REVIEW - 2ND MIRACLE IN CELL NO. 7

Tidak ada komentar

2nd Miracle in Cell No. 7 memang terkesan sebagai sekuel yang tak perlu bagi Miracle in Cell No. 7 (2022), yang merupakan remake dari film Korea Selatan berjudul sama. Versi orisinalnya tak memiliki sekuel, begitu pun deretan remake dari berbagai negara lain. Tapi eksistensinya mampu dijustifikasi, karena alih-alih memaksa untuk melanjutkan cerita film pertama, ia cenderung bertindak selaku "pengisi lubang". 

Kita tahu bahwa Dodo Rozak (Vino G. Bastian) akhirnya dijatuhi hukuman mati. Kita pun sudah melihat bagaimana beberapa tahun setelahnya, sang putri, Kartika (Mawar Eva), berhasil membersihkan nama ayahnya sebagai pengacara di pengadilan. Tapi bagaimana Kartika kecil (Graciella Abigail) menjalani hidup di antara dua peristiwa tersebut? Fase itulah yang diberi sorotan oleh Alim Sudio melalui naskahnya. 

Kartika yang hidup di bawah asuhan Hendro (Denny Sumargo) dan Linda (Agla Artalidia) masih rutin mengunjungi para tahanan di sel nomor 7 (Indro Warkop, Tora Sudiro, Indra Jegel, Rigen Rakelna, Bryan Domani), tanpa tahu ayahnya telah tiada. Hendro berniat memberitahukan berita itu saat Kartika sudah cukup dewasa, tapi untuk sekarang, ia ingin terlebih dahulu mengadopsi gadis 10 tahun tersebut. 

Sayangnya ada berbagai batu sandungan. Ada Hengky (Muhadkly Acho) yang dikirim untuk mengawasi cara Hendro mengelola penjara, juga Kelana (Ayushita), kepala dinas sosial yang enggan menyetujui proses adopsi Kartika. Tapi setidaknya, para karakternya saling memiliki satu sama lain. 

Di situlah kehangatan filmnya berasal. 2nd Miracle in Cell No. 7 adalah tontonan yang memilih percaya pada kemanusiaan, dan yakin bahwa di tempat terburuk sekalipun cahaya harapan menolak untuk seutuhnya memudar. Seluruh penghuni penjara, baik tahanan maupun sipir, seolah berkonspirasi melakukan kebaikan. Mereka lebih memilih berbuat "baik" ketimbang "benar". 

Alurnya juga mengajak kita mundur ke masa lalu guna melihat perkenalan Dodo dan istrinya, Juwita (Marsha Timothy). Kedua latar waktu yang hadir sama-sama berfungsi mengisi catatan perjalanan hidup tokoh-tokohnya. Kita paham alasan Kartika beralih cita-cita dari dokter menjadi pengacara, kita pun tahu mengapa Dodo senang mengajak putrinya "terbang" di atas sepeda. Hebatnya, tidak ada kesan dipaksakan dari cara naskahnya mengisi "lubang-lubang" itu. Begitu 2nd Miracle in Cell No. 7 usai, kisah hidup Kartika, Dodo, dan Juwita pun terasa utuh. 

Ada kalanya film ini seperti terlampau sering memohon aliran air mata penonton. Bahkan ia begitu buru-buru dan sudah melakukannya di awal durasi. Untungnya 2nd Miracle in Cell No. 7 bukan semata soal tangis, sebab tawa pun masih diberi ruang untuk eksis. Humornya bekerja dengan baik, terutama kala mengedepankan pertengkaran Jegel dan Rigen. Acho sebagai Hengky yang gemar melontarkan dua kalimat kontradiktif pun mampu melahirkan antagonis yang mudah dibenci sekaligus menggelitik. 

Departemen akting memang bekerja dengan luar biasa. Vino mengulangi pencapaian di film pertama, namun yang paling mencuri perhatian adalah dua nama yang porsinya mendapat lonjakan signifikan, yakni Denny Sumargo dan Marsha Timothy. Ketika Denny menghadirkan akting terbaik sepanjang karirnya lewat jangkauan emosi yang jauh lebih luas dari biasanya, Marsha berjasa memuluskan jalan bagi klimaks filmnya melalui penghantaran kuat untuk kalimat sederhana berbunyi "Sampai nanti ya anakku sayang". 

Kalau film pertamanya berpusat pada hal-hal yang sedang dan/atau akan terjadi, maka sekuelnya ini membawa penonton menengok ke masa lalu. Kartika membaca buku harian berisi kenangan mendiang orang tuanya, Hendro dan Linda berupaya lepas dari tragedi yang merenggut anak kandung mereka, motivasi antagonisnya pun berkutat di ranah yang sama. Segala sumber emosinya berasal dari masa lalu, entah berupa memori yang layak dikenang, atau kerinduan yang enggan menghilang. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: