REVIEW - DADDIO

1 komentar

Pada era di mana individualisme makin diutamakan (yang mana tidak keliru), banyak individu lalai untuk saling terhubung. Terlibat dalam obrolan di dunia nyata, berbagi perasaan, atau bertukar opini. Sederhananya, berinteraksi. Daddio mengingatkan tentang indahnya saat manusia mampu membangun koneksi dengan sesamanya. 

New York nampak tiada beda dengan kota-kota lain di malam hari. Aktivitas mulai surut seiring waktu yang semakin larut. Di tengah kesunyian itu, seorang perempuan yang tidak kita tahu namanya (Dakota Johnson) menaiki taksi dari bandara JFK. Apartemen miliknya di Manhattan jadi destinasi. Kita panggil saja perempuan ini "Girlie" sesuai dengan yang tercantum di kredit. 

Sepanjang perjalanan, sesekali ia membaca pesan dari seorang pria yang bakal segera kita asumsikan sebagai kekasih Girlie. Pesan bernada mesum itu membuatnya tak nyaman. Dia malah menemukan kenyamanan berinteraksi dengan pria paruh baya yang menyopiri taksinya. Clark (Sean Penn) nama pria itu. 

Clark bagaikan spesies yang hampir punah. Seorang pria tua yang membenci aplikasi modern, sama seperti ketidaksukaannya terhadap penumpang yang membayar menggunakan kartu kredit karena mengurangi kemungkinan ia menerima tip. Sebaliknya, Girlie dengan usia muda serta profesi sebagai programmer bak personifikasi masa kini. 

Naskah buatan sang sutradara, Christy Hall, segera membenturkan dua manusia dalam taksi ini dalam pembicaraan yang menelanjangi ruang intim masing-masing. Girlie yang memancarkan aura "perempuan independen" nyatanya tak sekuat dan semandiri itu, Clark pun tidak sedingin kelihatannya. Kemacetan mendadak akibat sebuah kecelakaan makin memfasilitasi obrolan mereka yang menyentuh beragam topik dari cinta, seks, gender, hingga trauma. 

Satu hal yang segera terasa adalah, bahwa dinamika manusia tidak bisa disederhanakan memakai angka 0 dan 1 layaknya program komputer. Lebih kompleks. Interaksi langsung di dunia nyata berfungsi untuk menguraikan kompleksitas tersebut. Acapkali memancing pemikiran, bahkan sesekali terasa tidak nyaman. Begitulah obrolan antar manusia yang semestinya bukan kita hindari, melainkan pelajari. 

Girlie merasa jengah tatkala Clark mengutarakan pendapatnya yang bernada misoginis, namun tak serta merta menampiknya. Sebaliknya, ia berusaha menggali penyebab hadirnya perspektif tersebut, sekaligus alasan mengapa Clark merasa perlu menyampaikannya. Dari situlah si perempuan muda memulai proses berpikir dan merasakan. 

Tapi toh pada akhirnya era akan berubah, di mana hal-hal yang ketinggalan zaman bakal punah. Clark sesungguhnya menyadari itu. Dia menerima dengan senang hati kala Girlie membayar menggunakan kartu kredit. Zaman berubah, pola pikir berganti, namun manusia tetaplah manusia yang ingin dimanusiakan seharusnya saling memanusiakan.

Girlie dan Clark menunjukkan bagaimana cara memanusiakan orang lain dalam berinteraksi. Keduanya menaruh perhatian besar pada ucapan masing-masing, entah lewat gestur, kata-kata, atau sekadar tatapan mata. Akting Dakota Johnson dan Sean Penn pun sama-sama membuat saya yakin bahwa yang nampak di layar bukan sebatas dua karakter rekaan yang terlibat obrolan sesuai skenario, melainkan dua manusia sungguhan yang bertukar isi hati. 

Christy Hall seolah menggerakkan filmnya mengikuti arus keheningan malam. Tenang. Tidak ada ledakan emosi, bahkan saat hati karakternya bergejolak. Temponya dibuat bak taksi yang enggan menginjak pedal gas terlampau dalam, sebagai cara mengajak penonton berkontemplasi. Lalu perjalanan mencapai tujuan, obrolan tuntas, dan masing-masing manusia kembali menatap kesendiriannya sembari menunggu saat terlelap, merindukan esok hari di mana koneksi yang sama bakal terjalin kembali.

1 komentar :

Comment Page:
Farhan mengatakan...

Adegan akhir berhasil membuat penonton juga merasakan kelegaan