REVIEW - A QUIET PLACE: DAY ONE

4 komentar

Dunia A Quiet Place menempatkan penghuninya dalam situasi yang bukan cuma mengerikan, tapi juga penuh keputusasaan. Manusia sebagai makhluk sosial dipaksa kehilangan suara, yang merupakan salah satu media utama komunikasi. Aroma ketakutan serta kesepian begitu pekat. Apa gunanya melanjutkan kehidupan? 

Pertanyaan di atas sudah bergaung di kepala Sam (Lupita Nyong'o) akibat penyakit yang ia derita. Ditemani seekor kucing bernama Frodo, ia menganggap segala aspek di kesehariannya adalah sampah, sembari menanti kematian dengan pasrah. Sampai kematian benar-benar datang dalam wujud alien beringas yang dalam sekejap menghancurkan kota New York.

Timbul suasana mencekam saat para alien turun dari langit bak hujan meteor, yang membuktikan kemampuan sang sutradara, Michael Sarnoski, merekayasa hari kiamat di layar. Masalahnya A Quiet Place Part II (2020) telah menghadirkan pemandangan serupa dengan intensitas yang tidak kalah (bahkan bisa dibilang lebih) mumpuni. 

Di titik ini kesan "segar" memang sukar diulangi oleh tiap installment baru A Quiet Place, sebab kita sudah terbiasa dengan konsep unik film pertamanya yang mengedepankan kesunyian. Beruntung, Day One berada di tangan orang-orang yang tepat. Walau tak lagi terasa baru, Sarnoski memastikan penonton dipuaskan oleh suguhan horor yang seru.

Filmnya dibuka oleh teks yang menginformasikan bahwa rata-rata volume suara di New York adalah 90 desibel. Di satu titik, Sam keluar dari sebuah gedung pertunjukan. Suasana sunyi di dalam gedung mendadak berubah 180 derajat tatkala Sam membuka pintu. Itu hanya satu dari sekian banyak contoh kehebatan tata suara filmnya. Tata suara berkualitas tidak hanya sebatas menghajar telinga dengan volume keras. Persoalan transisi sebagaimana contoh di atas pun wajib diperhatikan.  

Tidak terkecuali pengaturan ambient sewaktu serbuan alien memaksa kota bising tersebut tiba-tiba membisu. Atmosfer mencekam dari kesunyian juga dibangun oleh departemen tata suara. Sedangkan Sarnoski yang menaruh kepercayaan tinggi pada Lupita Nyong'o, berulang kali memakai close-up guna menangkap teror di wajahnya.

Sang aktris pun (seperti selalu ia lakukan) membayar lunas kepercayaan itu. Caranya mengolah ketakutan serta emosi-emosi lain sungguh luar biasa. Berkatnya rasa humanis film ini menyeruak, kemudian menguat sejak pertemuan Sam dengan Eric (Joseph Quinn), seorang penyintas yang menderita gangguan kecemasan. 

Berkat chemistry kedua pemain, pertemuan itu pun berkembang jadi sesuatu yang manis tanpa embel-embel cerita romantis. Hanya kehangatan antara dua manusia terluka, yang memuncak di sebuah "adegan sulap". 

A Quiet Place Day One mungkin tidak pernah menjustifikasi statusnya sebagai prekuel. Andai ia diposisikan sebagai sekuel pun tak ada yang berubah dari caranya menebar ketegangan. Minim kebaruan. Tapi Sarnoski yang turut menulis naskahnya berhasil memanfaatkan krisis yang manusia alami di semestanya, untuk menciptakan kisah humanis menggugah tentang "bertahan hidup", yang ditutup oleh shot yang amat powerful. 

4 komentar :

Comment Page:
Jon mengatakan...

Kucing nya cuma beban. Untung gemesin.

Blogger Millenial mengatakan...

Hahah Benar bang Jon, Beban kucingnya.

A QUIET PLACE: DAY ONE

www.afisnooker.com mengatakan...

Kurang sependapat bang kalau kehadiran sang kucing dianggap beban. Tanpa si Kucing, film terasa kosong ( beneran ) dan rasa haru di "ending" film ga bakal "dapat". Btw, kucingnya memang gemesin, jd pengin nampol hahaha.

Blogger Millenial mengatakan...

@www.afisnooker.com
Benar-benar..hehehe.

A QUIET PLACE: DAY ONE