REVIEW - THE LORD OF THE RINGS: THE WAR OF THE ROHIRRIM
Di salah satu momen aksi paling kreatif dalam filmnya, sang protagonis, Héra (Gaia Wise), secara cerdik berhasil mengalahkan seekor oliphaunt seorang diri. Beberapa menit berselang, dua prajurit lawan yang notabene adalah manusia biasa berhasil menculiknya dengan gampang. Sang putri hanya berteriak layaknya damsel in distress. Inkonsisten memang penyakit yang menjangkiti The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim.
Hadirnya inkonsistensi bukanlah suatu kejutan, sebab The War of the Rohirrim memang dibuat hanya agar New Line Cinema tetap memegang hak adaptasi terhadap karya-karya J. R. R. Tolkien, sehingga proses pembuatannya pun berlangsung buru-buru. Ada kalanya ia nampak berpeluang mendekati kehebatan trilogi buatan Peter Jackson, tapi tidak jarang pula filmnya terlihat seperti produk setengah matang.
Mengambil latar 183 tahun The Fellowship of the Ring (2001), satu hal yang paling menarik perhatian di sini jelas pemakaian format animasi. Bukan yang pertama, karena adaptasi layar lebar perdana untuk kisah The Lord of the Rings sendiri hadir dalam medium tersebut (1978). Tapi kita tidak sedang membicarakan animasi biasa, melainkan anime. Disutradarai oleh Kenji Kamiyama, The War of the Rohirrim lebih menyerupai karya-karya Hayao Miyazaki, khususnya Nausicaä of the Valley of the Wind (1984).
Sama seperti Nausicaä, Héra juga seorang putri kerajaan berambut merah, yang alih-alih bersikap anggun sembari mengenakan gaun, justru lebih senang menunggangi kuda di alam liar. Helm Hammerhand (Brian Cox) adalah ayahnya, Raja Rohan yang dikenal meledak-ledak meskipun baik hati. Terbaru, amarah sang raja menyeretnya dalam perkelahian, di mana ia tanpa sengaja membunuh Freca (Shaun Dooley), pemimpin kaum Dunlendings hanya dengan satu pukulan.
Helm Hammerhand memang raja yang badass. Rambut dan jenggot putihnya, tubuhnya yang tinggi kekar meski telah berusia lanjut, serta sebuah momen epik di pertengahan film, bakal mengingatkan penggemar One Piece terhadap sosok Edward Newgate (Whitebeard). Keputusannya berkelahi mendatangkan ancaman, saat Wulf (Luke Pasqualino), putra Freca, bersumpah menuntut balas dan mendatangkan peperangan bagi Rohan.
Walau awalnya Héra dikesampingkan, bahkan berbeda dengan dua saudara laki-lakinya, ia tak diizinkan terjun ke medan perang, kelak justru sang putri yang memegang kunci keselamatan Rohan. Masalahnya, naskah buatan Jeffrey Addiss, Will Matthews, Phoebe Gittins, dan Arty Papageorgiou seolah kebingungan hendak bagaimana mengolah karakter Héra.
Proses apa yang Héra lalui? Di akhir, ia mampu mengalahkan komandan pasukan musuh, amat tangguh bermain pedang, walau tak diperlihatkan menjalani latihan apa pun. Ataukah Héra memang sudah sekuat itu sejak awal? Kalau demikian mengapa ia semudah itu diculik dan beberapa kali kewalahan dalam pertarungan fisik?
Sekali lagi, inkonsisten. Inkonsistensi yang juga dapat ditemukan di visualnya. Kadang The War of the Rohirrim nampak bak penghormatan bagi gaya anime era 80an sampai 90an (desain karakternya begitu cantik) dengan segala ketidaksempurnaan animasinya, hanya untuk beralih menggunakan CGI modern beberapa waktu kemudian. Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para pembuatnya?
Ada beberapa ide aksi kreatif, salah satunya yang sudah tertulis di paragraf pembuka, kala Héra mampu mengalahkan seekor oliphaunt sendirian dengan cara yang tak terduga. Muncul secercah harapan untuk menghasilkan suguhan epik tiap kali filmnya melangkah ke adegan aksi. Tapi begitu pertarungan absen dari layar, ia tampil tanpa tenaga, dan hanya diisi barisan perbincangan medieval membosankan, yang nihil dampak emosi maupun kekuatan estetika.
Setidaknya film ini menolak bergantung pada fan service (kecuali sebuah cameo dan name-dropping di penghujung durasi yang sangat bisa diterima), sembari tetap memuaskan dahaga para penggemar yang ingin memahami mitologi Middle-earth secara lebih utuh.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar