REVIEW - KEMAH TERLARANG: KESURUPAN MASSAL

1 komentar

Film yang terkesan kebingungan menentukan judul ini mengangkat kisah nyata mengenai kesurupan massal yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 silam. Entah seberapa autentik alurnya dalam menuturkan realita, tapi setidaknya Kemah Terlarang: Kesurupan Massal bersedia mengusahakan kesan autentik terkait sisi kultural. 

Tidak perlu menelisik terlalu jauh. Cukup simak pengucapan Bahasa Jawa tokoh-tokohnya yang terdengar nyaman di telinga. Banyak cast-nya memang berasal dari Jawa, sedangkan para aktor "luar" tidak asal membuka mulut. Misal Derby Romero, yang meski masih sesekali keceplosan mengeluarkan logat Jakarta, secara keseluruhan cukup apik berbicara kromo (Bahasa Jawa halus). 

Derby memerankan Heru, pembina bagi para murid yang hendak menjalankan kegiatan kemah. Miko (Fatih Unru) bertindak selaku ketua acara, yang turut diikuti Rini (Callista Arum). Miko menyukai Rini, yang dikenal sebagai gadis lemah karena menderita asma. Rini berambisi menanggalkan anggapan tersebut, dan kemah kali ini hendak ia jadikan ajang pembuktian. 

Salah satunya melalui pementasan drama panggung mengenai kisah legenda Roro Putri (Nihna Fitria) yang diarahkan oleh Heru. Rini naik pangkat menjadi cadangan pemeran utama, setelah Heru mengetahui weton miliknya. Salah satu poin menarik dalam Kemah Terlarang: Kesurupan Massal adalah bagaimana naskah yang ditulis oleh Lele Laila bersama sang sutradara, Ginanti Rona, benar-benar memberi peran sentral kepada elemen klenik Jawa, ketimbang sebatas menjadikannya pernak-pernik belaka. 

Sayang, begitu kemah dilaksanakan, alurnya cenderung stagnan. Padahal kesan mencekam mampu dibangun tatkala peristiwa kesurupan pertama terjadi. Skenario "siswa kesurupan jadi jago semafor" yang di atas kertas terdengar konyol, nyatanya mampu dikemas secara mengerikan oleh Ginanti Rona. Ada perasaan pedih membayangkan seorang bocah tak berdosa dibuat tidak berdaya lalu melukai diri sendiri dengan sedemikian brutal. Ginanti pun memilih untuk menjaga kesehatan telinga penonton dengan tak bergantung pada jumpscare berhiaskan efek suara berisik. 

Sisanya? Membosankan. Lele dan Ginanti seperti cuma merampungkan daftar jenis-jenis kesurupan yang wajib ditampilkan. Kesurupan sambil menari? Ada. Kesurupan sambil meminta dipakaikan kafan? Ada juga. Satu hal yang tidak ada di rentetan kejadian tersebut adalah intensitas, yang senantiasa absen hingga babak puncaknya yang antiklimaks. Tidak ada build-up memadai maupun urgensi di tiap situasi. 

Sekali lagi, naskahnya patut dipuji terkait penerapan elemen kleniknya. Kesan autentik dalam pemakaian Bahasa Jawa pun tak lepas dari departemen penulisan. Kapan terakhir kali ada film produksi ibukota dengan latar Yogyakarta, membuat karakternya saling memanggil memakai kata "dab"? 

Andai saja penceritaannya lebih kuat. Ada potensi besar. Salah satunya mengenai pementasan drama garapan Heru, yang kalau saja mendapat eksplorasi mendalam, bisa menghadirkan penelusuran tentang relasi kesenian dengan budaya mistis. Sebuah dinamika yang "sangat Jogja".

Andai saja itu yang naskahnya lakukan, alih-alih menciptakan kopian bagi KKN di Desa Penari (muda-mudi mengunjungi desa penuh misteri, hantu perempuan jago menari yang doyan memuji aroma tubuh korbannya, ular sebagai salah satu sumber teror), dengan format alur yang mengundang tanda tanya seputar substansi. 

Di adegan pembuka, kita melihat seorang jurnalis mewawancarai Miko guna menggali informasi perihal kesurupan massal yang ia alami (keseluruhan kisah film ini adalah flashback). Tapi Kemah Terlarang: Kesurupan Massal tak mengambil format investigasi, sebab sebelum ending tak sekalipun kita kembali ke momen wawancara tersebut. Hanya ada voice over suara Miko yang sekali terdengar, seolah diselipkan paksa supaya penonton ingat bahwa alur film ini merupakan flashback yang ia tuturkan. Sungguh janggal.

1 komentar :

Comment Page:
Bagus mengatakan...

Reviu menarik