REVIEW - TETRIS
Bagaimana bisa menyusun keping-keping geometri terasa adiktif bahkan menegangkan saat dimainkan? Begitulah Tetris, dan film garapan Jon S. Baird (Filth, Stan & Ollie) yang menyoroti perebutan lisensi permainan ciptaan Alexey Pajitnov tersebut dibuat dengan prinsip serupa. Bagaimana bisa sebuah film biografi bergerak seseru suguhan thriller?
Tetris bukan biopic atau film historis pertama yang mendobrak pakem konvensional. Jauh dari itu. Tapi ia bukan Argo (2012) yang basis ceritanya memang kental unsur spionase. Tetris adalah intrik bisnis. serta legalitas. Sama seperti permainannya, kisah film ini "semestinya" membosankan.
Alkisah, pengembang gim bernama Henk Rogers (Taron Egerton) menemukan Tetris buatan Alexey Pajitnov (Nikita Efremov). Seketika ia yakin Tetris bakal sukses besar dan menyelamatkan bisnisnya yang di ujung tanduk. Henk yang tinggal di Jepang bersama sang istri, Akemi (Ayane Nagabuchi), yang juga CFO perusahaannya, coba mengamankan lisensi permainan itu, baik untuk arcade, konsol, dan nantinya handheld.
Alurnya dibagi ke dalam babak-babak yang dinamai "Level 1", "Level 2", dan seterusnya. Seolah khawatir penonton akan lupa kalau filmnya membicarakan tentang gim. Beberapa level awal mempertemukan Henk dengan banyak pihak, dari perwakilan Nintendo, sampai Mirrorsoft yang dipunyai Robert Maxwell (Roger Allam) dan puteranya, Kevin (Anthony Boyle). Ada pula Robert Stein (Toby Jones) yang memegang lisensi Tetris.
Sampai di sini, garis besar kisahnya masih berpijak pada realita, namun kemasan naskah buatan Noah Pink, juga pengarahan Baird, menekankan pada daya hibur. Temponya cepat, mungkin sedikit terlalu cepat sampai terkadang penonton tak diberi cukup ruang meresapi rasa maupun informasi yang kisahnya tawarkan. Tapi itu bukan masalah besar, sebab alih-alih biopic konvensional yang merangkum detail riwayat hidup tokohnya bak buku sejarah, Tetris ingin menjadi hiburan ringan.
Memasuki pertengahan durasi, Henk menginjakkan kaki di Uni Soviet yang tengah memanas (Pernyataan "communism is dying" bakal sering terdengar) guna mendapatkan lisensi handheld bagi Tetris. Kedatangan Henk tidak disambut baik oleh pemerintah setempat, termasuk Valentin Trifonov (Igor Grabuzov) selaku menteri luar negeri.
Henk juga menemui Alexey, bahkan akhirnya berteman akrab. Esensi permainan Tetris adalah soal "menghancurkan", dan itu pula yang karakternya lakukan. Henk dengan tembok-tembok kecurangan yang menghalangi bisnisnya, Alexey dengan ketidakadilan para pemegang kekuasaan yang mencekik rakyat. Apabila pemain Tetris meruntuhkan tumpukan tetromino, maka protagonis film ini meruntuhkan korupsi.
Dari situ Tetris melaju bak thriller spionase, dengan cara menambahkan bumbu berupa sentuhan fiksi. Pada kenyataannya tidak ada ancaman dari Trifonov (Walau pemerintahan Mikhail Gorbachev memang benar-benar melakukan pengawasan), dan tentu saja tidak ada kejar-kejaran mobil di klimaks. Bumbu-bumbu itu efektif menyulap negosiasi bisnis yang di atas kertas terdengar membosankan jadi suatu tontonan menegangkan.
Ringan, kental selipan humor, pun semakin menyenangkan berkat iringan musiknya. Lorne Balfe mampu mengadaptasi Korobeiniki alias lagu tema Tetris jadi musik yang dapat menemani aneka situasi, sedangkan penggunaan lagi The Final Countdown makin menegaskan tone seperti apa yang para pembuat filmnya ingin munculkan.
Upaya membuat filmnya tampil menyenangkan tidak selalu berhasil. Pemakaian estetika ala video game memang menambah variasi visual, tapi ada kalanya Tetris berusaha terlalu keras. Efek suara yang sempat terdengar saat Henk berjalan, hingga gaya piksel yang menghiasi sekuen kejar-kejaran mobilnya, terasa dipaksakan. Setidaknya kekurangan itu dipicu oleh usaha untuk menjauh dari formula biografi Hollywood yang semakin usang.
(Apple TV+)
2 komentar :
Comment Page:Film ini lumayan seru. Nggak nyangka kalau bisnis game konsol bisa membuat satu Rusia ketar ketir
lucuuuuu bangettttt, kakak,,,,,ini film wajib di tonton, skenario dan alur pergerakan cepat sekali tanpa basa basi
Posting Komentar