REVIEW - LOVE IN THE BIG CITY
Ketika memutuskan menonton Love in the Big City, saya cuma berharap disuguhi komedi romantis ringan nan manis khas Korea Selatan. Semua berawal sesuai ekspektasi. Heung-soo (Noh Sang-hyun) yang cenderung tak menonjol, diam-diam mengamati Jae-hee (Kim Go-eun) yang menarik perhatian semua orang lewat sikap semau sendiri miliknya. Mereka sama-sama mahasiswa Sastra Prancis.
Terkesan seperti intro komedi romantis pada umumnya, yang membuat penonton menantikan meet cute kedua tokoh utama. Sampai naskah buatan Kim Na-deul, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Sang Young Park, melempar kejutan. Suatu malam, Jae-hee yang tengah mabuk menggoda dua laki-laki yang sedang berciuman di jalan. Salah satunya adalah Heung-soo.
Sejak itulah Love in the Big City berevolusi. Heung-soo dan Jae-hee memang takkan bercinta, namun tetap ditakdirkan bersama. Laki-laki gay yang menyembunyikan preferensi demi menghindari persekusi, dan perempuan berjiwa bebas yang mendapat cap "nakal". Persahabatan pun tumbuh. Mereka tinggal bersama, kerap bertukar cerita, sambil sesekali bersantai memakai masker sembari mendengarkan lagu Bad Girl Good Girl dari Miss A. Tiada kekhawatiran benih cinta bakal tumbuh dan mengancam jalinan persahabatan.
Masing-masing menyimpan kegamangan. Sebagai closeted gay, Heung-soo tak bisa dengan bebas menjalin asmara meski telah menemukan sosok yang ia cinta. Sedangkan kegemarannya mabuk-mabukan di klub malam membuat Jae-hee acap kali digosipkan bergonta-ganti pacar. Dia dipanggil "murahan", di saat laki-laki hidung belang justru dianggap keren karena mampu merebut hati banyak perempuan.
Love in the Big City memperlihatkan betapa jahatnya masyarakat terhadap individu yang dirasa "berbeda", entah terkait preferensi seksual maupun peran gender. Presentasinya cerdas, begitu pula caranya menyeimbangkan elemen drama dan komedi lewat penulisan jeli, maupun penyutradaraan dengan sensitivitas tinggi dari E.oni. Lihat bagaimana dalam adegan "darah di toilet", filmnya mampu dengan cepat beralih dari kesan tragis menjadi jenaka.
Dualitasnya memang mengagumkan. Misal seputar kebiasaan ibu Heung-soo (Jang Hye-jin) pergi ke gereja lalu berdoa setiap pagi buta supaya sang putra "sembuh" dan tak lagi menyukai sesama laki-laki. Ada kalanya situasi tersebut hadir untuk ditertawakan, namun ada pula momen ketika itu menjadi sesuatu yang menyakitkan.
Akting dua pemeran utamanya pun membawa semangat serupa. Noh Sang-hyun dan Kim Go-eun begitu jago "berganti wajah". Di satu titik mereka menyulut tawa, lalu beberapa saat kemudian berubah memancing haru. Di balik gelas demi gelas alkohol yang rutin menemani malam hari mereka, ada kepedihan terpancar dari mata masing-masing. Karena itulah semesta menyatukan Heung-soo dan Jae-hee. Supaya ketika rasa pedih itu tak lagi terbendung, keduanya bisa berlari ke pelukan satu sama lain.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar