REVIEW - RIDE ON

8 komentar

Jackie Chan baru saja menginjak 69 tahun pada 7 April lalu, bertepatan dengan perilisan Ride On di Cina. Fisiknya masih prima untuk ukuran pria setua itu, tapi jelas tak lagi selincah dan segila dulu dalam beraksi. Cepat atau lambat bakal ada film yang dibuat selaku penghormataan bagi perjalanan karirnya. Ride On adalah film tersebut. 

Tapi karya terbaru sutradara Larry Yang ini bukan saja surat cinta untuk sang aktor laga. Sekali lagi, cepat atau lambat akan ada yang memberi penghormatan terhadap Jackie Chan, entah dari Larry Yang atau sineas lain. Sosoknya begitu melegenda sebagai bintang. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak tersorot cahaya ketenaran?

Di sini Jackie Chan memerankan Lau Luo, seorang stuntperson yang era keemasannya telah lewat seiring pertambahan usia. Dia pun memelihara seekor stunt horse bernama Red Hare. Luo menganggap Red Hare bak anak, di saat hubungannya dengan sang puteri kandung, Xiao Bao (Liu Haocun), merenggang. Bao merasa ayahnya terlalu menenggelamkan diri dalam profesi sehingga lalai meluangkan waktu baginya. 

Naskah yang turut ditulis oleh Yang masih melangkah di formula drama keluarga, juga cerita soal hubungan manusia-hewan. Jangan harap menemukan banyak modifikasi. Pengadeganan sang sutradara pun mengikuti pakem standar melodrama. Karakternya menangis di momen dramatis, diiringi musik mendayu-dayu, dan terkadang ditambah gerak lambat. 

Klise? Ya. Buruk? Belum tentu. Sebuah gaya menjadi klise karena dirasa efektif sehingga terus-terusan diterapkan. Dramatisasi Ride On memang serba berlebihan, namun tak jarang pendekatan itu ampuh membangun rasa. Larry Yang pun cukup jeli menjembatani emosi penonton dengan Red Hare. Mustahil bagi orang awam memahami apa yang si kuda pikirkan dan rasakan, tapi melalui ketepatan pilihan shot, penonton bisa dibuat meyakini bahwa Red Mare merupakan karakter yang utuh, lengkap dengan emosi layaknya karakter manusia. 

Jackie Chan dan Liou Haocun turut tampil apik. Terutama saat dua protagonisnya menonton rekaman aksi Luo sebagai stuntperson di masa jayanya, yang tersusun atas kompilasi adegan-adegan ikonik dari film-film Jackie Chan. Rasa haru yang dimunculkan Chan nampak nyata di situ. Mungkin ia sendiri ikut mengenang memori-memori dari karirnya yang telah berjalan lebih dari enam dekade. 

Sebagai drama keluarga, Ride On memang formulaik. Penuturannya juga terbata-bata. Alur kerap melompat dengan kasar, begitu pula transisi rasa. Misal saat Luo dan Bao baru saja berbagi momen hangat di sebuah makan malam, lalu mendadak bertengkar. Sebuah pertengkaran besar tanpa gradasi emosi memadai. Amarah Bao tiba-tiba memuncak, Luo pun tiba-tiba menjadi sosok ayah yang berengsek. 

Tapi sebagai surat cinta kepada stunt performer, baik manusia atau kuda, filmnya mampu menawarkan sudut pandang menarik. Luo adalah stuntperson dengan pola pikir konservatif. Baginya, semua aksi harus dilakukan secara sungguhan. Luka parah bahkan kelumpuhan adalah takdir yang mau tidak mau harus dihadapi. Sebuah risiko pekerjaan. 

Ride On tidak menyalahkan perspektif di atas. Biar bagaimanapun, efek praktikal termasuk keterlibatan stuntperson memang membuat suatu film tampil imersif. Karir Jackie Chan adalah bukti nyata. Tapi di sisi lain, teknologi modern seperti CGI jangan pula dimusuhi. Ketergantungan terhadapnya memang membahayakan bagi kualitas film, namun bantuan komputer juga berguna mengurangi risiko yang bisa membahayakan keselamatan stuntperson (atau hewan). 

Larry Yang menerapkan prinsip serupa saat mengarahkan film ini. Laga yang disuguhkan menggabungkan stunt tradisional dan CGI. Secara garis besar, baku hantamnya masih "sangat Jackie Chan", di mana segala benda dapat dijadikan senjata, sarat gerakan akrobatik, serta dibumbui komedi. Hasilnya tentu tidak semulus karya-karya terbaik Jackie Chan. Trik penyuntingan lebih banyak dipakai. Tapi ketimbang penurunan, saya lebih suka memandangnya sebagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Kita tetap berkesempatan melihat Jackie Chan beraksi, sedangkan sang aktor yang mulai dimakan usia tak lagi harus bertaruh nyawa (senada dengan pesan filmnya). 

Ride On meninggalkan setumpuk kekurangan, tapi minimal ia berhasil mengingatkan penonton akan eksistensi stuntperson yang kerap terlupakan. Mereka takkan kita temui di karya-karya "berkelas" buatan Tarkovsky, Ozu, atau Kiarostami, tapi mereka adalah bagian ekosistem sinema dengan peranan luar biasa. 

8 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

saya sudah nonton di bioskop : drama khas jacky chan, farawell to the king of stuntman

Anonim mengatakan...

cielah yang baru tahu Tarkovsky sama Ozu. Ke mane aje lu

Anonim mengatakan...

lu punya masalah apa sih gan. sebegitu ga sukanya sama penulis, sampe nyampah aja kerjaan lu.

Anonim mengatakan...

kemarin malam nonton film ride on, keren dan drama yang menyentuh...kuda nya lucu dan komikal

Satriya Widayanto mengatakan...

review 65 gak Bang?

Anonim mengatakan...

ride on film keluargaπŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Anonim mengatakan...

"Sebuah pertengkaran besar tanpa gradasi emosi memadai"
(Rasyid Harry)

Anonim mengatakan...

Baru nonton ini πŸ˜‚

Ada scene dimana anaknya JC minta kontark terus berlanjut ke scene dimana JC jadi aktor. Pas ngeliat pakaiannya JC keinget film2 lama dia yang pakaiannya sama persis kayak di Armour of God. Scene kecil tapi nostalgia banget.