REVIEW - DUA HATI BIRU
Sewaktu berumur sekitar 4-5 tahun, saya dan teman-teman di kampung pernah menghanyutkan kulit jantung pisang di sungai kecil, berimajinasi seolah itu sebuah perahu yang membawa sebagian jiwa kami bertualang ke samudera luas. Di Dua Hati Biru, Adam (Farrell Rafisqy), putera Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau), juga melakukan hal serupa. Tidak dengan jantung pisang tentunya, melainkan perahu kertas cantik berwarna biru.
Mungkin Adam juga punya imajinasi yang mirip, membayangkan perahu itu membawa segenggam hati miliknya, pula kedua orang tuanya, berlalu menuju masa depan yang penuh misteri. Bagi bocah seusia Adam, angan-angan perihal masa depan itu adalah sesuatu yang berharga.
Sebaliknya, bagi Bima dan Dara tidak ada waktu untuk memimpikan masa depan, yang eksistensinya di hidup mereka bak bunga tidur yang telah layu dihantam kenyataan. Setelah empat tahun menjadi ayah tunggal, merawat Adam dibantu kedua orang tuanya (Arswendy Bening Swara & Cut Mini Theo) serta ibu Dara (Lulu Tobing), akhirnya Bima bertemu istrinya lagi. Dara telah menyelesaikan studinya di Korea Selatan.
Harapan bahwa segalanya bakal lebih mudah saat dijalani bersama segera sirna, tatkala bersatunya Bima dan Dara malah menimbulkan banyak permasalahan, saat Gina S. Noer selaku penulis naskah (turut menyutradarai bersama Dinna Jasanti), seperti pelukis yang menolak adanya ruang kosong di atas kanvas, memenuhi tiap sudut kisahnya dengan konflik.
Gina menyimpan keresahan menumpuk, yang semuanya enggan ia "buang" dari penceritaan, sehingga coba dipadatkan menjadi kisah 106 menit lewat penyuntingan bertempo cepat. Ada kalanya gaya frantic tersebut berujung mewakili liarnya guliran nasib yang mesti dua protagonisnya hadapi, namun kesan berantakan tidak jarang pula muncul karenanya.
Sejatinya tidak ada yang belum pernah kita lihat dan dengar di film ini. Gesekan perspektif pasangan mengenai pola asuh, peran gender dalam hubungan, hingga campur tangan orang tua di rumah tangga anak mereka, tentu merupakan hal-hal yang familiar. Tiada yang baru, karena demikianlah wajah kehidupan.
Wajah itu pula yang dipamerkan jajaran pemainnya. Angga Yunanda yang bergulat dengan kerapuhan maskulinitasnya; Aisha Nurra Datau yang membawa Dara menuju pendewasaan yang sekuel ini perlukan; Keanu sebagai Iqi, sahabat Bima, yang mulutnya bak senapan mesin dengan amunisi tanpa batas; serta trio senior, Cut Mini, Arswendy Bening Swara, dan Lulu Tobing yang melahirkan momen emosional masing-masing. Jangan lupakan Farrell Rafisqy. Sungguh hebat talenta bocah satu ini dalam melakoni berbagai adegan sulit secara natural.
Jika Dua Garis Biru punya "pertengkaran long take" yang ikonik, maka momen terbaik di Dua Hati Biru jauh lebih intim dari segi skala. Momen tersebut menampilkan debat kusir antara Bima dan Dara, yang terjadi sedemikian sering sepanjang durasi. Tapi kali ini penonton tidak diperlihatkan pusat keributan. Kita justru dipertontonkan reaksi Adam yang nampak tertekan. Sebuah proses observasi memilukan tentang bagaimana prahara rumah tangga bakal lebih dulu memberi dampak kepada anak.
Adegan di atas jadi bukti sensitivitas penyutradaraan duo Dinna-Gina, walau bantuan departemen lain tak boleh dilupakan, sebutlah sinematografi kaya rasa garapan Mawan Kelana, hingga musik karya Tofan Iskandar dan Hariopati Rinanto yang sarat kreativitas (terutama kala menjadikan suara bocah sebagai isian vokal).
Apakah keluarga Bima dan Dara bakal berlayar sejauh perahu yang menantang lautan, atau setinggi balon yang mengangkasa? Mungkin kelak mereka bakal karam, atau jatuh ke tanah dan merasakan sakit yang teramat sangat. Tapi setidaknya, memiliki satu sama lain membuat dua hati yang membiru takkan pernah menjadi kelabu.
21 komentar :
Comment Page:Pergantian pemeran Dara disini mengingatkan sewaktu pergantian pemeran Ayu di Teman Tapi Menikah 2, sama-sama memperlihatkan kedalaman karakter yang sangat diperlukan oleh sebuah film sekuel.
zara emang terlalu liar kalo balik meranin dara, emang pas banget diganti
Keanu Angelo yang berperan sebagai Iqy itu badass banget cuy
Adam (Farrell Rafisqy) bocil masa depan
sugar daddy Bima (Angga Yunanda)
skenario selalu terbaik dari Gina S. Noer, penuh kontraversi
terbaik dari :
Gina S. Noer
Adam (Farrell Rafisqy)
Bima (Angga Yunanda)
Dara (Aisha Nurra Datau)
film yang trigger terlalu wild untuk di tonton
lihat nonton akting Arswendy Bening Swara selalu mengerikan
high standar untuk drama film selalu diwujudkan oleh Gina S. Noer
Wuih, kalimat penutupnya bernas banget. Keren reviewnya.
Film ini solid banget, walau agak dragging dan konklusi yang dipaksakan. Tapi adegan mengandung bawangnya intens, bertebaran di sepanjang film.
Angga luwes banget jadi bapak muda, bondingnya dengan Farel berhasil. Nura juga keren akting sebagai ibu muda yang galau dan masih kagok menghadapi anaknya sendiri yang lama ndak diasuhnya.
As always, trio Cut Mini- Lulu Tobing - Arswendy badass. Walau sejujurnya, akting Lulu Tobing di film ini tenggelam di bejibun akting pemeran lainnya dibandingkan dengan aktingnya dia di film pertama dulu.
Tapi bintang utama di film ini adalah Farel, calon bintang masa depan. Amat sangat menggemaskan. Amat sangat lucu. Adorable.
One of my fave Indonesian film this year so far!
drama recehan
penonton suka film horror terbaik : DUA HATI BIRU
OMG Film Serem Bingit
ngantuk bo
Gemes Bucin
bagus untuk pencerahan
trigger warning
sad movie
lumayan ini film
skor film cukup : 8/10
Posting Komentar