REVIEW - PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

20 komentar

Semua pernak-pernik tentang film ini terkesan sensasional. Baik kata "betina" di judul yang memancing perdebatan, maupun rating usia 21+ yang alih-alih coba dihindari justru jadi materi promosi. Seluruhnya sensasional, kecuali satu hal: filmnya sendiri. 

Para Betina Pengikut Iblis ingin tampil gila. Darah ditumpahkan, isi perut bertebaran, tapi Rako Prijanto, yang baru bulan lalu mengawali debutnya menyutradarai horor lewat Bayi Ajaib, melupakan hal penting. Keseruan film gore (entah slasher, torture porn, atau subgenre eksploitasi lain) berasal dari proses penjagalannya, bukan sebatas jeroan yang dipamerkan bak di etalase toko daging. 

Belum apa-apa filmnya langsung ngebut saat memperlihatkan Sumi (Mawar de Jongh) yang meminta dokter Freedman (Hans de Kraker) memeriksa luka di kaki Karto (Derry Oktami), ayahnya. Belum sampai lima menit durasi berjalan, Para Betina Pengikut Iblis sudah berusaha menepati janji yang dibawa rating usianya, dengan mengamputasi kaki Karto. 

Kemudian ada Sari (Hanggini), mantan dukun santet yang ingin mencari dalang di balik kematian tragis adiknya. Siapa Sumi? Kenapa kaki ayahnya terluka sedemikian parah? Apa alasan Sari berhenti menjadi dukun? Film ini seolah memotong banyak porsi first act yang umumnya jadi sarana penonton mengenali tokoh-tokohnya. 

Perlu waktu agar terbiasa dengan cara tuturnya, sebagaimana kita perlu waktu untuk membiasakan diri pada gaya akting jajaran pemainnya. Mawar sebagai Sumi yang canggung, juga Hanggini sebagai Sari yang penuh amarah, tampil over-the-top. Serba berlebih, tanpa menyisakan ruang bagi kesubtilan. Bukan berarti buruk, karena memang suatu kesengajaan.

Para Betina Pengikut Iblis didesain sebagai tontonan yang mereplikasi estetika horor lokal lawas, termasuk di pemilihan latar dan departemen akting. Mawar dan Hanggini cocok dengan tujuan itu. Terutama Hanggini yang mengingatkan ke barisan karakter dukun antagonis dari era 80-an. 

Jika kedua aktrisnya berakting over-the-top namun tetap sesuai dengan nuansa serius filmnya, lain cerita dengan Adipati Dolken selaku pemeran sosok iblis. Dia konyol. Seperti mahasiswa tahun pertama yang iseng-iseng menjajal kegiatan teater di kampusnya. Ketimbang tawa maniak ala antagonis b-movie, Adipati membawa interpretasi lain yang terdengar seperti pengidap asma akut. Tawa yang juga membuat seisi studio ikut tertawa. Penampilannya semakin menonjol (in a bad way) sebab tiap kemunculannya diiringi tempo yang berlarut-larut. Baik tempo Adipati melafalkan kalimat, atau pengadeganan Rako. 

Kembali soal replikasi estetika masa lalu, filmnya banyak dihiasi oleh pemandangan ganjil. Sebutlah keberadaan mesin pendingin di area tanpa listrik. Tentu bahasa filmis beda dengan realita. Sineas bebas bereksplorasi khususnya di film tanpa kepastian latar tempat dan waktu seperti Para Betina Pengikut Iblis. Ketidaksesuaian era maupun logika bisa dijustifikasi asalkan mengatrol sebuah elemen, misal mempercantik visual. Tapi keganjilan film ini tak memberi dampak apa pun. Bahkan semakin ganjil bila menilik niatan filmnya mereplikasi era 80-an. 

Bagaimana dengan gore yang jadi jualan utamanya? Seperti telah saya sebutkan, barisan kekerasannya seperti etalase belaka. Walau darah bisa kita lihat, aksi kekerasan (sayatan parang, tusukan pisau, dll.) yang menumpahkannya lebih banyak terjadi secara off-screen. Pengadeganan Rako pun terlampau datar untuk bisa memunculkan keseruan. Dia bagai asal merekam darah mengalir dan tumpukan organ. Sekali lagi, seperti video etalase toko daging. 

Naskah yang ditulis Rako bersama Anggoro Saronto punya satu poin positif. Film ini nihil pijakan moral. Semua karakternya, entah menjadi pengikut iblis atau tidak, sama-sama buruk. Mereka melakukan bentuk kekejaman yang berbeda-beda. Sayangnya secercah harapan itu seketika musnah saat di paruh akhir, naskahnya menjelaskan twist yang sejatinya sederhana dengan sangat semrawut, sebelum tiba-tiba menutup film dengan kalimat sakti "TO BE CONTINUED". 

Penderitaan masih akan berlanjut. 

20 komentar :

Comment Page:
rian mengatakan...

Padahal penulis naskah nya punya track record sebagai pemenang FFI ya bisa sampai nulis naskah sejelek ini.

Anonim mengatakan...

Setuju dengan reviewnya. Filmnya mengecewakan. Bahkan setelah diliat kembali trailernya, mungkin ada sekitar 6 scene yang dicut.

full of mind vomitting mengatakan...

TERIMA KASIH BANG REVIEWNYA!!!

vian mengatakan...

Tadinya mau nonton krn liat review di website lain rate-nya lumayan, tapi pas tau banyak adegan gore nya ga jadi 😅.

Tapi ga nyangka trnyata d sni rate nya jelek.

Anonim mengatakan...

anjirrrr banget mawar de jongs artis serba bisa masa depan terbaik dengan karakter yang kuat dan sengak pesakitan

kita jarang memiliki artis talenta kuat yang bisa bermain semua karakter seperti didi petet dan reza rahadian

Anonim mengatakan...

Posternya aja sudah bikin ketawa+gak meyakinkan gitu

Anonim mengatakan...

Di Cinecrib lagi rame tuh...

Anonim mengatakan...

CULT CLASSIC MOVIE BEST EVER

Anonim mengatakan...

Trus, para JANTAN jadi pengikut siapa donk???

Anonim mengatakan...

please banget, ini bukan film horror, catat & ingat itu...ini film komedi, gue aja ngakak ketawa nonton film "para betina pengikut iblis" di layar bioskop, bangga dengan film indonesia

Scott Temple Weiland mengatakan...

Review film infinity pool bang

Anonim mengatakan...

Nah itu... Keren banget adegan menyusuinya...

Anonim mengatakan...

film horror indonesia semakin bisa di percaya untuk menandingi keganasan film hollywood yang menguasai layar bioskop di indonesia

Adi Darmawan mengatakan...

Setuju gue sama komentar penulis, gore itu mengacu pada proses penjagalan, bukan tumpukan potongan tubuh yang dipajang di etalase. Gw sih lebih suka film bayi ajaib. thanks untuk reviewnya, oh ya jangan lupa mampir ya ke blog gw kita ngobrol santai lewat chat box, perjamuankhongguan.blogspot.com.

Anonim mengatakan...

Dokternya aja masih dokter Belanda, tapi Rumah di desa terpencil tak berlistrik sudah punya freezer ala restoran seafood. Dukun di desa itupun rambutnya ngepop bener lengkap dg poni. Semua elemen bersatu layaknya benang kusut gara2 sutradara yg nggampangin & meremehkan daya kritis penonton dalam berlogika.

Anonim mengatakan...

salah satu film di ingat sepanjang masa yang akan selalu menjadi catatan khusus perjalanan film indonesia

Anonim mengatakan...

film keren yang berani memanipulasi tempat, waktu, tehnologi dan kejadian

Anonim mengatakan...

"Alaaaahh, penonton juga gak bakal ngeh kok!" pasti sering dilontarkan di sela-sela syuting film ini

Anonim mengatakan...

film timeline yang ngaco dan wajib di tonton

Anonim mengatakan...

film drama timeline terbaik yang di miliki film indonesia