REVIEW - SONIC THE HEDGEHOG 3

Tidak ada komentar

Mudah saja memandang sebelah mata adaptasi layar lebar bagi maskot Sega ini, dan melihatnya hanya sebagai produk hiburan hampa khas Hollywood. Padahal Sonic the Hedgehog adalah waralaba sinema langka yang mampu memperbaiki kualitas di tiap rilisan barunya. Sonic the Hedgehog 3 berhasil mempersembahkan installment terbaik di serinya sejauh ini, yang membuat eksistensi judul-judul berikutnya layak untuk dijustifikasi. 

Meneruskan apa yang sudah disiratkan oleh credits-scene milik Sonic the Hedgehog 2 (2022), kini trio Sonic (Ben Schwartz), Tails (Colleen O'Shaughnessey), dan Knuckles (Idris Elba) mesti menghadapi ancaman Shadow (Keanu Reeves), sesosok landak hitam yang jauh lebih kuat dari mereka bertiga. Setelah 50 tahun berada dalam kurungan G.U.N. (Guardian Units of Nations), Shadow akhirnya bangkit dan berniat menuntut balas terhadap umat manusia. 

Protagonis kita yang kewalahan memutuskan bersatu dengan musuh bebuyutannya, Dr. Ivo Robotnik (Jim Carrey), yang berujung mengkhianati Sonic, begitu mendapati bahwa sang kakek, Gerald Robotnik (juga diperankan Jim Carrey), merupakan dalang di balik aksi Shadow. 

Carrey dalam peran ganda merupakan salah satu elemen terbaik film ini. Mengandalkan keeksentrikan khasnya kala menangani komedi, Carrey nyatanya tetap bisa mengembuskan kompleksitas dalam dua tokoh yang ia mainkan. Jika Ivo bak orang dewasa kekanak-kanakan yang kesepian dan menyimpan trauma akibat penolakan orang-orang, maka Gerald adalah pria tua yang menyalurkan dukanya menjadi amarah terhadap dunia. 

Karakter manusia lainnya memang tidak semenarik duo Robotnik. Tom (James Marsden) dan Maddie (Tika Sumpter) makin tergerus porsinya, sedangkan Krysten Ritter sebagai Rockwell gagal dimanfaatkan potensinya. Setidaknya Sonic the Hedgehog 3 punya Stone (Lee Majdoub), anak buah Ivo Robotnik yang berharap dapat menjadi teman si atasan. Berbeda dibanding para kaki tangan antagonis di kebanyakan blockbuster, Stone memiliki kepribadian yang bahkan menambah bobot emosi filmnya. 

Kembali duduk di kursi sutradara, Jeff Fowler menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuannya. Fowler tidak ingin menggambarkan Sonic dan kawan-kawan sebagai figur kartun biasa, yang sekadar nampak lucu sebagai konsumsi anak-anak. Di mata sang sineas, para alien berkecepatan tinggi tersebut ibarat pahlawan super, dan seperti itu pula mereka dipresentasikan.

Sonic, Tails, dan Knuckles nampak begitu heroik di tiap kemunculannya. "Mereka harus terlihat keren!", mungkin begitu ujar Fowler di fase produksi, yang berhasil diwujudkan, bahkan ketika naskah buatan Pat Casey, Josh Miller, dan John Whittington terus mendistraksi dengan barisan celotehan tak lucu (bahkan cenderung cringeworthy) yang rutin Sonic lontarkan.

Didukung biaya lebih tinggi (122 juta dollar, berbanding 110 juta di film kedua dan 90 juta di film pertama), Sonic the Hedgehog 3 menghiasi dirinya dengan efek spesial yang memanjakan mata. Semua bermuara pada sebuah klimaks epik, yang lebih seru, lebih mewah, dan membuat tokoh-tokohnya jauh lebih heroik ketimbang mayoritas film pahlawan super yang mulai tergerus popularitasnya belakangan ini. Sonic dan kawan-kawan lebih superhero daripada para superhero. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: