REVIEW - SEKAWAN LIMO
Melalui Sekawan Limo, Bayu Skak berhasil mencapai apa yang gagal dicapai Raditya Dika beberapa tahun lalu, yakni mengentaskan diri dari citra pria lucu yang mengakrabi patah hati, dengan mengeksplorasi genre di luar komedi romantis. Didukung naskah kreatif hasil tulisan Nona Ica, Bayu telah menguasai "seni menertawai memedi".
Berlatar Gunung Madyopuro, kita berkenalan dengan Bagas (Bayu Skak) dan Lenni (Nadya Arina) yang hendak memulai perjalanan menuju puncak. Bagas bersedia repot-repot menemani pendakian Lenni tidak lain karena ia menyukai teman sekampusnya tersebut. Sedangkan Lenni nampak menyimpan rahasia di balik kemurungan yang selalu menghiasi wajahnya.
Tiga orang asing turut serta dalam pendakian: Dicky (Firza Valaza) si sombong yang menyebut diri sendiri sebagai ketua kelompok, Juna (Benidictus Siregar) yang baik hati walau bertampang "intimidatif", serta Andrew (Indra Pramujito) yang ditemukan pingsan di hutan. Seiring waktu, kelimanya justru mulai mendapati rangkaian peristiwa aneh, yang mengerucut pada kemungkinan bahwa salah satu di antara mereka sesungguhnya adalah hantu.
Sekawan Limo mungkin bukan whodunit cerdas, tapi sekali lagi, penulisan solid Nona Ica melahirkan misteri ringan nan menyenangkan, ketika mampu memancing kecurigaan terhadap tiap karakter. Semua orang pantas dicurigai sebagai hantu, pun kelak terungkap bahwa mereka sama-sama menyimpan rahasia.
Deretan rahasia itu, ditambah mitos Gunung Madyopuro berupa larangan bagi para pendaki untuk menengok ke belakang sepanjang perjalanan, dipakai sebagai pondasi elemen drama. Kilas balik pun nantinya dipakai secara efektif untuk memberi latar belakang bagi setiap pendaki. Sebagaimana presentasi whodunit tadi, naskahnya tak sampai memberi eksplorasi karakter yang luar biasa mendalam, tapi memadai.
Serupa film-film Bayu sebelumnya, Sekawan Limo masih berkutat pada upaya melupakan luka masa lalu. Bedanya, bukan manis-pahit cinta yang mesti dihadapi, melainkan barisan problematika yang jauh lebih kompleks sekaligus kelam. Gunung dengan segala misteri yang juga kerap dianggap selaku lokasi berkontemplasi merupakan panggung yang sempurna bagi kisahnya.
Humor milik Sekawan Limo adalah apa yang saya sebut sebagai "komedi pinggir jurang". Dia mempersenjatai diri dengan berbagai banyolan khas tongkrongan yang cukup berisiko. Jika tidak mempermasalahkan tipikal komedi macam itu (mengolok-olok tampang "kurang ganteng" Juna misalnya), maka Sekawan Limo bakal memproduksi tawa tanpa henti. Apalagi ia ditunjang jajaran pemain yang piawai melucu. Tidak hanya para pemeran utama, karakter pendukung seperti si tukang bakso yang diperankan Cak Ukil pun sukses mencuri perhatian.
Terpenting, Sekawan Limo bisa mengajak penontonnya menertawakan para demit yang menampakkan diri, dari pocong, kuntilanak, hingga genderuwo, dengan cara yang tak jarang kreatif. Mungkin hantu-hantu berparas menyeramkan itu memang tidak sedemikian menyeramkan bila dibanding "hantu masa lalu" yang bahkan tak sanggup diusir oleh jimat sesakti apa pun.
1 komentar :
Comment Page:suk pas weekend nonton ahh..
Posting Komentar