyid, keep on reviewing!
Sorry to say, tapi buat gw film nya cringe. Banyak dialog yg tujuannya ngelucu tapi banyak yg miss. Cerita nya gitu aja, gw kira bakal ada kejutan di akhir. Eh ternyata gitu doang.
Kayak Tarantino gk sih mas timo nih...
Ga tayang di bioskop ya?
Yang scene apa ini? Ga nyadar
Action dan pengambilan gambar film ini oke, kelemahan film ini dan kebanyakan film indonesia lainnya ada di dialognya yang kurang natural sehingga membuat saya dan istri saya mengerutkan dahi dan saling bertatap mata dan sambil batin "apasih.." . Film indonesia yang menurut saya terbaik dari sisi dialog adalah si "5 cm".
film jelek banget
nggak banget film the big 4, untungnya nggak masuk bioskop, cuma abisin waktu aja cringe
bagus kalau buat film horror thriller aja deh
salah satu film terburuk tapi banyak di tonton
Setuju,,gimana yaa,,komedinya garing karena dialog nya ada beberapa yang kurang natural,,kenapa banyak yang suka yaa,,saya gagal paham
Pas dina kesurupan lol
Sini..sini.....surantooooooo yang suka main tusuk tusukan π
Si anjir dri dialog 5 cm jauh lebih kaku & berasa bgt buatannya π
Posting Komentar