REVIEW - KAKA BOSS

2 komentar

Kamera drone melesat di langit Jakarta, merekam mobil yang melaju kencang di jalan layang, menuju klub malam tempat orang-orang berpesta hingga fajar menjelang. Sebuah cara sempurna untuk membuka Kaka Boss, yang oleh Arie Kriting selaku sutradara sekaligus penulis naskah, dijadikan ajang pembuktian bahwa sinema seputar Papua tidak melulu harus menampilkan karakternya bergulat dalam jurang penderitaan. 

Pada sekuen pembuka itu pula kita menyaksikan perkelahian, yang disusul oleh adu tarian. Dibantu tata kamera arahan Arfian (Agak Laen, Sri Asih, Cek Toko Sebelah 2) yang bergerak dinamis dan sarat kreativitas, Arie nampak berambisi membuat segalanya terlihat mahal. Sekali lagi, sangat berlawanan dengan label kemiskinan yang senantiasa disematkan bagi penggambaran masyarakat Papua di layar lebar. 

Protagonisnya pun lahir dari ambisi serupa. Ferdinand "Kaka Boss" Omakare (Godfred Orindeod) adalah sosok yang disegani. Sewaktu pertama kali kita berkenalan dengannya di klub malam, begitu Kaka Boss menampakkan diri diiringi lagu tema yang bakal mudah menempel di ingatan penonton (Kapan terakhir kali ada karakter film Indonesia mempunya lagu tema?), semua orang langsung memberi jalan. 

Tapi Kaka Boss bukan preman rendahan. Dia hidup bergelimang harta setelah bisnis jasa keamanan dan penagihan hutang yang ia dirikan sukses besar. Sebuah rumah megah jadi istananya bersama sang istri, Martha (Putri Nere), dan puteri tunggalnya, Angel (Glory Hillary). 

Sayangnya ada satu masalah. Angel merasa malu membicarakan tentang sang ayah di hadapan teman-temannya di sekolah. Pasalnya, stereotip "orang Papua adalah preman" kadung tersemat. Belum lagi bisnis Kaka Boss memang berisiko disalahartikan. Didorong keinginan membuat puterinya bangga, Kaka Boss nekat banting setir sebagai penyanyi dengan bantuan Alan (Ernest Prakasa) si produser musik, walau kemampuan tarik suaranya begitu "mengerikan". Jika memperhatikan cara bicara Kaka Boss, kalian akan tahu dari mana solusi bagi masalah pelik ini berasal. 

Ada gesekan antara ayah dan anak di film ini, tapi Arie tetap konsisten pada tujuannya untuk sebisa mungkin menjauhkan karakternya dari penderitaan. Alhasil, penokohan Angel menjauh dari keklisean anak pemberontak. Dia bukan remaja terluka penuh amarah yang membenci sang ayah. Sebaliknya, ia amat menyayangi Kaka Boss. Sebagaimana orang kebanyakan, Angel hanya bingung. 

Pilihan penokohan di atas membuat konflik keluarga Kaka Boss terasa lebih membumi tanpa kesan dilebih-lebihkan (di luar dramatisasi sewajarnya yang memang diperlukan tontonan arus utama). Berkat itu penceritaannya menyentuh hati, walau penampilan para pelakon utamanya masih belum maksimal. Tidak buruk, hanya saja cenderung inkonsisten. Ada kalanya olah rasa mereka nampak solid di satu titik, hanya untuk terasa datar beberapa waktu berselang. 

Beruntung, konsistensi berhasil mereka jaga kala menangani humor yang tersusun atas banyak materi kreatif, entah dari lelucon verbal serta polah konyol karakternya, beberapa pelesetan, maupun soal eksistensi karakter misterius bernama Boni yang bakal menyulut banyak diskusi. Seluruh pemainnya punya kemampuan memancing tawa, tapi di sini saya ingin memberi pujian khusus pada Priska Baru Segu yang memerankan Nora, adik Kaka Boss. Kemampuannya melempar sindiran menusuk nan menggelitik membuat kemunculan singkatnya selalu berkesan.  

Di kursi sutradara, cara Arie menangani momen komedik pun tergolong mumpuni berkat pengolahan timing yang apik. Ada kalanya sebuah banyolan hadir secara tak terduga karena ketepatan timing tersebut, yang turut menambah daya bunuhnya. Arie berhasil meningkatkan kemampuannya sejak melakoni debut di Pelukis Hantu (2020), dan terpenting, ia berhasil memberi representasi berbeda bagi orang Papua, yang menjauh dari stigma penuh derita ala sinema Indonesia.  

2 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Saya pikir akan diberi rating rendah, krn ada beberapa reviewer di youtube mencap film ini buruk, bahkan ada penonton yg sampai walkout.
Saya sendiri menganggap film ini bagus walaupun tdk sebagus film2 imaginari yg lain

Iqbal mengatakan...

Keren kok Filmnye, ada lucunye, ada dramanya, relete sama kehidupan ayah dan anak putrinye