REVIEW - THE LITTLE MERMAID

16 komentar

Menonton The Little Mermaid kerap memancing rasa frustrasi. Bukan karena buruk. Sebaliknya, ia salah satu adaptasi/remake live-action untuk animasi Disney yang paling solid dalam beberapa tahun terakhir. Masalah terletak pada konsistensi. Sepanjang 135 menit durasi, ada kalanya saya dibuat berujar "Wow! Luar biasa!", lalu tidak lama kemudian bergumam "Apa yang pembuatnya pikirkan?".

Secara pola, alurnya masih serupa. Pembukanya pun kembali diisi oleh aktivitas kru kapal Eric (Jonah Hauer-King) si pangeran. Tapi jika di versi animasi mereka menyanyikan puja-puji bagi Raja Triton (Javier Bardem), kali ini umat manusia juga memasang sikap bermusuhan pada makhluk laut. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa istri si raja lautan tewas di tangan manusia. Sebuah poin yang sempat muncul di The Little Mermaid: Ariel's Beginning, prekuel direct-to-video dari film orisinalnya. 

Alhasil motivasi di balik larangan Raja Triton supaya si puteri bungsu, Ariel (Halle Bailey), tidak bersinggungan dengan "dunia atas" jadi lebih kokoh. Apakah itu membuat Ariel mengindahkan perintah sang ayah? Tentu tidak. Ditemani Flounder (Jacob Tremblay), Sebastian (Daveed Diggs), dan Scuttle (Awkwafina), ia tetap nekat mengoleksi barang-barang manusia.

Sisanya seperti yang sudah kita tahu bersama, Ariel jatuh cinta pada Eric, kemudian termakan bujuk rayu Ursula (Melissa McCarthy) si penyihir laut yang berjanji mengubahnya menjadi manusia. Sekali lagi, secara pola, naskah buatan David Magee (Finding Neverland, Life of Pi, Mary Poppins Returns) masih setia pada animasinya. 

Bukannya 100% sama. Modifikasi dilakukan di beberapa titik dengan hasil berlainan. Menambahkan karakter Ratu Selina (Norma Dumezweni) sebagai ibu angkat Eric membuat dunianya semakin utuh. Sebaliknya, menjadikan Ursula dan King Triton sebagai saudara, meski berpotensi menambah dinamika emosi, berujung percuma akibat nihil eksplorasi, alias sebatas pernak-pernik belaka.

Inkonsistensi macam itu yang saya maksud. Menambah durasi sekitar 50 menit menghilangkan kesan buru-buru yang muncul di animasinya, tapi di saat bersamaan menambah peluang hadirnya kebosanan. 

Begitu pula di departemen lain. The Little Mermaid menampilkan banyak visual memukau. Lupakan sejenak persoalan desain hewan-hewan yang terlampau realistis hingga terkadang melucuti dampak emosi, semisal perkataan "You are hopeless, child" dari Sebastian yang kehilangan kehangatannya. Melihat jubah ikan Raja Triton, atau sapuan ekor Ariel, adalah keindahan lautan yang memenuhi harapan akan "live-action 200 juta dollar buatan Disney". 

Sebaliknya, di nomor Under the Sea yang diniati jadi kemeriahan musikal warna-warni ketika seluruh hewan laut bernyanyi malah nampak bak video klip murahan. Selain disebabkan CGI buruk, pengarahan Rob Marshall (Chicago, Memoirs of Geisha, Mary Poppins Returns) seolah kehilangan kepekaan visual yang ia tunjukkan di sekuen Kiss the Girl yang manis (penambahan ucapan "written in the stars" oleh Magee mampu menguatkan romantisme). 

Membicarakan lagu, judul-judul baru gubahan Lin-Manuel Miranda pun terjangkit permasalahan serupa. Sewaktu The Scuttlebutt adalah nomor rap yang menggelitik sekaligus unik, maka Wild Uncharted Waters menawarkan keklisean membosankan, di mana pengadeganan miskin kreativitas dari Marshall sama sekali tidak membantu. 

Adakah departemen di The Little Mermaid yang lolos dari inkonsistensi? Akting. Melissa McCarthy melahirkan villain yang cukup intimidatif, Awkwafina mencuri perhatian melalui isian suaranya, sedangkan tanpa penghantaran penuh rasa dari Javier Bardem, babak konklusi yang menekankan pentingnya mendengarkan "suara" milik mereka yang terbungkam takkan semenyentuh itu.  

Tapi The Little Mermaid merupakan panggungnya Halle Bailey. Kita tahu dia bisa bernyanyi (ingat, Bailey punya lima nominasi Grammy). Tapi musikal tidak hanya tentang kemerduan suara. Tanpa penyaluran emosi yang baik, pula gestur serta ekspresi yang hidup, sebuah musikal bakal mati. Bailey memenuhi segalanya. Dihadirkannya realisme, tanpa lupa kalau sedang menjadi sentral suatu dongeng fantasi. Momen terbaiknya adalah di penutup lagu Part of Your World. Getaran emosi sang aktris memancarkan sinar terang yang menghapus kabut kelam bernama "inkonsistensi" tadi. 

16 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Duyung ireng..skip

Anonim mengatakan...

luar biasa film untuk semua umur ini bagus banget sampai nggak sadar ini film porno pelecehan wanita tampilkan bugil pakai beha puser kemana mana
*
semua umur...INI FILM DEWASA...17 tahun ke atas

Anonim mengatakan...

film lgbt+ lagi marak produk disney termasuk film ini...mantap

Anonim mengatakan...

Wong stress.

Anonim mengatakan...

Les poissons kga ada parah sih

iambayuanggoro mengatakan...

Gila rasisnya. Minta foto lu dong emg lu seputih apa

Alvi mengatakan...

Poin menarik

Anonim mengatakan...

Gw udah 2x nonton... Lucu sih...

Anonim mengatakan...

bagus banget ini film lihat pakai beha puser kemana mana apalagi saya nonton film 3D pakai kacamata di layar bioskop

Anonim mengatakan...

Ini orang yg sama bersahut2an dg dirinya sendiri. Yg penting eksis di kolom komen

Bray wyatt mengatakan...

Its ok bro...itu opini dia...semua orang bebas berpendapat...
Lu aja blum tentu mau kan klo punya presiden dari kaum sipit

Anonim mengatakan...

nontonlah di bioskop, komentar kemudian...

Anonim mengatakan...

stuju

Anonim mengatakan...

kasihan para bocil nonton film ini...

Anonim mengatakan...

banyak request pengen minta cosplay pakai baju putri duyung ariel jaman now...whattttt

Anonim mengatakan...

film drama musikal fantasy penuh kehangatan, bagus...