REVIEW - VICTORY
Victory mungkin bakal mengingatkan ke drama Reply 1988. Bukan hanya karena kesamaan pemeran utama (Hyeri) serta nuansa nostalgia yang dihadirkan, tapi juga penekanan keduanya terhadap dinamika sosial pada era sebelum internet, di mana orang-orang menciptakan kenangan indah dengan cara berkumpul untuk berbahagia bersama.
Latarnya adalah tahun 1999 di Geoje, sebuah kota kecil yang bagi banyak anak mudanya, membatasi ruang eksplorasi mereka. Setidaknya bagi Pil-sun (Hyeri) dan sahabatnya, Mi-na (Park Se-wan), yang bercita-cita menjadi penari profesional. Keduanya berharap dapat segera merantau ke Seoul, karena keengganan pihak sekolah menyediakan ruang menari.
Di rumah, hubungan Pil-sun dengan ayahnya (Hyun Bong-sik) pun kurang harmonis. Ayah Pil-sun sendiri tengah terjebak dilema, karena sebagai manajer di sebuah galangan kapal, ia harus memilih apakah harus memihak sesama pekerja yang sedang berdemo memprotes kurangnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan mereka, atau cari aman dan mematuhi pimpinan yang menganggap sebelah mata peran buruh.
Victory mengawali penceritaan dengan cukup terbata-bata. Meski totalitas Hyeri dalam melakoni komedi selalu bisa diandalkan, materi humornya tak selalu tepat sasaran, pun alurnya belum terarah. Sampai datanglah murid baru dari Seoul bernama Se-hyun (Jo A-ram), adik dari Dong-hyun (Lee Chan-hyeong), bintang liga sepakbola yang didatangkan demi mengatrol kualitas tim setempat. Sebagai adik perempuan, selama ini Se-hyun hidup di bawah bayang-bayang kakak laki-lakinya.
Berbeda dengan obsesi Pil-sun terhadap budaya hiphop, Se-hyun merupakan pemandu sorak. Jurang perbedaan mereka nantinya bakal dijembatani oleh satu tujuan, yang berujung pada sebuah misi: membentuk tim pemandu sorak.
Filmnya mulai memperoleh suntikan tenaga tatkala proses pencarian anggota tim dilakukan. Aura "girl power" memancar kuat seiring semangat membara yang tokoh-tokohnya curahkan. Melalui aktivitas pandu sorak, mereka menemukan kebahagiaan karena mampu membahagiakan orang lain, dan di situlah Victory turut mendatangkan kebahagiaan bagi penontonnya. Di tengah rumor kiamat dan paranoia Y2K, gadis-gadis ini justru menemukan kehidupan.
Alur dalam naskah buatan Park Sung-hoon dan Kang Min-sun cenderung formulaik, tidak mengutak-atik pakem "from zero to hero" khas film bertema olahraga. Daya tariknya berasal dari perspektif mengenai keberagaman. Akibat keterbatasan waktu, tidak semua anggota tim pemandu sorak diisi oleh ahli dalam bidang tersebut. Ada penari tradisional, popper, atlet taekwondo, bahkan seorang nerd.
Melalui karakter-karakter di atas, Victory hendak menegaskan bahwa dalam kehidupan (dalam dunia pandu sorak, sepakbola, pekerjaan, sampai perihal gender) tidak ada satu peran yang lebih superior. Semua memagang peranan penting, bahkan ketika membicarakan "peran utama versus peran pendukung". Dibekali modal tersebut, Park Bum-soo selaku sutradara pun berhasil melahirkan sederet momen emosional, dari yang bersifat empowering terkait perjuangan tim pemandu sorak, hingga pemandangan menyentuh dari konflik keluarga antara Pil-sun dengan sang ayah.
Sayangnya Victory luput memberi build-up yang layak bagi salah satu pencapaian terbesar para karakternya, tatkala mereka berhasil menguasai sebuah teknik pandu sorak kompleks. Payoff-nya hambar karena pencapaian itu terkesan datang tiba-tiba. Setidaknya, melihat mereka akhirnya mampu menari dengan luar biasa baik (memiliki dua mantan idola K-pop di jajaran cast jelas amat membantu) terasa amat memuaskan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar