REVIEW - LAURA

Tidak ada komentar

Laura layak dijadikan standar minimum bagi film Indonesia yang mengangkat peristiwa tragis di dunia nyata. Alasan komersil tetap melandasi eksistensinya, tapi ia dibuat dengan respek. Ada rasa kasihan yang muncul saat menonton, tapi bukan semata-mata mengeksploitasi penderitaan. Filmnya memancing kesedihan, tapi seperti tagline yang diusung (A True Story of A Fighter), ia juga menyoroti perjuangan. 

Laura Anna Edelenyi (di sini diperankan oleh Amanda Rawles) meninggal pada 15 Desember 2021 dalam usia 21 tahun. Usia yang semestinya menandai awal kegemilangan daripada akhir perjalanan, dan film karya Hanung Bramantyo ini mengajak kita melihat detail berbagai peristiwa di balik kepergian yang terlalu cepat itu. 

Semua berawal dari kecelakaan lalu lintas yang dialami Laura bersama pacarnya kala itu, Jojo (Kevin Ardilova), yang menyetir mobil pada dini hari dalam kondisi mabuk. Jojo hanya mendapat luka kecil, namun cedera yang Laura alami membuat hampir sekujur tubuhnya lumpuh. Di tengah kondisi darurat tersebut, Jojo enggan segera menghubungi ibu Laura (Unique Priscilla), pun dari berbagai pertanyaan yang dia ajukan kepada dokter, terkesan cuma mementingan keselamatan diri sendiri. 

Naskah buatan Alim Sudio secara tegas memperlihatkan perspektifnya. Jojo adalah penyebab dari seluruh penderitaan Laura. Tidak berlebihan pula menyebut bahwa ia membunuh si gadis muda. Dari situlah naskahnya menghadirkan proses Laura berusaha lepas dari hubungan toxic yang ia jalani, dengan harapan para perempuan lain di luar sana mampu melakukan hal serupa. 

Jojo jelas tak memedulikan kesehatan Laura. Tapi di tengah anjuran sahabat-sahabatnya, juga sang kakak, Irene (Carissa Perusset), untuk meninggalkan sang kekasih, Laura sempat bersikukuh mempertahankan Jojo. Tindakan itu bukan sebatas kebodohan tanpa alasan. Sejak awal, filmnya sudah menanam sebuah pondasi mengenai ketakutan terbesar dalam hidup Laura, yakni kesendirian. Dia tidak ingin ditelan rasa sepi seorang diri. 

Sebagai cara memperkuat pesannya, paruh awal Laura dikemas memakai format non-linear. Penonton diajak secara bergantian mengobservasi, kemudian membandingkan hubungan Laura-Jojo antara sebelum dan sesudah berpacaran. Jojo yang awalnya bersikap manis, perlahan-lahan memunculkan warna aslinya. Sebuah pengingat agar tak mudah dibutakan oleh gerak-gerik romantis laki-laki. 

Penceritaan itu sayangnya tidak selalu berjalan lancar. Kesan "serba tiba-tiba" sempat menjangkit alurnya. Tiba-tiba Laura berkuliah di Budapest karena suatu alasan, tiba-tiba Laura pulang ke Indonesia, tiba-tiba ia menjadi selebgram. Kekurangan ini berangsur-angsur berkurang seiring gaya bercerita yang beralih ke format lebih konvensional dengan meninggalkan bentuk non-linear. 

Aliran alurnya lebih mulus, meski tidak menghilangkan fakta, bahwa ketimbang satu jalinan kisah yang kohesif, Laura lebih seperti kumpulan momen-momen, yang berbekal pengarahan super dramatis khas Hanung (luapan emosi meledak-ledak, musik yang secara gamblang menentukan apa yang mesti penonton rasakan), disusun dengan tujuan membuat penonton berurai air mata, atau kebakaran jenggot mengutuk kebejatan Jojo. Ada kalanya berhasil, walau terkadang timbul harapan supaya Hanung bersedia mengurangi kadar dramatisasi di beberapa titik.

Satu departemen yang tak meninggalkan sedikit pun keluhan adalah akting. Ketika Amanda Rawles bukan hanya begitu mirip menghidupkan tiap sisi Laura dari gerak-gerik hingga cara bicara, pula menangkap semangat juang mendiang dengan begitu baik, Kevin Ardilova pun sukses menciptakan salah satu antagonis paling busuk di industri perfilman Indonesia tahun ini. Tapi jangan lupakan jasa Unique Priscilla yang berkali-kali menyulut banjir air mata lewat caranya memerankan figur ibu, yang sekuat tenaga menolak terlihat rapuh. Sewaktu akhirnya ia mulai runtuh, begitu pula dinding perasaan saya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: