REVIEW - SPEAK NO EVIL
Seperti film orisinal produksi Denmark yang rilis dua tahun lalu, Speak No Evil versi remake masih menawarkan thriller intens, namun bedanya, karya terbaru James Watkins (Eden Lake, The Woman in Black) ini tidak cuma menyisakan rasa pahit seusai ditonton. Karena daripada menjadikan karakternya sebagai tumbal simbolisme, mereka dibawa melewati proses belajar.
Semua berawal saat pasutri asal Amerika yang kini menetap di London, Ben (Scoot McNairy) dan Louise (Mackenzie Davis), mengajak puteri mereka, Agnes (Alix West Lefler), berlibur ke Italia. Di sanalah mereka berkenalan dengan sesama turis, yakni pasutri asal Inggris, Paddy (James McAvoy) dan Ciara (Aisling Franciosi), yang juga berkunjung bersama sang putra tunggal, Ant (Dan Hough).
Jurang kontras antara kedua pasangan segera nampak. Ben-Louise dengan segala kekakuan mereka takjub menyaksikan Paddy-Ciara yang penuh kebebasan dalam berperilaku. Singkat cerita, pertemanan kedua pihak, terutama Ben dan Paddy, tumbuh begitu cepat. Bahkan seusai liburan, Ben menerima ajakan Paddy menginap di rumah mereka yang terletak di area terpencil.
Tidak sulit menebak bahwa ada yang tidak beres di balik segala kesempurnaan yang Paddy dan Ciara perlihatkan. Tapi daripada meminta penontonnya bermain tebak-tebakan, Speak No Evil lebih seperti ajakan mengobservasi. Di situlah naskah buatan naskah buatan James Watkins tampil cemerlang dalam menghantarkan studi karakter.
Tanpa banyak musik dan cenderung mengutamakan ambient natural, paruh pertama filmnya menyoroti tindak-tanduk dua pasangan. Pelan-pelan kita tahu bahwa Ben tengah mengalami krisis maskulinitas. Karirnya hancur, begitu pula rumah tangganya. Sebagai pria dia merasa tak berguna, dan mungkin memang demikian adanya, melihat betapa pasifnya Ben menyikapi berbagai masalah.
Dinamika menarik pun tercipta kala hubungannya dengan Paddy semakin erat. Ben bagai melihat figur idola dalam diri Paddy: ayah keren nan menyenangkan, pula suami jantan berbadan kekar. Sedangkan Paddy, seiring waktu makin terlihat bak representasi pemerintah otoriter. Dia manipulasi orang-orang di sekitarnya, membuat mereka luput menyadari sedang menikmati kebebasan palsu dan berada di bawah kendali figur pemimpin mematikan.
Bukan berarti paruh pertamanya minim ketegangan. Melihat bagaimana Paddy dan Ciara secara perlahan mulai menunjukkan keanehan cukup memancing rasa ngeri. Salah satu adegan yang paling berkesan adalah ketika Ben dan Louise bertengkar dalam kamar, tanpa menyadari ada yang tengah diam-diam mengawasi mereka. Sekali lagi, layaknya para penguasa yang mengintai perilaku rakyatnya supaya bisa menancapkan kontrol mereka.
Paruh keduanya cenderung lebih konservatif. Tempo dipercepat, musik pun tak lagi malu-malu untuk membungkus situasi. Mengecewakan? Tentu tidak. Pertama, di sinilah para protagonis memulai proses belajar mereka. Berbeda dengan pasutri di versi Denmark, Ben dan Louise lambat laun menolak bersikap pasif (terutama Louise) dan tunduk pada ketidakberdayaan sebagai korban.
Kedua, sang sutradara amat lihai menggedor jantung penonton melalui serangkaian aksi kucing-kucingan, yang menjadikan penampilan James McAvoy selaku sentral. Sang aktor bukan sekadar menghidupkan antagonis psikopat biasa, melainkan sesosok predator intimidatif yang doyan bermain-main dengan mangsanya. Pada kenyataannya para penguasa otoriter memang ibarat predator buas tanpa hati.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar