REVIEW - HARI INI AKAN KITA CERITAKAN NANTI
Seri Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini punya gagasan sederhana tetapi efektif dalam hal pengembangan waralaba: Semua individu punya sesuatu untuk diceritakan. Sekuel, prekuel, hingga spin-off, dapat berangkat dari konsep tersebut, dan Visinema telah melakukannya. Perihal seremeh apa pun patut diceritakan, tinggal bagaimana si pembuat film meyakinkan penonton bahwa kisahnya memiliki urgensi dan bukan eksis hanya sebagai medium pengeruk keuntungan.
Beberapa bulan lalu Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang melakukan pekerjaan di atas dengan amat baik. Sementara di kutub berlawanan, Story of Kale: When Someone's in Love dan Story of Dinda: The Second Chance of Happiness melahirkan dua spin-off yang sukar dijustifikasi eksistensinya. Hari Ini akan Kita Ceritakan Nanti selaku penutup trilogi utamanya berdiri di tengah-tengah.
Di atas kertas ada urgensi, sebab kita belum pernah diajak benar-benar menyelami ruang personal Angkasa (Rio Dewanto) dan sang ayah, Narendra (Donny Damara). Mengacu pada keengganan Angkasa untuk tumbuh menjadi pria seperti Narendra, dua figur ini sekilas amat berlawanan. Tapi benarkah?
Naskah buatan M. Irfan Ramli dan Yemima Krisantina memecah alurnya ke dalam dua masa guna membangun komparasi antara ayah dan anak tersebut. Masa kini membawa Narendra ke Bali untuk mengunjungi Angkasa, yang menyembunyikan keretakan rumah tangganya dan Lika (Agla Artalidia). Sedangkan latar masa lalu ("hari ini" yang akan mereka ceritakan "nanti") dimulai pada 1987, saat Narendra muda (Jourdy Pranata) dan Ajeng (Yunita Siregar) berkenalan, sebelum akhirnya nekat menjalin asmara.
Perjalanan Narendra-Ajeng jelas sesuatu yang lebih tertarik dituturkan oleh para pembuat film ini. Di sanalah mayoritas dari 118 menit durasinya dihabiskan. Di situ pula beragam sentilan sosial diselipkan. Melanjutkan tema chosen family milik Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang, serupa sang puteri, Narendra pun menemukan keluarga baru di perantauan.
Sepeninggal sang kakak, Wildan (Aksara Dena), Narendra tinggal bersama Bang Amper (Ricky H. Malau), Yu Inah (Ruth Marini), Arai (Erick Estrada), dan Agus (Muhammad Khan). Asal mereka berlainan, namun disatukan oleh kesamaan nasib berupa kemiskinan. Dunia tak memihak mereka. Ketidakadilan dalam pelayanan medis sampai intimidasi aparat pernah dialami. Percintaan Narendra dan Ajeng pun terbentur dinding perbedaan kelas sosial. Adanya sentilan tersebut membuat alur filmnya lebih memiliki tekstur, meski tugas "Keluarga Narendra" sebagai comic relief tak selalu berhasil akibat materi humor yang acap kali lemah.
Sedangkan di pihak Ajeng, tuturan mengenai gender dapat ditemukan. Ajeng beserta sang ibu, Laksmi (Ira Wibowo), hidup di bawah kendali ayahnya, Soemitro (Rukman Rosadi). Ajeng dijodohkan paksa dengan Wirjawan (Bukie B. Mansyur), pria yang menyuruhnya "Diam saja, cukup berdandan cantik dan berdiri di sebelah aku". Padahal seperti Laksmi, Ajeng adalah perempuan mandiri. Bersama Narendra ia bebas menunjukkan kemandirian itu.
Hari Ini akan Kita Ceritakan Nanti konsisten bergerak ke arah romansa yang tak terkekang peran-peran gender, termasuk caranya memberi konklusi bagi masalah ekonomi yang Narendra dan Ajeng alami di awal pernikahan mereka.
Sayang, upayanya menjalin koneksi antara hidup Narendra dan Angkasa kurang berhasil. Transisi antar masanya memang berjalan mulus, namun selain kesamaan pesan soal "cinta harus diperjuangkan", kedua eranya luput saling memperkaya penceritaan satu sama lain, gagal pula membangun komparasi kuat mengenai ayah dan anak tersebut.
Apalagi latar masa kini tampil setengah matang, seolah memaksakan konflik (tidak terlalu) baru yang sesungguhnya telah menemukan jawaban di film pertama, atau dengan kata lain, minim urgensi. Satu-satunya penyelamat adalah penampilan Donny Damara, dengan tatapan, gestur, serta tutur kata yang seluruhnya didasari kecintaan terhadap si anak sulung.
Ditambah dramatisasi Angga yang tak selalu efektif (lagu Sesaat Kau Hadir yang terus diperdengarkan sebelum, saat, dan sesudah adegan "pemukulan" kurang tepat mewakili emosi), juga titik balik sikap salah satu karakter yang begitu dipaksakan, membuat Hari Ini akan Kita Ceritakan Nanti menutup trilogi di titik rendah. Tidak buruk, tapi sekali lagi, minim urgensi.
(Netflix)
REVIEW - KETIKA BERHENTI DI SINI
Dua tahun lalu Umay bercerita tentang debut penyutradaraannya. Tentu saya ragu. Ketika nama-nama senior saja masih kesulitan menuturkan tema kesehatan mental secara serius dan tepat, apakah dia yang waktu itu belum genap berkepala dua mampu? Nyatanya demikian. Meski jauh dari luar biasa, Kukira Kau Rumah adalah awal perjalanan yang patut diapresiasi. Kali ini, melalui Ketika Berhenti di Sini, Umay menelurkan karya sophomore penuh kepercayaan diri, yang membuktikan bahwa usia memang hanyalah angka.
Dita (Prilly Latuconsina) menemukan kebahagiaan dalam hubungannya dengan Ed (Bryan Domani). Kebahagiaan yang ia kira tiada lagi selepas kepergian sang ayah (Indra Brasco). Kebahagiaan yang tak didapatkan di rumah karena hubungan yang renggang dengan sang ibu (Cut Mini Theo). Kebahagiaan yang melebihi kenyamanan kala bersama para sahabatnya: Untari (Lutesha), Awan (Sal Priadi), dan Ifan (Refal Hady). Nama yang disebut terakhir diam-diam memendam rasa kepada Dita.
Dita pun menjalin kedekatan dengan keluarga sang kekasih. Selain kunjungan rutin tiap perayaan ulang tahun, Dita juga menjadi kawan bagi nenek Ed (Widyawati). Sebagaimana selalu hadir dalam tiap film yang menyertakan namanya, Widyawati dapat menyentuh hati bahkan di momen kasual sekalipun. Setiap kata dari mulutnya memiliki rasa.
Lalu datanglah akhir kebahagiaan. Kematian Ed mendorong Dita jatuh ke dalam jurang duka. Di tengah upayanya bangkit, Dita justru menemukan cara untuk memeluk kembali hal yang telah hilang. Sebuah kacamata sanggup menghidupkan lagi sosok Ed, meski hanya sebagai artificial intelligence berwujud hologram.
Di situlah letak kepercayaan diri pertama filmnya. Menulis naskahnya bersama Alim Sudio, Umay bisa saja merangkai cerita semacam ini lewat jalur aman. Tapi ia memilih mengutak-atik pakem genre, menyelipkan elemen science fiction sebagai jalan karakternya melestarikan memori.
Kalau Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004) selaku salah satu sumber inspirasi terbesarnya bicara tentang penghapusan memori demi menghapus luka, maka Ketika Berhenti di Sini adalah soal luka yang memunculkan penolakan individu untuk beranjak dari memori.
Penerapan unsur science fiction di penceritaannya mungkin belum sepenuhnya mulus. Perlu suspension of disbelief yang cukup besar guna menerima fakta bahwa seorang tukang servis iPad mampu meretas kacamata langka nan canggih. Tapi sekali lagi, kesediaan mengeksplorasi genre di tengah keragaman tema sinema tanah air adalah bentuk kepercayaan diri yang mengagumkan. Sinematografi garapan Anggi Frisca yang membangun kesan futuristik berbekal permainan warna pun turut mempercantik presentasi.
Memasuki pertengahan durasi, layaknya Dita yang terjebak dalam ilusi kehadiran Ed, alurnya sedikit kebingungan menentukan arah eksplorasi. Ada stagnasi, sementara di saat bersamaan naskahnya luput menjadikan Ifan "pengganti" yang meyakinkan (Apa yang Ifan dapat berikan namun Ed tidak?), sedangkan ketiadaan resolusi bagi luka hati ibu Dita, yang dibawakan secara kuat oleh Cut Mini, agak disayangkan.
Beruntung, di fase itu pula Prilly berkesempatan memamerkan dinamika rasa kelas satu. Di balik kamera, Umay yang merumuskan adegan dengan penuh sensitivitas, sepenuhnya percaya pada sang aktris. Kolaborasi keduanya melahirkan banyak titik emosional, termasuk pemandangan menggetarkan ketika Dita mendengar kabar kematian Ed.
Walau didominasi kesedihan, sejatinya Ketika Berhenti di Sini bukan cuma soal satu kondisi itu. Dia membicarakan kehidupan secara utuh. Seperti prinsip Mandala yang terlukis di tas Dita, hidup adalah soal keseimbangan. Ada emosi positif, ada emosi negatif. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada saatnya kita mulai berjalan, hingga kelak tiba waktunya untuk berhenti. Begitulah lingkaran kehidupan.
REVIEW - DREAM
Terinspirasi dari partisipasi perdana Korea Selatan di ajang Homeless World Cup pada gelaran tahun 2010, seperti judulnya, Dream bicara mengenai mimpi. Bukan impian-impian seperti kejayaan atau gelimang harta. Sederhana saja, para karakternya bermimpi mendapatkan kehormatan mereka lagi. Mereka ingin dimanusiakan.
Alurnya klise. Yoon Hong-dae (Park Seo-joon) adalah pemain bola yang mendapat sanksi akibat sebuah skandal. Demi memperbaiki reputasi, ia terpaksa menerima tawaran menjadi pelatih bagi timnas Korea Selatan di Homeless World Cup. Tentu tak mudah melatih sekelompok tunawisma yang nihil pengalaman mengolah si kulit bundar.
Entah sudah berapa kali pakem "atlet yang jatuh menebus dosa dengan membimbing para amatir" dipakai guna menyampaikan kisah from-zero-to-hero dalam film bertema olahraga. Tapi, bermodalkan sensitivitas khas sineas Korea Selatan, Lee Byeong-heon (Twenty, Extreme Job) selaku sutradara sekaligus penulis naskah mampu menyulap keklisean jadi suguhan spesial.
Menemani Hong-dae ada Lee So-min (Lee Ji-eun), kreator acara televisi yang berambisi angkat nama melalui dokumenter mengenai proses persiapan menuju Homeless World Cup. Penokohannya menarik. So-min adalah wanita murah senyum yang rajin melontarkan sarkasme untuk meluapkan unek-uneknya, seperti "Semangat menggebu tapi gaji bulanan tetap".
Dibawakan dengan comic timing luar biasa oleh Lee Ji-eun alias IU, So-min ibarat jendela yang bisa penonton pakai untuk mengintip perspektif Lee Byeong-heon mengenai tokoh-tokohnya. Mereka adalah orang-orang yang menekan penderitaan dengan cara memaksakan tawa, sembari berharap kepalsuan tersebut dapat mengurangi rasa sakit.
Ada atlet yang jadi bulan-bulanan publik sampai privasinya terinvasi, pekerja dunia hiburan yang karirnya mengalami stagnasi, juga barisan individu tanpa rumah dengan ragam permasalahan personal yang dianggap sampah masyarakat berbau busuk. Mereka menderita, namun berusaha menutupinya melalui tawa. Perjalanan 125 menit film ini menggambarkan proses mereka mengubah kepura-puraan itu menjadi realita.
Tidak seperti tawa So-min, humor tulisan Lee Byeong-heon sama sekali tak dipaksakan. Segar. Menggelitik. Apalagi cast-nya, termasuk para pemeran tunawisma, sanggup menjual tiap banyolan secara sempurna. Sedangkan Park Seo-joon meyakinkan sebagai pesepak bola profesional. Cukup meyakinkan hingga sang sutradara bisa memakai wide shot kala Hong-dae unjuk gigi di lapangan hijau, alih-alih bergantung pada penyuntingan.
Terkait elemen drama, Dream punya kuantitas materi memadai. Bahkan mungkin agak terlalu banyak (selain kisah soal mimpi, ada subplot cerita keluarga hingga romansa yang melibatkan beberapa tokoh pendukung) hingga tak seluruhnya dikupas secara mendalam.
Bukan berarti dampak emosinya melemah. Sekali lagi, Lee Byeong-heon punya segala keunggulan sineas Korea Selatan arus utama, yang piawai mengaduk-aduk perasaan. Tapi cara sang sutradara tidak murahan. Pendekatannya tidak selalu meledak-ledak, mengutamakan kehangatan ketimbang asal menerapkan dramatisasi mengharu biru.
Puncak rasanya terletak pada pertandingan Korea Selatan melawan Jerman. Di situlah Dream menangkap salah satu esensi terpenting sepak bola. Sebuah permainan indah, di mana kemenangan dan kejayaan menghadirkan kebahagiaan selangit, namun berjuang secara terhormat jauh lebih penting. Begitu pertandingan usai, para tunawisma pun menemukan rumah baru bernama sepak bola.
(Netflix)
REVIEW - OPPENHEIMER
Oppenheimer merupakan karya terbaik Christopher Nolan sejak perjalanan menelusuri alam mimpi di Inception 13 tahun lalu. Dua judul yang sekilas amat berbeda, namun sebenarnya senada. Sama-sama menelusuri hal yang berada di "dalam", mengembangkannya, kemudian menemukan bahwa sisi internal manusia tidak kalah luas dibanding kemegahan alam semesta.
Melalui naskah buatannya yang mengadaptasi buku biografi American Prometheus karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin, Nolan bak ilmuwan yang tengah melakukan penelitian yang menghasilkan rumusan mengenai J. Robert Oppenheimer (Cillian Murphy). Sedangkan kita, penonton, diberi kesempatan membaca hasil penelitian tersebut. Membaca seorang Oppenheimer.
Nolan bukan sekadar meneliti. Dia pun bereksperimen, mengutak-atik formula film biografi. Sebuah hipotesis diutarakan: Gaya khas Nolan (yang kerap dianggap minim emosi) bisa diimplementasikan guna melahirkan biografi kaya rasa. Hipotesis itu terbukti.
Di menit-menit awal, kita bertemu Oppenheimer muda yang masih belajar di Cavendish Laboratory. Pikirannya gamang, dihantui kerinduan terhadap rumah serta kecemasan. Nolan menyelipkan gambaran molekul yang berputar dengan kecepatan tinggi, partikel yang saling bertabrakan, diiringi suara gemuruh menggetarkan. Visualisasi yang sempurna mewakili isi hati sang protagonis, sekaligus memudahkan orang awam seperti kita memahami, bahkan ikut merasakan dinamika psikis ilmuwan brilian macam Oppenheimer.
Alurnya dipecah ke dalam dua bagian yang masing-masing diberi judul Fission dan Fusion. Fission, dikemas dengan gambar berwarna, bertutur menggunakan sudut pandang subjektif Oppenheimer, melihat dunia dari kacamatanya, berpusat pada proses pembuatan bom atom di Proyek Manhattan yang ia pimpin setelah ditunjuk oleh Leslie Groves (Matt Damon).
Sementara Fusion dengan warna hitam putih merepresentasikan sudut pandang orang lain mengenai Oppenheimer, terutama Lewis Strauss (Robert Downey Jr.) ketua AEC (Atomic Energy Commission) yang tengah melakoni pemeriksaan jelang penunjukannya sebagai anggota senat.
Dua linimasa di atas tampil bergantian, merangkai jalinan penceritaan kompleks. Sangat kompleks. Banyak peristiwa, banyak pula figur datang dan pergi. Jika pengalaman menonton pertama terasa membingungkan, cobalah mengunjunginya lagi. Setelah kita berhasil memahami gagasan utamanya, lalu mengenal nama-nama yang terlibat, barulah naskah Nolan menampakkan kejeniusannya.
Oppenheimer merupakan eksperimen. Nolan merombak gaya bertutur film biografi konvensional bukan tanpa alasan. Oppenheimer didesain agar tampil layaknya fenomena ilmiah yang identik dengan si tokoh utama. Seputar fisi yang berujung pada reaksi berantai serta ledakan (secara harfiah dan figuratif), juga fusi, yang biarpun tanpa ledakan, menghasilkan lebih banyak energi dengan memanaskan dan menahan rapat-rapat suatu bahan bakar.
Oppenheimer memang "sangat Nolan". Aroma filosofis, alur non-linear, twist, dan tentunya kesan megah. Hanya ada satu ledakan sungguhan, yakni pada sekuen uji coba Proyek Manhattan (perpaduan kesunyian dan bait dari Bhagavad Gita membuatnya terasa amat menghantui), namun sepanjang tiga jam durasinya tersebar banyak "ledakan" lain, yang terjadi dalam batin Oppeheimer.
"Ledakan-ledakan" tersebut memfasilitasi filmnya untuk tetap tampil eksplosif biarpun berbentuk drama. Gemuruh tata suara atmosferik, dentuman musik gubahan Ludwig Göransson, hingga gambar-gambar dari kamera Hoyte van Hoytema, menyelaraskan diri dengan visi Nolan yang menegaskan bahwa gejolak batin manusia tak kalah epik dibanding kemegahan semesta.
Sinematografi garapan Hoytema patut diberi kredit lebih. Fokusnya bukan kepada bentangan lanskap, melainkan close-up. Karena sekali lagi, sisi epik Oppenheimer muncul dari hal internal alih-alih eksternal. Gaya pengambilan gambar tersebut memberi sorotan yang lebih terang bagi penampilan ensemble cast-nya, yang dipimpin oleh Cillian Murphy melalui eksplorasinya atas kompleksitas psikis seorang Oppenheimer.
Tidak hanya Murphy, nama-nama lain pun tak kalah memikat. Robert Downey Jr. menghidupkan ambiguitas karakternya, Emily Blunt sebagai Kitty (istri Oppenheimer) membawa kekuatan tanpa perlu menyulut ledakan, sampai Florence Pugh sebagai Jean Tatlock yang menumpuk rasa sakit menyesakkan. Nama-nama dengan porsi yang jauh lebih terbatas seperti Josh Hartnett, Benny Safdie, Tom Conti, dan Gary Oldman juga tampil membawa prinsip "quality over quantity".
Oppenheimer adalah entitas langka yang cuma bisa (dan berani) dibuat oleh Nolan. Adegan penutupnya (momen paling emosional yang pernah Nolan buat sepanjang karirnya) bakal sulit dihapus dari ingatan. Saat itulah proses penonton "membaca J. Robert Oppenheimer" bermuara. Kita memahami rasa bersalahnya, merasakan ketakutannya, dan dari situ, tercipta cautionary tale yang luar biasa efektif.
REVIEW - JENDELA SERIBU SUNGAI
Jendela Seribu Sungai yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Miranda Seftiana dan Avesina Soebli memang jauh dari sempurna. Adanya cameo dari Ibnu Sina (Wali Kota Banjarmasin) dan Ian Kasela juga bisa membuatnya dipandang sebelah mata oleh banyak penonton. Tapi ia mampu membuktikan satu hal, bahwa cerita seklise apa pun dapat tampil lebih segar dengan balutan elemen kultural.
Berlatar "Kota Seribu Sungai" Banjarmasin, kita dipertemukan dengan tiga murid SD: Arian (Bima Sena) yang ingin melanjutkan jejak ayahnya (Ariyo Wahab) sebagai pemain kuriding, Kejora (Halisa Naura) yang bercita-cita menjadi dokter meski mendapat tentangan dari sang ayah (Ibrahim "Baim" Imran) selaku balian yang membenci praktik medis modern, dan Bunga (Sheryl Drisanna Kuntadi) yang enggan membuang impiannya menari meski menderita cerebral palsy.
Tidak perlu menjadi "ahli sinema" untuk meraba ke mana naskah buatan Swastika Nohara (Hari Ini Pasti Menang, 3 Srikandi) bakal mengarahkan alurnya. Tapi seperti telah disinggung di awal tulisan, aspek budaya berjasa mengangkat Jendela Seribu Sungai naik kelas.
Memang tidak secara signifikan. Apalagi penceritaannya tampil bak keping-keping fragmen yang dipaksa melebur berisikan sederet konflik pendek episodik, alih-alih satu kesatuan kisah besar yang bergerak runtut. Tapi ketika banyak film-film formulaik bertema "melawan dunia demi mimpi" sudah mengundang kantuk sebelum menginjak separuh perjalanan, Jendela Seribu Sungai tidak demikian.
Kalimat-kalimat inspiratif nan menggurui kerap dipercantik dengan cara mengaitkannya ke perenungan filosofis berbasis kultural. Selalu ada sentuhan budaya yang menarik untuk diamati di tiap sudutnya, termasuk gesekan antara adat dan modernisasi. Naskahnya membawa perspektif berimbang dalam mengangkat persoalan tersebut.
Ambil contoh konflik Kejora dengan ayahnya. Ketimbang memojokkan salah satu pihak, Jendela Seribu Sungai menyandingkan keduanya. Ilmu medis kekinian diperlukan, namun kemampuan balian menyembuhkan warga tidak dikerdilkan. Mereka bisa eksis bersama, bahkan saling melengkapi.
Barisan pemainnya pun cukup solid. Bima Sena kembali membuktikan diri sebagai salah satu bintang muda paling potensial, Ariyo Wahab menghadirkan kehangatan, sedangkan Agla Artalidia tidak ketinggalan memamerkan talenta dramatik memadai sebagai Bu Guru Sheila yang rela memperjuangkan mimpi murid-muridnya.
Kelemahan paling mengganggu di film ini justru berasal dari sesuatu yang tidak terduga: CGI. Entah apa alasan Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, Love Reborn) selaku sutradara memakai CGI di berbagai titik yang sejatinya tak memerlukan polesan efek komputer. Apalagi kualitasnya buruk (lihatlah bayi-bayi yang tampak bak monster mengerikan di paruh awal). Rasanya bukan ini keseimbangan "tradisi/modernisasi" yang coba dicapai filmnya.
REVIEW - BARBIE
Barbie adalah suguhan spesial. Di balik segala keabsurdan komikal serta nuansa vibrant miliknya, ia tampil begitu dewasa. Ibarat manusia yang sudah "selesai" dengan dirinya, sehingga bisa berdamai dengan semua luka, kemudian memandangnya selaku bagian tak terpisahkan dalam kehidupan.
Sterotypical Barbie (Margot Robbie) menjalani kesempurnaan hidup di Barbieland. Harinya dibuka dengan nyanyian bahagia, lalu ditutup oleh kemeriahan pesta. Di sana, semua Barbie bisa menjadi apa saja yang mereka mau, dari dokter, penulis, ilmuwan, sampai presiden. Sebuah dunia ideal. Berbeda dengan realita yang kerap mengekang perempuan.
Sedangkan bagi penonton, Barbieland merupakan parade visual yang memanjakan mata. Dekorasi sarat warna merah muda cantik di mana Barbie mandi tanpa guyuran air, makan tanpa menelan makanan, pula melayang untuk berpindah tempat. Greta Gerwig dan tim merealisasikan imajinasi yang menyusun kenangan masa kecil para pemain Barbie.
Latar yang nampak artificial adalah kesengajaan. Dari situ timbul kesan bahwa Barbieland tak ubahnya utopia palsu. Ada kegelapan tersimpan rapat di dalam kesempurnaan tadi, yang mulai tercium saat Stereotypical Barbie bertingkah aneh. Dia mempertanyakan soal kematian, kakinya tidak lagi berjinjit, di tubuhnya pun muncul selulit. Berdasarkan anjuran Weird Barbie (Kate McKinnon), ia melakukan perjalanan ke dunia nyata bersama Ken (Ryan Gosling) guna memecahkan permasalahan tersebut.
Bagaimana karakternya dapat berpindah alam? Tidak perlu memusingkan tetek bengek logika semacam itu. "Don't overthink it", ucap Weird Barbie, dan prinsip tersebut mesti kita pegang selama 114 menit kisahnya. Sebab itulah kunci menikmati nilai hiburan filmnya. Humornya mengesampingkan hukum-hukum fisika serta logika. Sekali lagi, layaknya aktivitas bocah memainkan boneka mereka. Sangat menyenangkan, meski ada kalanya Gerwig agak terlalu lama membiarkan sebuah peristiwa mengalir (contohnya nomor musikal di babak ketiga).
Di dunia nyata, Stereotypical Barbie dibantu oleh Gloria (America Ferrera), karyawan Mattel tempat Barbie diproduksi, yang tengah melewati krisis paruh baya, sekaligus mendapati hubungannya dengan puteri remajanya, Sasha (Ariana Greenblatt), tidak seharmonis dulu. Di sisi lain, Ken menemukan hal lain yang menggiring film ini menuju pokok bahasan mengenai gender.
Sekilas arah tuturan pesannya mudah ditebak. Boneka Barbie identik dengan standar kecantikan, yang alih-alih menginspirasi, justru makin menenggelamkan perempuan dalam dunia penuh cengkeraman laki-laki. Merupakan kewajaran saat Gerwig menggiring ceritanya ke kutub berlawanan untuk menjadikan sang protagonis simbol kesetaraan. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.
Barbie menyuarakan kesetaraan, menggugat standar-standar berbahaya sembari menggoyang patriarki yang menekan hak hidup perempuan. Sesuatu yang bisa kita harapkan dimiliki oleh karya sang sutradara. Gerwig memandang "kesetaraan" sebagaimana mestinya. Bukan ajang pembuktian superioritas yang didasari luapan ego, melainkan kesadaran dari hati bahwa pada dasarnya, baik laki-laki maupun perempuan, punya hak yang sama.
Fakta bahwa Gerwig menulis naskahnya bersama sang pasangan, Noah Baumbach, menguatkan kesan bahwa Barbie merupakan karya kolaboratif. Proses komunikasi dua pihak yang berusaha menemukan titik temu seadil mungkin.
Tentu proses tersebut tidaklah gampang. Bakal ada gesekan, pertikaian, dan pastinya, sakit hati. Tapi Barbie, dengan kematangan perspektifnya, menerima rasa sakit itu sebagai salah satu wajah kehidupan. Kisahnya membawa Stereotypical Barbie, yang tadinya terjebak dalam ilusi soal kesempurnaan yang hanya tersusun atas kebahagiaan, menyadari eksistensi perasaan-perasaan lain. Alih-alih tawa, momen yang filmnya tonjolkan justru tetesan air mata pertama si tokoh utama.
Dibarengi sensitivitas pengarahan Gerwig, hasilnya luar biasa menyentuh. Di departemen akting, tatkala Ryan Gosling kembali memamerkan kehebatan comic timing, Margot Robbie menawarkan kompleksitas. Kita pun bisa menyadari transformasi karakternya, dari boneka naif dengan tatapan kosong, menjadi individu utuh yang dari matanya memancarkan kekayaan rasa dalam kehidupan.
Mungkin saya terlalu sering menyebut "kehidupan" di tulisan ini, tapi memang demikianlah Barbie. Di luar persoalan gender dan isu-isu beraroma politis yang terselip, ia membicarakan kehidupan. Sebuah perjalanan yang membentuk ragam kenangan baik serta buruk, sebagaimana ditampilkan begitu indah oleh konklusinya.
REVIEW - INSIDIOUS: THE RED DOOR
Insidious: The Red Door punya intensi baik. Sebagai installment kelima, timbul kesadaran untuk tidak melakukan repetisi dari segi penceritaan. Kembali menyoroti jajaran karakter dari dua film pertama, daripada pengulangan, filmnya menggiring dinamika keluarga disfungsional ke area yang lebih kompleks. Ada niat membawa kesegaran, tapi naskah dangkal ditambah teror tak memorable justru melahirkan produk berlawanan: sebuah epilog yang tidak perlu.
Sebuah tendensi Hollywood sewaktu membuat sekuel adalah memecah hubungan karakter, sekuat apa pun ikatan yang penonton saksikan di film-film sebelumnya. Naskah buatan Scott Teems (Halloween Kills) mengambil langkah serupa. Sembilan tahun pasca peristiwa Insidious: Chapter 2 (2013), kondisi Keluarga Lambert tak lagi sama. Josh (Patrick Wilson) dan Renai (Rose Byrne) bercerai, sedangkan si putera sulung, Dalton (Ty Simpkins) tumbuh jadi remaja pemberontak.
The Red Door mengulik gagasan perihal repressed memory, di mana individu kesulitan mengingat kenangan traumatis dari masa lalu sebagai mekanisme pertahanan diri. Ingatan Josh dan Dalton tentang perjalanan mereka di The Further ditekan, namun tak pernah benar-benar lenyap. Memori kelam Dalton perlahan timbul ke permukaan ketika menjalani kelas melukis. Sebuah poin menarik soal bagaimana seni bisa menggali sisi terdalam manusia, yang sayangnya enggan filmnya soroti lebih jauh.
Cukup lama The Red Door berkutat dalam drama. Praktis sekitar 30 menit pertamanya murni dipakai memperkenalkan penonton kepada pergolakan mental para protagonis. Psikis Josh berada di titik terendah. Ingatannya kabur, emosinya tidak stabil. Sosok ayah yang biasanya digambarkan selaku pelindung justru berpotensi jadi penghancur akibat kerapuhannya.
Tapi potensi dinamika keluarga disfungsional tersebut gagal melangkah lebih jauh, akibat eksplorasi naskahnya terkait luka serta rasa bersalah Josh, juga unsur transgenerational trauma yang mempengaruhi sang karakter, hanya berkutat di permukaan. Alhasil, tujuan menutup franchise lewat konklusi emosional pun gagal dicapai.
Selain memerankan figur ayah yang tidak stabil, Patrick Wilson turut melakoni debut sebagai sutradara. Menilik beberapa teror, misalnya penampakan unik nan mencekam yang memanfaatkan jendela, sejatinya Wilson cukup berani menerapkan kesunyian guna membangun kengerian. Tapi ketika dituntut melempar jumpscare, jam terbang minimnya begitu kentara.
Di luar ide-ide yang cenderung generik, banyak jumpscare milik The Red Door punya eksekusi murahan. Ketika dahulu James Wan memacu adrenalin dengan teknik "hantu agresif", Wilson menghilangkan poin tersebut, yang menjadi pembeda antara Insidious dengan banyak horor medioker. Para hantu sebatas setor muka, ditambah penyuntingan yang sengaja menghilangkan transisi, semata-mata agar suatu penampakan terasa lebih mengagetkan. Film ini tidak ada bedanya dengan video screamer yang banyak bertebaran di internet. Murahan.
REVIEW - MISSION: IMPOSSIBLE - DEAD RECKONING PART ONE
Mission: Impossible - Dead Reckoning Part One menjual momen ketika Tom Cruise mengendarai motor lalu melompat dari atas tebing. Sebuah dedikasi gila demi menghadirkan pengalaman sinematik yang patut diapresiasi.
Tapi dibanding stunt di judul-judul sebelumnya, sebutlah aksi memanjat Burj Khalifa di Ghost Protocol (2011) atau bergelantungan di pesawat dalam Rogue Nation (2015), momen tersebut tak menawarkan "nilai" tambahan. Tanpa elemen kejutan, tanpa tambahan detail berarti di luar klip yang telah dijadikan materi promosi.
Tentu tidak adil menilai filmnya berdasarkan satu hal itu saja (pun strategi marketing lebih tepat untuk "disalahkan" ketimbang kualitasnya sendiri), terlebih Dead Reckoning Part One masih menyimpan setumpuk aksi yang jauh lebih impresif ketimbang lompatan tersebut. Sekuen pembukanya, saat kapal selam Rusia tenggelam akibat "jebakan" AI yang menewaskan seluruh kru, tampil begitu mencekam.
Kecelakaan itu memicu pertikaian berskala global baru, yang memaksa Ethan Hunt (Tom Cruise) beserta timnya berlomba dengan beberapa pihak, yang berambisi memanfaatkan kecanggihan AI tadi untuk mempersenjatai diri. Adakah kisah yang lebih relevan dari ini?
Naskah yang ditulis oleh sang sutradara, Christopher McQuarrie, bersama Erik Jendresen, secara tegas menentukan sikap terkait pro-kontra mengenai AI di era modern: AI buruk, berbahaya, manipulatif, tidak dapat dipercaya. Hasilnya adalah paruh pertama intens khas cerita spionase, di mana para protagonis dihantui kebimbangan tatkala semua hal yang selama ini mereka percayai tak lagi bisa dijadikan pegangan. Kecemasan berbasis ketidakpercayaan memang mengerikan.
Kemudian alurnya beralih menyoroti sisi personal Hunt, mencuatkan permasalahan bahwa orang yang ia sayangi (terutama wanita) nasibnya bakal berakhir tragis. Menggali ruang emosi karakter utama di tengah gempuran aksi sejatinya merupakan keputusan tepat. Hunt menjadi manusia alih-alih robot super tanpa hati.
Pertanyaannya, bukankah masih banyak cara lain untuk membangun dampak emosi selain (lagi-lagi) menjadikan karakter wanita sebagai "alat"? Filmnya memiliki segudang sosok potensial. Ilsa (Rebecca Ferguson) si mantan agen MI6, Alanna (Vanessa Kirby) si penjual senjata, Paris (Pom Klementieff) si pembunuh sinting, hingga Grace (Hayley Atwell) si pencuri selaku "leading lady" film ini. Dead Reckoning Part One menyia-nyiakan potensi, dengan menjadikan beberapa dari mereka "tumbal". Sebatas alat agar Hunt menemukan kekuatannya, ketimbang karakter utuh yang mampu berdiri sendiri.
Setidaknya gelaran aksi Dead Reckoning masih berdiri tegak. Ada kalanya musik bombastis gubahan Lorne Balfe terlampau dieksploitasi untuk menampilkan kesan epik, pun realisme dalam lompatan gila Cruise dilucuti oleh pernak-pernik CGI (sebagaimana adegan "halo jump" di Fallout), namun di titik-titik lain McQuarrie membuktikan kelasnya.
Kejar-kejaran di tengah kota Roma adalah paket lengkap. Ketegangan, humor, kejutan, kepiawaian mengatur tata kamera untuk menempatkan penonton di tengah aksi, penyuntingan cekatan, semua dapat kita temukan. Begitu pula babak puncaknya, yang secara cerdik bukan diisi baku hantam, melainkan upaya karakternya lolos dari kejaran maut.
Megah, seru, otentik. Jika sekadar menilik tiap set piece aksinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, di antara semua suguhan aksi 2023, Dead Reckoning Part One hanya bisa ditandingi oleh John Wick: Chapter 4. Sayang, naskahnya kerap mengambil jeda terlalu lama di antara aksi, mengisinya dengan obrolan-obrolan muram yang bak enggan berhenti sehingga mengacaukan pacing penceritaan.
Tidak masalah menggiring tone ke arah perenungan yang lebih kelam, namun ada kesan Dead Reckoning Part One menyimpan tujuan lain di balik pendekatan tersebut: memanjangkan cerita agar bisa dipecah menjadi dua bagian.
21 komentar :
Comment Page:Posting Komentar