REVIEW - THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

21 komentar

Romeo dan Juliet beserta banyak pasangan kekasih fiktif lain yang berasal dari dua kubu berlawanan, telah membuktikan betapa kekuatan cinta bisa meruntuhkan perbedaan. Tapi jika keburukan dalam dunia tempat dua sejoli memadu kasih sudah mengakar terlampau kuat, masih mampukah cinta meluluhkannya? 

The Ballad of Songbirds & Snakes yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Suzanne Collins menunjukkan bahwa cinta mempunyai batasan. Butuh lebih dari sebatas cinta guna menghalangi transformasi remaja baik hati menjadi penguasa kejam. 

Mengambil latar puluhan tahun sebelum peristiwa The Hunger Games (2012), The Ballad of Songbirds & Snakes mempertemukan kita dengan Coriolanus Snow (Tom Blyth) di usianya yang masih 18 tahun, jauh sebelum menancapkan tirani di Panem. Snow tidak selalu sejalan dengan kekejaman para penguasa Capitol seperti Dr. Volumnia Gaul (Viola Davis), namun bukan pula humanis sejati yang vokal menentang ketidakadilan terhadap para penghuni distrik. Peran itu diemban oleh sahabatnya, Sejanus Plinth (Josh Andrés Rivera). 

Demikianlah pondasi yang ditanam oleh naskah buatan Michael Lesslie dan Michael Arndt, agar perubahan ekstrim Snow nantinya mudah dijustifikasi. Snow bukan individu dengan prinsip kokoh. Sehingga saat diberi tugas sebagai mentor bagi perwakilan Distrik 12 di gelaran Hunger Games kesepuluh, Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), hati Snow seketika terpikat pada sang gadis. 

Beberapa tahun lalu, keputusan memecah Mockingjay menjadi dua bagian sesuai tren masa itu melukai kualitas yang telah susah payah dibangun dua film pertama. Tercipta pembagian timpang untuk porsi drama politik dan aksi dalam Mockingjay - Part 1 (2014) dan Mockingjay - Part 2 (2015). 

The Ballad of Songbirds & Snakes ibarat penebusan dosa. Keseimbangan berhasil ia raih, di mana paruh awal menghantarkan intrik politik memikat di balik layar pelaksanaan Hunger Games, termasuk perihal pemanfaatan media menggiring untuk opini massa, sebelum beralih ke suguhan aksi seru di babak kedua.

Tentu aksinya berpusat pada pelaksanaan Hunger Games kesepuluh, yang berkat penyutradaraan bertenaga dari Francis Lawrence, sanggup menghadirkan aksi saling bunuh yang intens sekaligus organik, di mana eksplorasi gerak kamera lebih diutamakan ketimbang efek komputer. Menarik pula menyaksikan perbedaan Hunger Games di era Lucy yang lebih sederhana dengan skala jauh lebih kecil (hanya berlatar di satu arena) dibanding era Katniss Everdeen. 

Tidak kalah penting adalah keberhasilan The Ballad of Songbirds & Snakes menjaga bangunan dunia solid khas franchise-nya. Sebuah dunia gelap di mana kematian merupakan komoditas, dengan jurang kelas yang terlalu luas, sehingga pengkhianatan dapat terjadi segampang menarik napas. 

Sewaktu Snow (kubu penindas) dan Lucy Gray (kubu tertindas) berusaha menautkan hati, kita tahu tidak ada kebahagiaan yang menanti. Dunia film ini membuat saya memahami keputusan-keputusan buruk karakternya, untuk nantinya juga memahami alasan transformasi ekstrim sang protagonis. Romeo dan Juliet pun rasanya bakal selalu dihantui kecurigaan jika hidup di Panem. 

Seluruhnya sempurna sebelum kisahnya memasuki babak akhir. Titik balik yang semestinya mengoyak perasaan penonton justru tersaji hambar akibat penanganan serba buru-buru. Tidak ada momentum. Pengadeganan Francis Lawrence gagal menangkap substansi dalam interaksi subtil dua karakternya. Kosong, antiklimaks, minim intensitas emosi. 

Setidaknya, The Ballad of Songbirds & Snakes berada di jalan yang tepat untuk menghidupkan lagi seri The Hunger Games. Belum lagi ditambah performa apik para pemain, terutama Rachel Zegler lewat nyanyian indah bak Puteri Disney (bak teaser menuju Snow White dua tahun lagi) dan Viola Davis yang membuktikan kalau ia pun sanggup melakoni gaya akting over-the-top, yang seperti filmnya, efektif menyajikan hiburan. 

21 komentar :

Comment Page:
Uxfilm mengatakan...

Jadi, The Ballad of Songbirds & Snakes adalah film dengan genre drama atau aksi?

Melihat review film The Ballad of Songbirds & Snakes, sepertinya film tersebut masih mengikuti jejak The Hunger Games.

Memadukan genre romansa di tengah aksi-aksi film yang unik dan inovatif. Pemeran utama dalam film ini mesti mendukung keberhasilan keseluruhan film.

Apabila menilik trilogi The Hunger Games, sulit dipercaya kalau film selanjutnya tidak lagi diperankan oleh Jeniffer Lawrence yang sudah membesarkan nama The Hunger Games franchise.

Overall, sepertinya film The Ballad of Songbirds & Snakes memang layak ditonton, setidaknya sekali untuk melihat perbedaan mencolok antara keduanya.

Anonim mengatakan...

Cukup solid untuk ukuran film prekuel, 8/10

Anonim mengatakan...

WOW asal usul katniss & mokingjay terungkap

Anonim mengatakan...

Viola Davis benar~benar bgst keren

Anonim mengatakan...

prekuel Peter Dinklage sebagai Casca “Cas” Highbottom berikutnya...

Anonim mengatakan...

sederhana dan mematikan

Anonim mengatakan...

akhir yang membagongkan, lahirnya katniss

Anonim mengatakan...

skip, ngantuk

Anonim mengatakan...

ular pelangi homo semakin najis kok bisa ya

Anonim mengatakan...

lumayan sambil ngemil lihat adu tarung gladiator

Anonim mengatakan...

film goblok paling tergoblok

skor film : 9/10

Anonim mengatakan...

sekali lagi, pelangi homo pun terselip dalam film, sebegitu harusnya kah....

Anonim mengatakan...

nanti aja, tunggu di streaming disney plus plus plus

Anonim mengatakan...

Peter Dinklage, matanya tajam setajam silet

Anonim mengatakan...

boring

Anonim mengatakan...

21 tahun ke atas

Anonim mengatakan...

film para bocil baru belajar minum susu

Anonim mengatakan...

band of brothers

Anonim mengatakan...

film dodol, rugi gue nonton

Anonim mengatakan...

lebih bagus film gampang cuan

Anonim mengatakan...

jelek