REVIEW - JOKER: FOLIE À DEUX
Joker: Folie à Deux memberi bukti bahwa kesan "berbeda" tidak selalu berdampak positif bagi kualitas suatu film. Lima tahun pasca Joker sukses membuat proses seorang komedian bergulat dengan krisis batinnya menjadi fenomena budaya populer, kini Todd Phillips seolah terjebak dalam kondisi yang mirip dengan si karakter. Phillips yang selama ini dikenal cerdik menangani komedi, seperti dihantui ambisi untuk menunjukkan bahwa dirinya layak mendapat cap "auteur".
Phillips pun dengan berani mencampuradukkan beragam genre secara liar, dari drama psikologis, romansa, prison film, courtroom drama, hingga yang paling nyeleneh, musikal. Begitu besar ambisi sang sineas untuk menjauh dari pakem sekuel Hollywood, ia sampai melupakan satu hal esensial: membuat film bagus. Tidak satu pun elemen dari berbagai genre di atas mampu ia terjemahkan menjadi tontonan menarik.
Selepas kekacauan yang ia perbuat, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) kini mendekam dalam rumah sakit jiwa Arkham. Dia tengah menanti persidangan, di mana sang pengacara (Catherine Keener) berusaha membantu Arthur lolos dari hukuman mati dengan dalih gangguan jiwa. Bahwa sejatinya Arthur memiliki kepribadian ganda, salah satunya adalah persona Joker, selaku figur yang bertanggung jawab atas segala kejahatan.
Benarkah ada kepribadian lain dalam diri Arthur? Dia sendiri bergumul dengan pertanyaan itu. Tapi satu yang pasti, Arthur masih sesekali memandang dirinya sebagai bintang yang bersinar di atas panggung pertunjukan. Payung-payung hitam para polisi berubah jadi warna-warni bak properti musikal di kepalanya.
Joker: Folie à Deux memang lebih menyoroti apa yang ada dalam kepala protagonisnya. Naskah yang ditulis Todd Phillips bersama Scott Silver pun hanya menggunakan segelintir lokasi. Mayoritas filmnya mengambil latar sudut-sudut Arkham yang kelam, sambil sesekali berpindah ke ruang sidang. Ketika di realita ia cenderung stagnan, Arthur lebih banyak "berpetualang" di dalam pikirannya.
Di saat mayoritas sekuel cenderung berusaha nampak lebih besar, pilihan tersebut sejatinya merupakan pendekatan anti-blockbuster yang unik. Sayangnya Phillips seolah cuma berpikir sampai di situ. Sebatas menginginkan filmnya terlihat berbeda, tanpa tahu bagaimana mengembangkannya dengan baik.
Muncul harapan tatkala narasinya memperkenalkan Harleen "Lee" Quinzel (Lady Gaga) ke atas panggung. Joker dan Lee berpotensi membawa dinamika destruktif yang menarik, khususnya sejak kita melihat keduanya berdansa di hadapan kekacauan membara yang mereka ciptakan sendiri. Tapi apa daya, naskahnya bak kebingungan mesti bagaimana mengarahkan lampu sorot ke arah Harley Quinn.
Tidak ada yang salah dalam hal akting. Sebagaimana Phoenix yang masih memukau, terutama soal kemampuannya menarik garis batas antara perangai Arthur dan Joker, lewat perbedaan kepercayaan diri yang dibawakan secara luar biasa, Gaga pun mulus bertransformasi sebagai sesosok "perempuan gila". Hanya saja Phillips tidak tahu cara memaksimalkan kualitas aktrisnya.
Begitu juga terkait elemen musikal. Fokus terhadap isi pikiran Arthur nyatanya turut diterapkan pada musikalnya, yang mayoritas hanyalah imajinasi sang protagonis. Masalahnya isi kepala Arthur tidak jauh-jauh dari dilema seputar persona Joker dan hasratnya menjalin asmara dengan Lee. Repetitif. Demikian pula pengarahan Phillips yang terlalu mengandalkan siluet dan latar hitam monoton.
Nomor musikalnya terasa melelahkan bak nyanyian pengantar tidur akibat miskinnya kreativitas sang sineas. Hanya Gonna Build a Mountain yang dikemas penuh tenaga. Sisanya, Phillips seperti terjebak dilema antara melangkah secara total menuju kemeriahan musikal, atau bertahan di kesan membumi yang jadi identitas film pertama.
Belum lagi, karena kebanyakan cuma mewakili imajinasi karakternya, rangkaian musikal Joker: Folie à Deux pun tidak berkontribusi banyak terhadap penceritaan. Tidak lebih dari sempilan video klip karaoke ketimbang alat untuk memperkuat cerita.
Sesungguhnya ada setumpuk gagasan brilian tersimpan di sini, termasuk caranya menyindir kita selaku penonton, yang memuja kekacauan dan kekerasan, ketika secara tidak sadar, sepanjang 138 menit filmnya, mengharapkan Arthur meledakkan kegilaannya demi memperoleh hiburan.
Masalahnya, kedangkalan eksplorasi milik naskahnya melemahkan gagasan-gagasan tersebut. Memasuki fase konklusi (yang rasanya bakal menyulut kontroversi di kalangan penggemar semesta Batman), Joker: Folie à Deux menegaskan jati dirinya sebagai penganut nihilisme. Tapi nihilis yang satu ini bukan mendorong kita merefleksikan kehidupan, melainkan keputusan meluangkan uang dan waktu untuk menontonnya.
3 komentar :
Comment Page:Film yg harusnya bagus, tapi gak jelas. Karakter gak konsisten. Cerita kaya bingung.
Malah mending ngikutin serial Penguin
Dari segi penyutradaraan menurut saya Todd Phillips sudah berusaha sangat maksimal sih, mengingat ceritanya yang memang super tipis dan naskahnya yang hanya berusaha memanjang-manjangkan ceritanya dengan selipan musical yg tidak memiliki urgensi untuk ada. Sutradara sehebat apapun kalo naskahnya seperti itu pasti akan berakhir sama atau bahkan lebih buruk. Di kasus ini, bukan Todd Phillips sebagai sutradara yg buruk, tapi Todd Phillips (dan Scott Silver) sebagai penulis naskah yg buruk. Justru satu-satunya hal yang membuat film ini setidaknya bisa ditonton (watchable) itu ya penyutradaraan Todd Philips. Bayangkan kalau naskah seperti ini digarap oleh sutradara lain, bisa jadi hasilnya bahkan lebih buruk.
setuju, dari segi directorial (camera works, color grading, lighting, editing, visual effects, casting, production design, costume, music) semuanya menurut saya bagus, bahkan di atas rata2 film hollywood. Yang ampas itu ya emang naskahnya aja, mau di-direct gimana juga susah klo naskahnya begitu
Posting Komentar