REVIEW - BUYA HAMKA: VOL. 1

15 komentar

Berstatus pembuka dari tiga bagian Buya Hamka yang bakal dirilis bertahap sepanjang tahun 2023, film ini kemungkinan jadi installment paling berisiko, walau berskala terkecil. Jika volume kedua menyoroti konflik pasca kemerdekaan termasuk karir politik Hamka, sedangkan volume ketiga selaku prekuel mengetengahkan proses coming-of-age, maka volume pertama bertujuan membangun penokohan seorang Buya Hamka.

Kisahnya bermula di tahun 1933, ketika Hamka (Vino G. Bastian) dan sang istri, Siti Raham (Laudya Cynthia Bella), menetap di Makassar. Hamka berusaha memajukan Muhammadiyah di sana, sembari menulis beberapa roman, termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. 

Kenapa seorang kiai menulis roman alih-alih buku tentang agama? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi pondasi filmnya. Hamka (yang merupakan nama pena, sebuah akronim dari nama aslinya, "H. Abdul Malik Karim Amrullah") paham betapa roman digemari masyarakat luas, sehingga ia memilih berdakwah melalui jalur tersebut. Apa guna dakwah jika sukar diterima orang awam dan hanya bisa menggaet kalangan tertentu? "Hamka bukan ulama kolot", demikian kira-kira poin utama filmnya. 

Hasilnya adalah karakter yang dapat memunculkan rasa hormat, bahkan oleh penonton yang belum mengenal sosok Hamka, atau golongan "kurang religius" seperti saya. "Tidak usah mengharamkan apa yang seharusnya tidak haram", ucap Hamka mengomentari perihal umat Islam memakai jas yang kerap dianggap "pakaian kafir". 

Hamka teguh dalam berprinsip, namun tidak kaku. Terlihat saat ia hendak dibayar seusai berdakwah. Awalnya Hamka menolak karena enggan menjadikan dakwah sebagai lahan memanen rupiah, sebelum akhirnya menerima (dengan balik memberikan buku) agar bisa menafkahi keluarga. Memegang idealisme bukan berarti egois.  

Tapi seperti sempat saya singgung di paragraf pembuka, Buya Hamka: Vol. 1 lumayan berisiko. Pasalnya, Fajar Bustomi selaku sutradara, cenderung bertutur secara lirih. Bukannya tanpa maksud. Cara itu dipakai untuk membangun keintiman. Kita pun lebih sering diajak mengunjungi ruang kerja Hamka di rumah, melihatnya berinteraksi dengan Siti Raham, di mana keduanya saling berbagi pemikiran serta kegundahan. 

Ada kalanya muncul kesan syahdu, tapi acap kali filmnya terasa melelahkan, karena pendekatan tersebut luput didukung oleh naskah yang jeli mengolah dinamika. Walau cerdik menyusun penokohan, naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Massardi nampak terbebani keharusan merangkum perjalanan hidup Hamka (penyakit khas biopic). Akibatnya beberapa titik seperti cuplikan sejarah singkat yang tampil sambil lalu tanpa eksplorasi. 

Padahal eksplorasi itulah yang berpotensi jadi daya tarik alurnya. Bagaimana Hamka melancarkan ibadah para muslim melalui relasinya dengan Gubernur Nakashima (Ferry Salim)? Ilmu apa yang Hamka pelajari dari ayahnya, Haji Rasul (Donny Damara) sebelum menulis buku? Hal-hal menarik tersebut malah tidak disorot. 

Sebaliknya, saya justru menikmati cara naskahnya membagi cerita ke dalam tiga film. Penulisannya kentara sudah didesain demikian sejak awal, termasuk urutan latar waktunya (volume 3-1-2). Kadang naskahnya sedikit membahas peristiwa yang sudah terjadi dalam hidup Hamka, namun baru akan kita saksikan di volume ketiga selaku prekuel. Misal tentang gadis bernama Kulsum (Mawar de Jongh) yang Hamka kenal di kapal. Alhasil, muncul kesan bahwa trilogi ini saling mengisi guna membentuk sebuah perjalanan yang utuh.  

Di luar penceritaan, satu departemen yang paling ditunggu (sekaligus dijadikan materi promosi) tentu saja tata rias. Bukan cuma Vino, Laudya Cynthia Bella dan Donny Damara pun "dituakan". Secara tampilan hasilnya patut mendapat pujian, meski tanda tanya tentang apakah prostetik itu membatasi ekspresi aktor masih perlu menunggu hasil di volume kedua untuk memperoleh jawaban pasti. Jika tak memedulikan persoalan tata rias, akting pemainnya memuaskan. Ada kepuasan saat mengingat bahwa Buya Hamka, salah satu ulama terbesar Indonesia, diperankan dengan baik oleh aktor yang angkat nama sebagai pemuda pemberontak yang gemar bertelanjang dada di Realita, Cinta, dan Rock 'n Roll (2006). 

15 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Gak yakin bisa kuat lawan sewu dino sama khanzab, paling mentok di angka 500-700rb penonton

Anonim mengatakan...

horror kolor menguasai layar bioskop yang penting untung, film buya hamka bagus, nonton dong

Fradita Wanda Sari mengatakan...

Mantap kalimat terakhirnya mas ^^ Sebuah trivia terutama yg suka film Indonesia era 2000an ke atas seperti saya hehe.

Anonim mengatakan...

buya hamka film bagus layak untuk di tonton

Anonim mengatakan...

sambil menunggu film Guardians of the Galaxy Vol. 3 : Peter Quill is dead, mari kita nonton buya hamka

Anonim mengatakan...

males banget, ngantuk...

Anonim mengatakan...

Ternyata maksud dari golongan "kurang religius" itu, terjawab setelah baca review ini

Anonim mengatakan...

3 bintang nih mas? 3.5 kali wkwk, di cine crib bang rasyid kan kasih 7.5/10 😃

Anonim mengatakan...

nyaris batal nonton karena jam pertamanya mepet sama zuhur, Thank goodness ada cinepolis yang jam nya lebih ramah (12.40)
Setuju sama reviewnya. di tengah sedikit melelahkan tapi semua terbayarkan sama akting vino yang keren (sori wiro yg cringe) dan tata produksinya yang top abis.
Gak sabar nunggu volume lanjutannya.

Anonim mengatakan...

marathon nonton film indonesia adalah pecinta film indonesia di layar bioskop

Anonim mengatakan...

tembus 1 juta penonton...

Anonim mengatakan...

libur panjang banget sampai 1 mei adalah berkah bioskop di serbu penonton

Anonim mengatakan...

dialog dialek bahasa daerah ini baru benar tidak tanggung tanggung nggak seperti film horror sebelah

Anonim mengatakan...

tembus 1 juta penonton sebelum hilang di telan guardian of galaxy volume 3

Anonim mengatakan...

Well udah satu juta penonton 🤪🤪🤪