REVIEW - SUGARCANE
Sugarcane dibuka oleh situasi sunyi di lokasi berdirinya St. Joseph's Mission (1867-1981). Nampak sebuah patung Maria yang dipenuhi bercak berwarna merah darah berdiri di area tersebut, yang secara puitis tetapi tragis, bak menyimbolkan bagaimana di sana agama pernah jadi kedok serangkaian perbuatan kejam. Tempat itu sudah kosong, namun kepiluannya tetap membekas.
Sebuah sekolah asrama khusus anak-anak Indian juga sempat eksis di situ, yang jadi bagian sistem pendidikan pemerintah Kanada. Sekolah itu bukan wujud kepedulian bagi pribumi, tapi tak ubahnya penjara penuh siksaan serta panggung genosida. Banyak laporan soal tindak kekerasan, pelecehan seksual, juga dugaan pembunuhan karena banyaknya murid tiba-tiba menghilang selama bertahun-tahun, namun pihak berwajib tidak pernah menindaklanjuti.
Sampai pada tahun 2021, ditemukan ratusan kuburan tak bertanda di area bekas berdirinya sekolah tersebut, yang membangkitkan kembali upaya untuk menguak kebenaran, termasuk oleh duo sutradara Julian Brave NoiseCat dan Emily Kassie melalui film mereka ini. Ayah Julian, Ed Archie Noisecat, juga mantan siswa sekolah tersebut, sekaligus satu dari sekian banyak anak yang lahir dari hasil pemerkosaan oleh para pendeta.
Pendeta memerkosa siswi, sang siswi hamil, kemudian beberapa bayinya dibakar hidup-hidup. Bayi yang selamat berujung dibuang, atau tumbuh sebagai anak perempuan yang juga menjadi siswi di sekolah tersebut, hanya untuk diperkosa oleh pendeta yang dahulu memerkosa ibu mereka. Kemanusiaan hanyalah dongeng di St. Joseph's Mission.
Sugarcane turut mengikuti aktivitas beberapa narasumber lain. Salah satunya Charlene Belleau, yang telah sekian lama melakukan investigasi bersama Whitney Spearing, dengan cara mewawancarai para penyintas dan mencari bukti-bukti terkait kebengisan para iblis bertopeng pengikut Tuhan di sekolah tersebut. Setiap kata yang terucap dari mulut para penyintas membawa kengerian, pun tiap lokasi yang dikunjungi merekam luka dan kesedihan.
Di satu titik, Charlene yang juga seorang penyintas mengunjungi bangunan yang dahulu dijadikan kurungan bagi murid. Nama anak-anak yang pernah dikurung terukir di dinding. Sembari menahan tangis, Charlene bercerita bahwa mereka diberikan nomor, dan alih-alih nama, para siswa dipanggil berdasarkan nomor itu. Menyakitkan.
Sugarcane tak hanya bertindak selaku penguak kebenaran, pula pengingat betapa peristiwa traumatis bukan sebatas menghancurkan korban, pula orang-orang di sekitarnya, bahkan hingga bertahun-tahun setelah peristiwa itu terjadi. Selepas menginjak usia dewasa pun, tendensi bunuh diri para penyintas tetap tinggi. Jikalau bertahan hidup, ada serangan depresi yang menolak pergi. Sebagaimana yang menimpa Ed, hingga ia memutuskan meninggalkan Julian kecil, yang akhirnya ikut terdampak secara emosional.
Mungkin dokumenter ini berupaya mengisi narasinya dengan terlalu banyak cerita, namun tidak bisa dipungkiri tiap cerita memiliki urgensi dan bobot emosi. Penutupnya terasa inkonklusif, tapi mungkin memang itu yang para sineasnya ingin penonton rasakan. Ketidakpuasan atas belum adanya konklusi pasti juga sesuatu yang mengganggu hati orang-orang Indian di sana.
Narasumber berikutnya adalah Rick Gilbert, mantan kepala Williams Lake First Nation yang mewakili orang-orang Secwépemc. Meski Rick juga penyintas, ia tetap tak kehilangan kepercayaan pada Katolik. Suatu ketika Paus Fransiskus mengundangnya dan perwakilan Indian lain dari berbagai tempat ke Vatikan. Di hadapan mereka Paus menyampaikan permintaan maaf, sebelum mengakhiri pidato "Bye bye!" yang terdengar (terlampau) ceria. Masalahnya mereka sudah lelah dengan permintaan maaf tanpa aksi nyata.
(Disney+)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar